Sabtu, 14 Januari 2012

Ainul Yaqin



Apakah yang lebih berharga dari pengetahuan Ainul Yaqin?

Ada tiga jenis pengetahuan:
Pertama, pengetahuan indrawi
Kedua, pengetahuan logika
Ketiga, pengetahuan batin

Semua hal yang dapat ditangkap dengan indra manusia adalah pengetahuan indrawi. Semua pengetahuan yang berdasarkan proses penyimpulan sesuai dengan hukum-hukum logika disebut pengetahuan logika. Semua pengetahuan yang dapat disaksikan langsung oleh batin adalah pengetahuan batin.

Semua pengetahuan indrawi dan logika merupakan pengetahuan pengantar menuju pengetahuan batiniah, di mana kebahagiaan muncul bersama munculnya pengetahuan batin ini. Pengetahuan ilmiah maupun logika tidak mensyaratkan kesucian pada diri seseorang. Tapi, pengetahuan batiniah tercapai sejauh kesucian tercapai.

Untuk mengembangkan pengetahuan, seseorang dapat dengan mudah melakukannya dengan cara membaca buku. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil membaca buku-buku tersebut mungkin menempati posisi yang sangat penting, tergantung jenis dan kualitas keilmuannya. Di sisi lain, pengetahuan yang diperoleh melalui perenungan, pengetahuan yang diperoleh melalui indra batin, yaitu pengetahuan batiniah, juga menempati posisi yang sangat penting. Terlebih penting, karena ketercapaiannya pengetahuan batiniah berarti tercapainya kebahagiaan. Pengetahuan ini pula yang dimaksud dengan hikmah di dalam filsafat Isyraqiyah:

“Dalam hal ini, hikmah itu bukan merupakan teori yang diyakini oleh seseorang, melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan, yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan hal yang mustahil, kepada cahaya yang bersifat akal, yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.”
(Siti Maryam, Rasionalitas Pengalaman Sufi, hal. 52)

Melalui pengamatan, observasi atau eksperimen, pengetahuan seseorang akan terus berkembang. Itu adalah pengetahuan ilmiah. Tetapi, bagi manusia tidaklah cukup berhenti pada pengetahuan ilmiah saja. Sebab, segenap pengetahuan ilmiah tersebut harus difahami saling keterkaitannya satu sama lain secara logika. Oleh karena itu, batin perlu berkembang. Ketika batin berkembang, daya logika mulai bekerja. Karena itu pengetahuan ilmiah akhirnya menempati kedudukan sebagai premis-premis bagi terlahirnya filsafat.

Setelah sampainya pada filsafat, yang terlahir dari berbagai pengetahuan ilmiah tersebut, manusia akhirnya tersadar bahwa ada fakta-fakta yang tidak dapat terjangkau oleh panca indra. Tidak terjangkaunya pengetahuan tersebut, bisa jadi karena objek yang jauh atau tersembunyi, dan bisa juga karena jenis objek yang memang  tidak terjangkau oleh kemampuan panca indra.

Bakteri, misalnya, dia tidak bisa terlihat oleh mata secara langsung. Tetapi, melalui hipotesa, keberadaan bakteri tersebut dapat diketahui. Untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, manusia berupaya menciptakan alat yang bisa melihat objek-objek mikroskopis. Alat itu kini disebut mikroskop.

Objek-objek mikroskopis itu merupakan objek-objek ilmiah yang tidak terlihat secara langsung, tapi dapat dilihat oleh pancaindra dengan bantuan suatu alat. Tidak terlihatnya objek-objek mikroskopis tersebut tergolong kepada kategori 'objek yang tersembunyi', dan bukan objek dengan jenis yang benar-benar tidak dapat dijangkau oleh pancindra. Sedangkan sebagian objek, benar-benar tidak terjangkau oleh panca indra, dimana tidak ada alat apapun yang bisa membuat panca indra melihatnya.

Misalnya 'kebahagiaan'. Sudah sangat jelas bahwa kebahagiaan itu merupakan sesuatu 'yang ada'. Walaupun ada, ia tidak dapat dilihat oleh mata, tidak juga dapat dirasakan oleh kulit. Itulah jenis objek dari jenis 'yang tidak terjangkau panca indra', tetapi dapat dirasakan langsung keberadaannya oleh batin. Oleh karena itu, objek-objek seperti kebahagiaan disebut dengan pengetahuan batiniah.

Pengetahuan batiniah, tidak hanya meliputi pengetahuan yang menyangkut mental manusia. Tetapi, lebih luas dari itu. Apa yang umumnya disebut dengan 'alam gaib', itu juga tidak dapat terjangkau oleh panca indra, tapi dapat terjangkau oleh batin. Sebagai contoh, bagaimana Suhrawardi dapat menjelaskan asal mula kejadian alam semesta melalui dzauq (pengetahuan batin), dan bukan melalui penelitian ilmiah. Dan melalui dzauq pula Suhrawardi dapat menjelaskan pengetahuan serupa ini:

“Essensi Cahaya Absolut Yang Pertama, Tuhan, selalu memberi iluminasi dan dengannya mewujudkan dan membawa segala sesuatu menjadi wujud, serta memberi kehidupan kepada wujud-wujud itu dengan sinarnya. Segala sesuatu yang ada di dunia berasal dari cahaya esensiNya. Dan semua keindahan dan kesempurnaan adalah pemberian kemurahanNya. Dan benar-benar mencapai iluminasi ini berarti keselamatan (29).”
(Siti Maryam, Rasionalitas Pengalaman Sufi, hal. 61)

(29) al-Chulw dalam al-Mausu`ah, hlm. 110


Suhrawardi berbicara tentang cahaya absolute, dan proses terjadinya segala sesuatu. Pengetahuan ilmiah saja tidak akan sanggup menjangkau semua hal itu. Tetapi, mungkin orang-orang akan lebih memilih pengetahuan ilmiah dari pada pengetahuan batiniah, karena beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah itu dapat dibuktikan kebenarannya oleh setiap orang, terutama bila sang penemu telah menjelaskan prosedur pembuktiannya. Jika seseorang mau menempuh prosedur ilmiah tersebut, tentulah bukti-bukti kebenaran ilmiahnya dapat ditemukan orang itu. Sebenarnya, pengetahuan batiniah pun dapat dibuktikan, dengan prosedur yang berbeda dengan prosedur ilmiah.

Jika Anda merasa bahagia, maka bagaimana langkah-langkah ilmiah yang dilakukan untuk membuktikan pada orang lain bahwa Anda sedang merasa bahagia?
Lebih dari itu, di dalam diri Anda itu terdapat banyak sekali gejolak mental yang sama sekali tidak dapat diketahui dan difahami oleh orang lain, kecuali berita dari Anda sendiri. Sedangkan diri Anda itu merupakan micro cosmos, miniatur alam semesta ini. Semakin Anda mengenali diri Anda, berarti Anda semakin memahami hukum-hukum alam semesta. Masalahnya, setelah Anda menemukan hukum-hukum alam di dalam diri Anda sendiri, lantas bagaimana Anda membuktikan kebenaran semua itu kepada orang lain?

Prosedur umum dari pembuktian pengetahuan batiniah adalah melalui konsentrasi, pencapaian ketenangan serta pengenalan terhadap diri sendiri. Prosedur khususnya mungkin bisa lebih banyak dari pada itu. Jika Anda telah mengetahui bahwa yang disebut kebahagiaan oleh umumnya orang itu sebenarnya ada "kebahagiaan yang destruktif" dan ada "kebahagiaan yang konstruktif". Kemudian Anda mengabarkannya kepada orang lain. Kemudian, agar orang lain memahami bahwa apa yang Anda kabarkan itu benar, maka tentulah tidak dengan cara "lihatlah jenis-jenis kebahagiaan yang ada di dalam hatiku", tapi dengan cara "perhatikanlah, jenis-jenis kebahagiaan yang ada di dalam hatimu sendiri".

Orang yang kurang peka, kurang memahami perasaan orang lain. Bahkan perasaannya sendiripun kurang dapat ia fahami. Tetapi dengan lebih menyelami perasaan sendiri, maka ia akan jauh lebih faham tentang apa yang ada di dalam hati orang lain. Demikianlah salah satu karakteristik pengetahuan batiniah.

Pada tahap yang lebih tinggi, kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi (khusyuk) serta mengamati diri sendiri, akan sampai pada pengetahuan tentang alam semesta dan asal mulanya segala sesuatu.

Pengetahuan apapun yang dikatakan orang diperoleh secara ilmiah, sesungguhnya dapat diperoleh secara batiniah. Hal ini selaras dengan firman Alloh:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa dia itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. 41:53)

Hanya, sejauh dan sebanyak mana pengetahuan tersebut diperoleh manusia ditentukan oleh kualitas batin masing-masing.

Ayat-ayat Alloh disegenap ufuk itu adalah alam semesta ini, yaitu pengetahuan ilmiah. Tapi, pengetahuan ilmiah itu merupakan tangga terendah dalam hirarki pengetahuan. Tangga berikutnya adalah Logika. Akhirnya sampai pada tangga terakhir, yaitu pengetahuan batiniah.

Pengetahuan jenis yang terakhir ini sesungguhnya meliputi keseluruhan pengetahuan. Selaras dengan kalimat "Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?". Karena Tuhan adalah realitas tertinggi, Dia meliputi segala sesuatu. MengenalNya, berarti memahami segala sesuatu. Dia dikenali melalui pengenalan diri, sebagai prosedur umum pencapaian pengetahuan batiniah. maka dari itu dikatakan "dan (ayat-ayat Alloh itu ada) pada dirimu sendiri".

Orang kafir atau orang jahat sekalipun yang akalnya diliputi oleh ar-rijsa tidak terhalang dari mengetahui pengetahuan indrawi maupun logika. Selama ia memiliki otak yang normal, tidak gila atau idiot, ia mampu menyerap pengetahuan-pengetahuan itu, menjadi orang terpelajar, cendikiawan dan dapat disebut ahli ilmu. Tetapi, pengetahuan batin tidak dapat dicapai oleh mereka yang akalnya diliputi oleh rijs. Dan mereka yang dianugrahi al-hikmah adalah mereka yang bersih dari ar-Rijsa, yaitu kabut gelap yang menghalangi akal dari memahami objek-objek pengetahaun batin.

“Alloh menimpakan rijs kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”
(QS. Yunus, 10:100)

“tidak menyentuhnya (memahami makna kandungan al-Quran) kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. 56:79)

Selama batin diliputi oleh noda dan dosa, jangan harap dapat memahami objek-objek batiniah yang menjadi objek pembicaraan ayat-ayat Al-Qur'an. Hanya dengan penghancuran noda-noda itulah, objek-objek batiniah seperti 'neraka jahim' dapat dilihat secara langsung. Pengetahuan langsung ini adalah Ainul Yaqin.

“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin,” (QS. 102:5-7)

Manusia yang melihat neraka jahim dengan ainal yaqin, mereka itulah yang perbuatanya tercegah dari dosa. Pengetahuannya itulah yang mencegahnya dari dosa. Bagaimana mungkin seseorang akan kuat berbuat dosa, sementara dia dapat melihat secara langsung bagaimana ngerinya neraka jahim?

Hafalan-hafalan, pemahaman-pehaman manusia yang bersifat teoritik terhadap Al-Qur'an dan Hadits, tidak menjamin seseorang tercegah dari dosa. Lembaga-lembaga agama pun, yang berisi para inetelek agama bisa dipenuhi dengan manusia-manusia korup yang dipenuhi nafsu keduniawian. Dalil dan ayat hanya digunakan sebagai kedok, cara melindungi diri dan menyerang pihak lain. Satu-satunya pengetahuan yang dapat mencegah manusia dari perbuatan dosa 'secara paksa' adalah pengetahuan batin. Dengan kata lain, bila seseorang telah mencapai 'ainal yaqin' , maka Alloh akan menganugrahkan kepada dirinya sebuah kekuatan yang akan memaksa dirinya untuk senantiasa berbuat kebajikan dan mencegahnya dari berbuat kemaksiatan. Dia menjadi tidak dapat lari dari perbuatan baik kendatipun dia berupaya menghindarinya dan tidak akan mampu berbuat kejahatan, kendatipun dia mencoba melakukannya. Maka, apakah yang lebih berharga dari pengetahuan Ainal Yaqin?

“Pengetahuan Ainul Yaqin ini adalah suatu pengetahuan pasti akan suatu sebab akibat perbuatan maksiat dan dosa yang tidak dapat diragukan lagi, yaitu manakala seseorang mencapai drajat (maqam) ketakwaan yang menjadikan dirinya dapat meraba akibat dari semua akibat di alam akhirat nanti dengan segala konsekuensinya.”
(Ali Umar Al-Habsyi, Dua Pusaka Nabi, Hal. 298).

Pengetahuan ini hampir sama dengan pengetahuan ahli sorga yang telah bermukim di dalamnya terhadap perikeadaan sorga, dan hampir sama dengan pengetahuan ahli neraka yang telah bermukim di dalamnya terhadap neraka, yakni dia tidak hanya mengetahuinya secara kognitif, melainkan 'dapat merabanya', di mana semua pengetahuan tentang sorga neraka itu seakan selalu digambarkan kepadanya melebihi gambaran audio visual tercanggih.

“Pengetahuan seperti itu dapat menjadikan penyangdangnya sebagai manusia ideal yang tidak akan melanggar firman Tuhan sedikitpun dan tidak akan berjanja dari garis-garis yang telah digarikan oleh Nya dalam kehidupannya, bahkan bukan hanya kemasiatan saja yang sirna dari lembaran-lembaran kehidupannya, akan tetapi sekedar berpikir tentangnya saja tidak akan dapat jalan ke pikiran dan hatinya.”
(Ali Umar Al-Habsyi, Dua Pusaka Nabi, Hal. 299)

Pengetahuan Ainul Yaqin adalah pengetahuan yang menjadi sebab kemaksuman para Imam a.s. tetapi kesempatan memperoleh anugrah Ainal Yaqin tidak hanya diberikan kepada mereka para imam a.s, melainkan juga kepada seluruh manusia yang ingin mencapainya. Bahkan seluruh ajaran agama yang haq adalah agar manusia mencapai pengetahuan Ainul Yaqin. Inilah makfiratullah. Mereka yang memahami ajaran agama secara teoritik saja, tanpa upaya mencapai perwujudan cahaya ilahiah di dalam batinnya, itulah sebenarnya yang disebut dengan Ahlul Kitab, ahli penghafal kitab, ahli teori kitab, ahli berdebat menggunalan dalil-dalil kitab, ahli mengutip pendapat orang lain, penganut agama buku, tapi mereka tidak berkembang secara ruhaniah.