Oleh Herry Mardian, Yayasan Islam Paramartha.
Sahabat sekalian, sering sekali kita menyebut orang yang tidak
beragama Islam sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan
makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi,
pada akhirnya kita menerimanya dengan taken for granted saja, dan tidak
memeriksa lagi kebenarannya.
Seandainya kita mau membuka Al-Qur’an
dan mencari definisi qur’aniyahnya, maka akan kita temukan bahwa makna
kata ‘kafir’ sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perbedaan agama secara
langsung.
A. Makna ‘Kafir’
Mari kita buka Al-Qur’an. Kita
biasakan mencari definisi qur’aniyah dari segala istilah agama yang kita kenal.
Dengan demikian, kita akan terbiasa untuk membuka Al-Qur’an dan pelan-pelan
Insya Allah kita akan merasakan Al-Qur’an benar-benar berfungsi bagi kehidupan
kita. Kita belajar untuk memahami agama ini, bukan sekedar menghafal
dalil-dalil agama yang belum tentu benar, apa lagi menggunakannya untuk,
misalnya, mendebat orang lain. Ini tentu bukan hal yang baik.
Definisi qur’aniyyah dari kata ‘orang kafir’, bisa kita temukan di surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101.
Definisi qur’aniyyah dari kata ‘orang kafir’, bisa kita temukan di surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101.
Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan
Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan
jelas.”
Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang
yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di
terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap
tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”
Dari dua ayat di atas, kita dapatkan
definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’. Al-Kafiriin, atau orang-orang kafir,
adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran
Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.
Jika demikian, apakah orang yang
kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua,
apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika
seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia
ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan
keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah
menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?
Tentu jawabannya tidak. Semua orang,
termasuk mereka yang buta atau tuli, diberi-Nya kesempatan untuk mati kelak
dalam keadaan diridhoi-Nya.
Jika demikian, mata dan telinga mana
yang tertutup?
Jawabannya bisa kita dapatkan pada
Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.
Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka
(quluubun) yang ada di dalam dada.”
Dari definisi Qur’an tersebut, yang
disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama. Yang disebut kafir adalah
mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata
‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini
jkemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya
penutup). ‘Kafir’ adalah mereka masih yang tertutup dari ‘Al-Haqq’
(kebenaran mutlak).
Mata dan telinga yang di dalam dada,
maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi
lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang
ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa
(nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa
kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada ‘hati spiritual’
seperti nurani.
Jiwa atau nafs itu, jiwa yang
mana? Kita mengetahui, bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk
satu manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah,
yang diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali disumpah di hadapan Allah
untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami
bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.
Q.S. 7:172, “Dan (ingatlah)
ketika Rabb-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
persaksian terhadap nafs-nafs (jiwa-jiwa, anfusihim) mereka:
“Bukankah aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul, kami bersaksi (syahidna)”.
Nafs, atau jiwa, inilah yang diminta persaksiannya dahulu, dan
kelak akan diminta pertanggungan jawabnya ketika mati. Sementara pada saat itu
jasad kita terurai menjadi tanah, dan ruh kita yang menjadi daya hidup bagi
jasad (fungsinya mirip seperti energi yang ada pada baterai) kembali pada-Nya.
Kita tidak mengetahui apa-apa tentang ruh, karena ruh adalah urusan Allah.
Disebutkan dalam Q.S. 17 : 85, “Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) melainkan sedikit.”
Dengan demikian, barangsiapa yang
mata dan telinga yang ada dalam dadanya ini belum berfungsi, pada dasarnya ia
masih ‘kafir’, atau tertutup. Ia tidak akan bisa memahami petunjuk Allah,
karena petunjuk Allah diturunkan bukan ke telinga dan mata jasad kita, tapi ke
‘mata dan telinga’ qalb pada level jiwa (nafs) kita.
Dasar dari hal ini bisa kita lihat
dalam surat At-Taghabuun ayat 11:
Q.S. 64:11, “… Dan barangsiapa
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb nya
(di terjemahan qur’an ditulis: ‘kepada hatinya’).”
Dan, barangsiapa yang mata dan
telinga dalam dadanya belum berfungsi, dia tidak akan mampu memahami Al-Qur’an
dengan sebenar-benarnya, karena Al-Qur’an sebenarnya bukan untuk dihafal dalam
otak. Sebagaimana yang dialami Rasulullah, Al-Qur’an diturunkan ke dalam
dadanya. Rasulullah seorang yang buta huruf, tapi bagaimana Beliau saw. bisa
memahami Al-Qur’an hingga ke hakikat terdalamnya? Karena Al-Qur’an seharusnya,
dan sesungguhnya, ada dalam dada, bukan dalam kepala.
Q.S. 29:49, “Sebenarnya
(Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu.”
Al-Qur’an dalam dada (qalb di
dalam shuduur/dada) kita inilah yang akan kita bawa hingga ke akhirat
kelak, dan bukan Al-Qur’an yang dihafalkan dalam kepala. Ketika mati kelak,
otak kita dan segala apa yang ada dalam kepala kita akan hancur menjadi tanah.
Kita harus memahami dengan hati hingga ke tingkat makna dan hakikatnya,
bukan sekedar menghafalkan dalil-dalil Qur’ani di kepala.
Dari data-data di atas, maka bisa
kita pahami makna ‘kafir’. Kata ‘kafir’ bukan berarti mereka yang tidak
beragama Islam. ‘Kafir’ adalah mereka yang telinga dan mata dalam dadanya belum
berfungsi, sehingga tertutup dari Al-Haqq (kebenaran mutlak, kebenaran
Ilahiyah). Dengan demikian, bahkan saya sendiri masih kafir karena mata dan
telinga jiwa saya belum berfungsi dengan baik, belum sempurna dalam melihat
tanda-tanda kebesaran-Nya, dan belum memahami Al-Qur’an dengan sempurna.
Untuk memperkuat bahwa makna ‘kafir’
sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan qalb dan tidak secara langsung
terkait dengan perbedaan agama, kita lihat lagi dua ayat berikut yang sangat
terkenal:
Q.S. Al-Baqarah (2) : 6 – 7,
“Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak akan beriman [6].”
“Allah telah mengunci mati hati
(qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”
Sayang dua ayat di atas sering
dijadikan dalil untuk bersikap kurang bersahabat terhadap saudara kita yang
beragama lain. Padahal, seandainya kita lebih teliti lagi, kata ‘kafir’
sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan hati, bukan dalam konteks perbedaan
agama.
Ayat ini sama sekali bukan rujukan
supaya kita menunjukkan sikap tidak bersahabat pada saudara-saudara kita dari
agama lain. Ayat ini justru memperkuat keterangan tadi, bahwa ‘kafir’ ada dalam
konteks ketertutupan qalb, dan bukan dalam konteks perbedaan agama.
Bukankah Allah menempatkan dua ayat ini secara berdampingan? Tentu ini sama
sekali bukan kebetulan yang tanpa makna. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi
(ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan).
Jadi, secara sederhana bisa kita
katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb-nya masih tertutup
dari Al-Haqq (kebenaran ilahiyah), dan tidak secara langsung terkait dengan
orang-orang yang tidak beragama Islam.
Kondisi kafir sendiri
bertingkat-tingkat, dari yang sama sekali tidak bisa memahami Al-Haqq, sedikit
memahami, agak memahami, cukup memahami, dan seterusnya. Kadar kekufuran
seseorang berbeda-beda, tergantung sejauh mana ia mampu memahami kebenaran
(ilahiyyah). Kini semakin jelas bahwa kekafiran adalah sebuah kondisi,
bukan status.
Karena saya sendiri masih kafir (atau
masih banyak kekufuran yang ada dalam diri saya), jelas tidak ada gunanya bagi
saya untuk menyebut orang lain, atau orang yang tidak beragama Islam, sebagai
orang kafir. Hal ini tidak akan menambah kebaikan apapun bagi diri saya, bahkan
justru akan menambah dosa saja.
Apakah orang yang tidak beragama
Islam semuanya tidak beriman, semuanya laknatullah, atau semuanya ahli
neraka? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini
dalam Al-Qur’an.
Q.S. 3:199, “Dan sesungguhnya di
antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kamu dan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada
Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.
Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungannya.”
Q.S. 3:113, “Mereka itu tidak
sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca
ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga
bersujud.”
Q.S.3:114, “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera
kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”
Dan yang membuat kita harus lebih
berhati-hati lagi, camkanlah bahwa tidak semua orang yang ber-Islam dengan
sendirinya telah beriman. Kita perhatikan ayat berikut ini:
Q. S. 49 : 14, “Orang-orang Arab
(badui) itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah ber-Islam’ (perhatikan teks
Qur’an-nya: ‘aslamna’ artinya ‘kami telah berserah diri’, di terjemahan
Indonesia menjadi ‘kami telah tunduk’), karena iman itu belum masuk ke dalam
qalb-qalb mu (quluubikum)…”
Perhatikanlah pada ayat di atas,
bahwa beriman hingga masuk ke hati itu setingkat di atas tingkatan Islam.
Dengan demikian, bisa jadi seseorang telah ber-Islam, tapi belum tentu dia
memiliki iman.
Jadi menurut saya, mengatakan kafir
pada orang lain meskipun mudah di lidah, bisa jadi merupakan hal yang beresiko
besar untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala kelak. Di sisi lain,
kita tidak perlu marah jika seandainya dihujat sebagai kafir, karena sangat
mungkin memang masih banyak kekufuran dalam diri kita ini.
B. Makna ‘Syuhada’
Kata ‘syuhada’, dalam buku
agama Islam di masa sekolah dasar saya dulu, maknanya diartikan sebagai orang
yang gugur di medan perang melawan ‘musuh Islam’. Maka ketika dewasanya orang
berlomba-lomba ingin berperang (atau membuat perangnya sendiri dan musuhnya
sendiri) karena ingin mati sebagai syuhada, yang jaminannya adalah surga.
Ada sebuah hadits yang
‘menggelitik’:
“Barangsiapa yang memohon kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di
atas tempat tidurnya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya).
Bagaimana mungkin mati di tempat
tidur mendapatkan derajat kematian seperti seorang syuhada? Atau hadits berikut
ini:
“Kebanyakan orang yang syahid dari ummatku, ialah mereka yang mati di tikar
tidurnya. Dan banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang
Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya”. (HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud)
Bagaimana mungkin, sebagian besar syuhada
justru meninggal di atas tempat tidurnya? Dan Rasulullah sendiri yang mengatakan
hal ini.
Ini bisa kita pahami, jika kita
teliti Al-Qur’an. Kata ’syuhada’, akar katanya sama dengan kata pada
syahadat kita ‘Asyhadu’, artinya bersaksi, mempersaksikan dengan sepenuh
kepercayaan, dengan sepenuh keyakinan (mengenai Tuhannya). Kata ’syuhada’ tidak
semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata ’syuhada’ berarti ‘orang
yang telah mempersaksikan (dengan sebenar-benarnya)’.
Di Al-Qur’an ayat 7 : 172 tadi,
ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa-jiwa manusia, kata yang dipakai
adalah ‘Asyhadahum ala anfusihim’, mengambil persaksian atas
jiwa-jiwa mereka. Dan jiwa-jiwa tersebut menjawab, ‘Qaalu, bala syahidna,”
benar, sesungguhnya kami bersaksi.
Demikian pula kata yang sama
(syuhada) dipakai dengan jelas di Q.S. Al-Hadiid ayat 19,
Q.S. 57:19, “Dan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddiqiin dan ‘syuhada
inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan
cahaya mereka…”
Maka jelas bahwa ‘syuhada’
berarti orang yang mempersaksikan (kebenaran Ilahiyah). Menjadi syuhada
tidak harus melalui peperangan. Seorang yang meninggal di atas tempat tidurnya
pun bisa menjadi seorang syuhada, asal ia benar-benar memintanya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits di atas.
Di zaman Rasulullah, mereka yang
gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang
tersedia dan dibutuhkan ummat pada masa itu (berperang), yang pengorbanannya
diterima oleh Allah, dianugerahi sebuah ‘penyaksian (akan kebenaran/Al-Haqq)’
melalui gugurnya mereka di medan perang. Namun demikian, belum tentu jalan
pengorbanan yang paling dibutuhkan ummat pada setiap masa adalah berperang.
Dengan demikian, belum tentu setiap
orang yang gugur di medan perang adalah ’syuhada’, jika pada saat kematiannya
tidak dianugerahi sebuah penyaksian akan Al-Haqq. Juga hal ini berimplikasi
bahwa banyak cara lain menjadi seorang ’syuhada’ selain melalui peperangan. Di
atas semua itu, sudah tentu lebih bisa kita pahami sekarang mengapa orang yang
telah berhasil menjadi seorang ‘syuhada’ maka jaminannya adalah surga.
Semoga bermanfaat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar