Apakah yang lebih berharga dari pengetahuan Ainul Yaqin?
Ada tiga jenis pengetahuan:
Pertama, pengetahuan indrawi
Kedua, pengetahuan logika
Ketiga, pengetahuan batin
Semua hal yang dapat ditangkap dengan indra manusia adalah
pengetahuan indrawi. Semua pengetahuan yang berdasarkan proses penyimpulan
sesuai dengan hukum-hukum logika disebut pengetahuan logika. Semua pengetahuan
yang dapat disaksikan langsung oleh batin adalah pengetahuan batin.
Semua pengetahuan indrawi dan logika merupakan pengetahuan
pengantar menuju pengetahuan batiniah, di mana kebahagiaan muncul bersama
munculnya pengetahuan batin ini. Pengetahuan ilmiah maupun logika tidak
mensyaratkan kesucian pada diri seseorang. Tapi, pengetahuan batiniah tercapai
sejauh kesucian tercapai.
Untuk mengembangkan pengetahuan, seseorang dapat dengan
mudah melakukannya dengan cara membaca buku. Pengetahuan yang diperoleh dari
hasil membaca buku-buku tersebut mungkin menempati posisi yang sangat penting,
tergantung jenis dan kualitas keilmuannya. Di sisi lain, pengetahuan yang
diperoleh melalui perenungan, pengetahuan yang diperoleh melalui indra batin,
yaitu pengetahuan batiniah, juga menempati posisi yang sangat penting. Terlebih
penting, karena ketercapaiannya pengetahuan batiniah berarti tercapainya kebahagiaan.
Pengetahuan ini pula yang dimaksud dengan hikmah di dalam filsafat Isyraqiyah:
“Dalam hal ini, hikmah itu bukan merupakan teori yang
diyakini oleh seseorang, melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam
kegelapan, yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan hal yang
mustahil, kepada cahaya yang bersifat akal, yang di dalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan dicapai bersama-sama.”
(Siti Maryam, Rasionalitas Pengalaman Sufi, hal. 52)
Melalui pengamatan, observasi atau eksperimen, pengetahuan
seseorang akan terus berkembang. Itu adalah pengetahuan ilmiah. Tetapi, bagi
manusia tidaklah cukup berhenti pada pengetahuan ilmiah saja. Sebab, segenap
pengetahuan ilmiah tersebut harus difahami saling keterkaitannya satu sama lain
secara logika. Oleh karena itu, batin perlu berkembang. Ketika batin
berkembang, daya logika mulai bekerja. Karena itu pengetahuan ilmiah akhirnya
menempati kedudukan sebagai premis-premis bagi terlahirnya filsafat.
Setelah sampainya pada filsafat, yang terlahir dari berbagai
pengetahuan ilmiah tersebut, manusia akhirnya tersadar bahwa ada fakta-fakta
yang tidak dapat terjangkau oleh panca indra. Tidak terjangkaunya pengetahuan
tersebut, bisa jadi karena objek yang jauh atau tersembunyi, dan bisa juga
karena jenis objek yang memang tidak
terjangkau oleh kemampuan panca indra.
Bakteri, misalnya, dia tidak bisa terlihat oleh mata secara
langsung. Tetapi, melalui hipotesa, keberadaan bakteri tersebut dapat
diketahui. Untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, manusia berupaya
menciptakan alat yang bisa melihat objek-objek mikroskopis. Alat itu kini
disebut mikroskop.
Objek-objek mikroskopis itu merupakan objek-objek ilmiah
yang tidak terlihat secara langsung, tapi dapat dilihat oleh pancaindra dengan
bantuan suatu alat. Tidak terlihatnya objek-objek mikroskopis tersebut
tergolong kepada kategori 'objek yang tersembunyi', dan bukan objek dengan
jenis yang benar-benar tidak dapat dijangkau oleh pancindra. Sedangkan sebagian
objek, benar-benar tidak terjangkau oleh panca indra, dimana tidak ada alat
apapun yang bisa membuat panca indra melihatnya.
Misalnya 'kebahagiaan'. Sudah sangat jelas bahwa kebahagiaan
itu merupakan sesuatu 'yang ada'. Walaupun ada, ia tidak dapat dilihat oleh
mata, tidak juga dapat dirasakan oleh kulit. Itulah jenis objek dari jenis
'yang tidak terjangkau panca indra', tetapi dapat dirasakan langsung
keberadaannya oleh batin. Oleh karena itu, objek-objek seperti kebahagiaan
disebut dengan pengetahuan batiniah.
Pengetahuan batiniah, tidak hanya meliputi pengetahuan yang
menyangkut mental manusia. Tetapi, lebih luas dari itu. Apa yang umumnya
disebut dengan 'alam gaib', itu juga tidak dapat terjangkau oleh panca indra,
tapi dapat terjangkau oleh batin. Sebagai contoh, bagaimana Suhrawardi dapat
menjelaskan asal mula kejadian alam semesta melalui dzauq (pengetahuan batin),
dan bukan melalui penelitian ilmiah. Dan melalui dzauq pula Suhrawardi dapat
menjelaskan pengetahuan serupa ini:
“Essensi Cahaya Absolut Yang Pertama, Tuhan, selalu memberi
iluminasi dan dengannya mewujudkan dan membawa segala sesuatu menjadi wujud,
serta memberi kehidupan kepada wujud-wujud itu dengan sinarnya. Segala sesuatu
yang ada di dunia berasal dari cahaya esensiNya. Dan semua keindahan dan
kesempurnaan adalah pemberian kemurahanNya. Dan benar-benar mencapai iluminasi
ini berarti keselamatan (29).”
(Siti Maryam, Rasionalitas Pengalaman Sufi, hal. 61)
(29) al-Chulw dalam al-Mausu`ah, hlm. 110
Suhrawardi berbicara tentang cahaya absolute, dan proses
terjadinya segala sesuatu. Pengetahuan ilmiah saja tidak akan sanggup
menjangkau semua hal itu. Tetapi, mungkin orang-orang akan lebih memilih
pengetahuan ilmiah dari pada pengetahuan batiniah, karena beranggapan bahwa
pengetahuan ilmiah itu dapat dibuktikan kebenarannya oleh setiap orang,
terutama bila sang penemu telah menjelaskan prosedur pembuktiannya. Jika
seseorang mau menempuh prosedur ilmiah tersebut, tentulah bukti-bukti kebenaran
ilmiahnya dapat ditemukan orang itu. Sebenarnya, pengetahuan batiniah pun dapat
dibuktikan, dengan prosedur yang berbeda dengan prosedur ilmiah.
Jika Anda merasa bahagia, maka bagaimana langkah-langkah
ilmiah yang dilakukan untuk membuktikan pada orang lain bahwa Anda sedang
merasa bahagia?
Lebih dari itu, di dalam diri Anda itu terdapat banyak
sekali gejolak mental yang sama sekali tidak dapat diketahui dan difahami oleh
orang lain, kecuali berita dari Anda sendiri. Sedangkan diri Anda itu merupakan
micro cosmos, miniatur alam semesta ini. Semakin Anda mengenali diri Anda,
berarti Anda semakin memahami hukum-hukum alam semesta. Masalahnya, setelah
Anda menemukan hukum-hukum alam di dalam diri Anda sendiri, lantas bagaimana
Anda membuktikan kebenaran semua itu kepada orang lain?
Prosedur umum dari pembuktian pengetahuan batiniah adalah
melalui konsentrasi, pencapaian ketenangan serta pengenalan terhadap diri
sendiri. Prosedur khususnya mungkin bisa lebih banyak dari pada itu. Jika Anda
telah mengetahui bahwa yang disebut kebahagiaan oleh umumnya orang itu
sebenarnya ada "kebahagiaan yang destruktif" dan ada
"kebahagiaan yang konstruktif". Kemudian Anda mengabarkannya kepada
orang lain. Kemudian, agar orang lain memahami bahwa apa yang Anda kabarkan itu
benar, maka tentulah tidak dengan cara "lihatlah jenis-jenis kebahagiaan
yang ada di dalam hatiku", tapi dengan cara "perhatikanlah,
jenis-jenis kebahagiaan yang ada di dalam hatimu sendiri".
Orang yang kurang peka, kurang memahami perasaan orang lain.
Bahkan perasaannya sendiripun kurang dapat ia fahami. Tetapi dengan lebih
menyelami perasaan sendiri, maka ia akan jauh lebih faham tentang apa yang ada
di dalam hati orang lain. Demikianlah salah satu karakteristik pengetahuan
batiniah.
Pada tahap yang lebih tinggi, kemampuan seseorang dalam
berkonsentrasi (khusyuk) serta mengamati diri sendiri, akan sampai pada
pengetahuan tentang alam semesta dan asal mulanya segala sesuatu.
Pengetahuan apapun yang dikatakan orang diperoleh secara
ilmiah, sesungguhnya dapat diperoleh secara batiniah. Hal ini selaras dengan
firman Alloh:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
dia itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. 41:53)
Hanya, sejauh dan sebanyak mana pengetahuan tersebut
diperoleh manusia ditentukan oleh kualitas batin masing-masing.
Ayat-ayat Alloh disegenap ufuk itu adalah alam semesta ini,
yaitu pengetahuan ilmiah. Tapi, pengetahuan ilmiah itu merupakan tangga
terendah dalam hirarki pengetahuan. Tangga berikutnya adalah Logika. Akhirnya
sampai pada tangga terakhir, yaitu pengetahuan batiniah.
Pengetahuan jenis yang terakhir ini sesungguhnya meliputi
keseluruhan pengetahuan. Selaras dengan kalimat "Dan apakah Tuhanmu tidak
cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?".
Karena Tuhan adalah realitas tertinggi, Dia meliputi segala sesuatu.
MengenalNya, berarti memahami segala sesuatu. Dia dikenali melalui pengenalan
diri, sebagai prosedur umum pencapaian pengetahuan batiniah. maka dari itu
dikatakan "dan (ayat-ayat Alloh itu ada) pada dirimu sendiri".
Orang kafir atau orang jahat sekalipun yang akalnya diliputi
oleh ar-rijsa tidak terhalang dari mengetahui pengetahuan indrawi maupun
logika. Selama ia memiliki otak yang normal, tidak gila atau idiot, ia mampu
menyerap pengetahuan-pengetahuan itu, menjadi orang terpelajar, cendikiawan dan
dapat disebut ahli ilmu. Tetapi, pengetahuan batin tidak dapat dicapai oleh
mereka yang akalnya diliputi oleh rijs. Dan mereka yang dianugrahi al-hikmah
adalah mereka yang bersih dari ar-Rijsa, yaitu kabut gelap yang menghalangi
akal dari memahami objek-objek pengetahaun batin.
“Alloh menimpakan rijs kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya.”
(QS. Yunus, 10:100)
“tidak menyentuhnya (memahami makna kandungan al-Quran)
kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. 56:79)
Selama batin diliputi oleh noda dan dosa, jangan harap dapat
memahami objek-objek batiniah yang menjadi objek pembicaraan ayat-ayat
Al-Qur'an. Hanya dengan penghancuran noda-noda itulah, objek-objek batiniah
seperti 'neraka jahim' dapat dilihat secara langsung. Pengetahuan langsung ini
adalah Ainul
Yaqin.
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan
sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin,” (QS.
102:5-7)
Manusia yang melihat neraka jahim dengan ainal yaqin, mereka
itulah yang perbuatanya tercegah dari dosa. Pengetahuannya itulah yang
mencegahnya dari dosa. Bagaimana mungkin seseorang akan kuat berbuat dosa,
sementara dia dapat melihat secara langsung bagaimana ngerinya neraka jahim?
Hafalan-hafalan, pemahaman-pehaman manusia yang bersifat
teoritik terhadap Al-Qur'an dan Hadits, tidak menjamin seseorang tercegah dari
dosa. Lembaga-lembaga agama pun, yang berisi para inetelek agama bisa dipenuhi
dengan manusia-manusia korup yang dipenuhi nafsu keduniawian. Dalil dan ayat
hanya digunakan sebagai kedok, cara melindungi diri dan menyerang pihak lain.
Satu-satunya pengetahuan yang dapat mencegah manusia dari perbuatan dosa
'secara paksa' adalah pengetahuan batin. Dengan kata lain, bila seseorang telah
mencapai 'ainal yaqin' , maka Alloh akan menganugrahkan kepada dirinya sebuah
kekuatan yang akan memaksa dirinya untuk senantiasa berbuat kebajikan dan
mencegahnya dari berbuat kemaksiatan. Dia menjadi tidak dapat lari dari
perbuatan baik kendatipun dia berupaya menghindarinya dan tidak akan mampu
berbuat kejahatan, kendatipun dia mencoba melakukannya. Maka, apakah yang lebih
berharga dari pengetahuan Ainal Yaqin?
“Pengetahuan Ainul Yaqin ini adalah suatu pengetahuan pasti
akan suatu sebab akibat perbuatan maksiat dan dosa yang tidak dapat diragukan
lagi, yaitu manakala seseorang mencapai drajat (maqam) ketakwaan yang
menjadikan dirinya dapat meraba akibat dari semua akibat di alam akhirat nanti
dengan segala konsekuensinya.”
(Ali Umar Al-Habsyi, Dua Pusaka Nabi, Hal. 298).
Pengetahuan ini hampir sama dengan pengetahuan ahli sorga
yang telah bermukim di dalamnya terhadap perikeadaan sorga, dan hampir sama
dengan pengetahuan ahli neraka yang telah bermukim di dalamnya terhadap neraka,
yakni dia tidak hanya mengetahuinya secara kognitif, melainkan 'dapat
merabanya', di mana semua pengetahuan tentang sorga neraka itu seakan selalu
digambarkan kepadanya melebihi gambaran audio visual tercanggih.
“Pengetahuan seperti itu dapat menjadikan penyangdangnya
sebagai manusia ideal yang tidak akan melanggar firman Tuhan sedikitpun dan
tidak akan berjanja dari garis-garis yang telah digarikan oleh Nya dalam
kehidupannya, bahkan bukan hanya kemasiatan saja yang sirna dari
lembaran-lembaran kehidupannya, akan tetapi sekedar berpikir tentangnya saja
tidak akan dapat jalan ke pikiran dan hatinya.”
(Ali Umar Al-Habsyi, Dua Pusaka Nabi, Hal. 299)
Pengetahuan Ainul Yaqin adalah pengetahuan yang menjadi
sebab kemaksuman para Imam a.s. tetapi kesempatan memperoleh anugrah Ainal
Yaqin tidak hanya diberikan kepada mereka para imam a.s, melainkan juga kepada
seluruh manusia yang ingin mencapainya. Bahkan seluruh ajaran agama yang haq
adalah agar manusia mencapai pengetahuan Ainul Yaqin. Inilah makfiratullah.
Mereka yang memahami ajaran agama secara teoritik saja, tanpa upaya mencapai
perwujudan cahaya ilahiah di dalam batinnya, itulah sebenarnya yang disebut
dengan Ahlul Kitab, ahli penghafal kitab, ahli teori kitab, ahli berdebat
menggunalan dalil-dalil kitab, ahli mengutip pendapat orang lain, penganut
agama buku, tapi mereka tidak berkembang secara ruhaniah.