Bulan
Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina Ali kw, karena itu kita akan
mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan beliau.Sayyidina Ali adalah
sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib dab ayah Nabi SAW,
Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu. Seperti nama
istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah putri
Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul
Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina
Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum
Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW
sedang bepergian ke luar kota Makkah. Ibunya memberi nama Asad dan
Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi SAW pulang, beliau
merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan mengatakan bahwa ini
adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah- nya
(nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal
adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah
Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul
Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibn Abil Hadid, pensyarah
kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata Abbas, “Pernah
aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki banyak
anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka
yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku
berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak- anaknya?” Dia menjawab,
“Nabi Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya.
Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari
Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian
untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai
anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat
seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya
seperti Ali mencintai Nabi SAW.”
Ali mulai bertindak sebagai
pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas
anjuran orang tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali
memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu,
merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh lainnya serta
membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan orang-orang yang
lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak pernah
meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia
mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani
melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak
akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam
menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti
nyata kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah
Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan Professor Studi
Islam Universitas Al- Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata:
“Apa yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan
sifat dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi
SAW memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling
berilmu, paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih.
Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya
dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi
sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia
politikus teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran
serta keadilan, kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan
Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di
hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter begitu unggul dan
agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga banyak
ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai
manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang
mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu
ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak
tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya,
mengatakan: “Jika nama agung sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia
Nabi di pengasingan, kawan seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan,
sahabat karib Nabi dalam kehidupan dan saudara Nabi. Jika pengetahuan
sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan Al-Quran,jika penegasian
ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian dan cinta akan
kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita harus
menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari
berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik
dari kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para
penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para
sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi
non-Muslim dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala. Karenanya,
pertanyaan kapan dia memeluk Islam, tidak dan tidak akan pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina
Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah
Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa hari sebelum berangkat
Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari
Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima (Muhsin)
mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab
kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah
peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama
putra-putri mereka adalah Hasan, Husain, Zainab (istri Abdullah ibn
Ja’far) dan Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah
hidup, Sayyidina Ali tidak menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia
menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang
wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama
Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa
diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan,
seperti Hasan, Husain (Pahlawan Karbala), Zainab (Pembela Islam di Kufah
dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain)
dan Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh
Talha
ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW
dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta
misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah
pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel
dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung
dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak
panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan
bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau
bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang
seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia
hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran
budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat
panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin
ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah
aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena
kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa
sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar
menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin
mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu
itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah
penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika mau mengangkat kepalanya,
sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang membuatnya luka parah.
Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh melarikan diri.
Orang- orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan Sayyidina Ali
yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina Ali
berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat
fatal dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya
digelandang ke hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu
kencang hingga menyayat dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan
berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama, kendorkan
talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya
kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai hasil
binaan langsung Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali
terbentuk persis seperti sifat- sifat Rasulullah SAW dalam semua
seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan
yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya.
Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila datang waktu
shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar. Karena
itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu. Ali
menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya, dan kemudian
diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah. Karena itu, aku tidak
tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik ataukah
tidak.” Sulaiman ibn Al- Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya,
“Aku bertanya kepada Ummu Sa’id, seorang jariah Sayyidina Ali tentang
Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan
Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah
SWT begitu agung dalam pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang
dilakukan merupakan ungkapan dari rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya.
Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan Allah melalui ucapannya
yang berbunyi, ”Ilahi, aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu,
dan tidak pula berharap akan pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu
semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu sebagai Dzat yang semestinya
disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi
Dalam
sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’, diceritakan sejarah para
sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi Thalib menempati urutan
pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ? Bukankah
sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf, sahabat
yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di
seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya.
Pada Ali-lah ilmu tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat
berhenti. Hal tersebut ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid
al- Busthami, Abu Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina
Ali! Sejarah agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan
keluhuran budi dan perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya,
keutamaan serta kemuliaannya.
Sholawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya..
Sumber