Kamis, 13 Oktober 2011

JATI DIRI MANUSIA



 1] Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu...
 
Bila menurut Karl Marx orang mengalami keterasingan karena adanya ketidak adilan dalam sistem sosial, maka menurut Sang Buddha orang mengalami keterasingan karena ia tidak menyadari hakikat dirinya yang sejati.

Bila Marxisme bertujuan untuk membebaskan manusia dari keterasingan sosialnya, maka Budhisme bertujuan membebaskan manusia dari keterasingan akan hakikat dirinya yang sejati.

Akal dan pikiran adalah potensi strategis manusia yang dinisbahkan oleh Alloh SWT untuk membedakannya dengan makhluk lainya. {Akal dan pikiran adalah alat mengenal Alloh, hati adalah istana Arsy Alloh yang mampu menampungNya. Karena hati adalah cahaya. Dengan hati bersih kita mampu mengenal diri.} Manusia adalah citra kesempurnaan-Nya, maka dengan akal dan pikirannya, manusia semestinya (bahkan menjadi fitrahnya) untuk mampu mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya..



2] Dalam keadaan sakratul maut, Si Fulan tiba-tiba merasa dirinya berada di depan sebuah pintu gerbang langit. Dan diketuknya pintu gerbang langit.
“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.
Lalu Si Fulan menjawab, “Saya, Tuan.”

“Siapa kamu?”
“Fulan, Tuan.”

“Apakah itu namamu?”
“Benar, Tuan.”

“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya Fulan Bin Fulan”

“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya seorang Pejuang”

“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”

“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya ini manusia. Saya setiap hari sholat lima waktu dan saya suka kasih sedekah. Setiap Ramadhon saya juga puasa dan bayar zakat.”

“Aku tidak menanyakan jenismu, atau (amal ibadah) perbuatanmu. Aku bertanya siapa kamu?”

Fulan tidak bisa menjawab. Ia berbalik dari pintu gerbang langit, gagal masuk kedalamnya karena tidak mengenal siapa dirinya.

Ada kalimat yang agung mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya - Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”.

Setinggi apapun keimanan seseorang, kalau ia belum mau berserah diri, maka orang tersebut belum dapat dikatakan Islam. Demikian juga sedalam apapun keberserah-dirian seseorang, kalau ia tidak mengenal jati dirinya dan mengenal Tuhannya, maka orang tersebut belum dapat dikatakan Ihsan.


3] Dengan perantara apa Alloh membisikkan kepada setiap hambaNya untuk berbuat apa yang diperintah dan apa yang dilarangNya. Jika tidak dengan perantaraan wahyu yang diseru kedalam qolb.

Nabi Muhammad menjadi Nabi bukan karena banyak membaca atau berdiskusi tentang agama sebelumnya, namun beliau banyak memasrahkan diri dengan berkhalwat di gua Hira.

Di lereng bukit yang terjal dan keras, dalam gua hira yang sempit dan gelap, berhari-hari Nabi Muhammad berkontemplasi merenung, mempertanyakan segalanya tentang hidup. Dan di suatu kedalaman ruhani, tiba-tiba terdengar suara menggema:

"Bacalah!"

Muhammad menggigil ketakutan, hingga berulangkali suara itu memerintahkan.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."(1)

Manusia yang tahu diri adalah manusia yang banyak berdialog dengan Alloh. Dialog ini tidaklah hanya dibatasi oleh peribadatan rutin, karena Dia Yang Maha Dekat tidak menuntut formalitas..

Dan tidaklah Nabi Muhammad SAW disuruh membaca Al-Qur'an pertama kali oleh Malaikat Jibril kecuali membacai Al-Qur'an dalam diri Muhammad sendiri.

(1) QS. Al-Alaq: 1-2, ayat pertama memerintahkan Muhammad membaca, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan", maka pada ayat berikutnya "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah" memerintakan Muhammad untuk mengetahui asal-usul kejadian manusia, hal ini mengisyaratkan agar Muhammad membaca Al-Qur'an yang ada didalam dirinya..

Al-Qur'an yang tersurat maka carilah yang tersirat (di dalam dirimu) dengan sekaligus menjalankan prosesnya, maka dipenghujung pencarian ini akan kita dapati kebenaran di qolbu.


4] Wukuful Qalbi, bisa juga disebut merenung (menundukan pikiran kepada hati, (Musa pada Khidir, Adam pada Nur Muhammad). Wukufulul Qalbi, bukan sebuah amalan berupa dzikir, atau melafatkan Asma Alloh, tapi perjalanan alam jiwa (akal pikiran, dengan langkah awal mengosongkan akal pikir dari sesuatu selain Alloh, lalu kepala ditundukkan ke hati dengan segala kepasrahan dan kerelaan) menuju Alam yang lebih lembut, yaitu menuju Lub (fuad, hati yang paling dalam) lalu menyentuh Ruh dan Rasa (Sirr). Alam akal pikiran akan tenggelam dan sirna, lenyap dan terserap kedalam alam yang lebih lembut..sampai pada akhirnya menyentuh Yang Maha lembut.

"Tafakur (merenung) sejenak itu lebih baik dari pada beribadah 70 tahun." 
-- Al-hadist.

Karena di dalam merenung (wukuful qalby) kita akan mengenal siapa diri kita, dan menjadi jalan untuk mengenal-Nya, sedang mengenal-Nya (tentunya di saat pada pengenalan ini kondisi kita dalam kondisi "Fana ul fana" (mati sebelum mati, atau seperti kondisi Musa yang pingsan dalam bukit Sin) itu sungguh lebih Mulya nilai-Nya dengan dunia dan surga dengan segala isinya..


5] Manusia diciptakan dari cahaya, di isi dengan cahaya, dibungkus dengan cahaya, didekatkan dengan cahaya, dikuatkan dengan cahaya, serta ditempatkan di sumber cahaya.
Manusia berasal dari Cahayanya Cahaya Maha Cahaya.

Alloh adalah Cahaya Maha Cahaya, petunjuk-Nya adalah Cahaya, kalam-Nya adalah Cahaya.

Alloh memberikan cahaya-Nya pada siapa saja yang Ia kehendaki di antara hamba-Nya.


6] Semua makluk diciptakan tak ubahnya seperti garam didalam laut. Nama-wujud-sifat-gerak-ilmu-semuanya, bukan garam melainkan laut itu sendiri. "Inna rabbaka ahad - Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia(1)"
(1) QS. Al Israa', 17:60.


7] Ketahuilah bahwasannya masterpeace ciptaan Alloh adalah manusia. Al-Qur’an, Islam, Surga-Neraka, Langit-Bumi, Malaikat-Iblis, Jin, dan seluruh makluk lain adalah komponennya.
Manusia adalah sebaik-baik ciptaan “Laqad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiimin – Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya(1)”.
Dan kepada manusia, Alloh sendirilah yang meniupkan ruh-Nya, “Fa-idzaa sawwaytuhu wanafakhtu fiihi min ruuhii - Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku(2)”.
(1) QS. At Tiin, 95:4.

(2) QS. Shaad, 38:72.


8] Dalam tiap diri manusia itu ada sebuah kaum yang beraneka ragam sifatnya, sehingga apabila Al-Qur’an mengatakan “Ya Ayyuhalladzina 'Amanu”, “Ya ayyuhal kafirun”, “Ya ayyuhal munafiqun”, “musyrikuun”, “Nashoro” atau “Yahuda”- itu semua menyebut diri kita sendiri. Bukan kita yang beriman, lantas orang lain yang dimunafikkan atau dikafirkan. Bukan kita yang muslim kemudian orang yang berbeda keyakinan dengan kita dikafirkan.
Mari kita cermati hadits,

“Setiap anak lahir fithrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi atau Majusi.”

Hadits yang “aneh”. Jika orangtuanya muslim, misalnya, mungkinkah ia membesarkan anaknya menjadi nasrani atau yahudi? Maka untuk siapa hadits itu? Ini artinya bahwa dalam setiap diri manusia pun ada aspek ke”yahudi”-an dan aspek ke-”nasrani”-an. Dalam pengertian yang lebih dalam, dalam khazanah tasawuf ini juga berarti bahwa orang tualah yang menjadikan aspek mana yang tumbuh dan dominan dalam batin seorang anak, meskipun ia secara formal mungkin seorang muslim.

9] Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan sosial tertentu, pada peristiwa tertentu, manusia berlaku sebagai monster, kanibal, hewan, setan atau bahkan iblis.


10] Iblis berasal dari Segitiga Bermuda.
Apakah Segitiga Bermuda itu?

Dimana Segitiga Bermuda itu?
Segitiga Bermuda adalah nafsu manusia, yaitu “Nafsu Amarah”, “Nafsu Lauwamah” dan “Nafsu Mulhimah”. Karena ketiga nafsu itu berada di hati manusia, sungguh berhati-hatilah engkau dari padanya.


11] Cukuplah Alloh sebagai Tuan Rumah (hati) mu, dan Muhammad sebagai penjaga pintunya.


12] Tidak ada sejentik ruangan dalam hati manusia yang tidak di isi oleh kekuasaan Alloh, walaupun sejentik itu berupa kekafiran terhadap Alloh sendiri(1).
“Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada mereka dan apa yang mereka nyatakan(2)”.
(1) Sifat kafir dan mukmin yang ada didalam hati semua manusia adalah kekuasaan  Alloh.

(2) QS. Al Qashash, 28:69, demikian juga terdapat di QS. An Naml, 27:74.


13] "Dan Kami tampakkan Jahanam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas, yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari zikir terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar(1)”.
Tahukah engkau siapa yang disebut kafir?

‘Kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama (diluar Islam), tetapi ‘kafir’(2) adalah siapa saja(3), termasuk orang yang muslim sekalipun yang mata dan telinga qalbu didalam dadanya tidak berfungsi.

”Fa-innahaa laa ta'maa al-abshaaru walaakin ta'maa alquluubu allatii fii alshshuduuri - Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada(4).


Kekafiran dan keimanan bisa menimpa qalbu semua orang ibarat bumi tertimpa  malam. Ada permukaan bumi yang lebih panjang malam dari pada siang, dan ada permukaan bumi yang lebih panjang siang dari pada malam, dan ada pula permukaan bumi yang hanya tertimpa malam saja, atau siang saja. Sesungguhnya yang demikian terdapat ayat-ayat Alloh bagi mereka yang mau menggunakan pikiran.

(1) QS. Al Kahfi, 18:100-101.

(2)  Asal kata ‘kafir’ atau ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya tertutup. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’, artinya penutup.
Artikel mengenai kafir dapat dibaca disini


(3)  Predikat kafir bisa menimpa siapa saja dan kapan saja, walaupun seorang telah melakukan amal ibadah bukan berarti suatu saat ia tidak bisa tertimpa kekafiran.

(4) QS. Al Hajj, 22:46.


"Ya Tuhan..janganlah Engkau beri kami kemenangan, karena kemenangan menjadikan pihak lain menjadi kalah. Dan janganlah Engkau istimewakan kemurahan bagi kami, tapi cambuklah punggung kami ini, agar kami segera tau dan mengenal siapa sebenarnya diri kami.."

*SeLf RevoLutiOn!

Senin, 10 Oktober 2011

Makna ‘Kafir’ dan ‘Syuhada’ : ‘Kafir’ Tidak Dengan Sendirinya Berarti Orang Yang Tidak Beragama Islam





Oleh Herry Mardian, Yayasan Islam Paramartha.

Sahabat sekalian, sering sekali kita menyebut orang yang tidak beragama Islam sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, pada akhirnya kita menerimanya dengan taken for granted saja, dan tidak memeriksa lagi kebenarannya.
Seandainya kita mau membuka Al-Qur’an dan mencari definisi qur’aniyahnya, maka akan kita temukan bahwa makna kata ‘kafir’ sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perbedaan agama secara langsung.

A. Makna ‘Kafir’

Mari kita buka Al-Qur’an. Kita biasakan mencari definisi qur’aniyah dari segala istilah agama yang kita kenal. Dengan demikian, kita akan terbiasa untuk membuka Al-Qur’an dan pelan-pelan Insya Allah kita akan merasakan Al-Qur’an benar-benar berfungsi bagi kehidupan kita. Kita belajar untuk memahami agama ini, bukan sekedar menghafal dalil-dalil agama yang belum tentu benar, apa lagi menggunakannya untuk, misalnya, mendebat orang lain. Ini tentu bukan hal yang baik.

Definisi qur’aniyyah dari kata ‘orang kafir’, bisa kita temukan di surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101.

Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.”

Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat di atas, kita dapatkan definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’. Al-Kafiriin, atau orang-orang kafir, adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.

Jika demikian, apakah orang yang kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua, apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?

Tentu jawabannya tidak. Semua orang, termasuk mereka yang buta atau tuli, diberi-Nya kesempatan untuk mati kelak dalam keadaan diridhoi-Nya.

Jika demikian, mata dan telinga mana yang tertutup?
Jawabannya bisa kita dapatkan pada Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.
Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Dari definisi Qur’an tersebut, yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama. Yang disebut kafir adalah mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini jkemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). ‘Kafir’ adalah mereka masih yang tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).

Mata dan telinga yang di dalam dada, maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa (nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada ‘hati spiritual’ seperti nurani.

Jiwa atau nafs itu, jiwa yang mana? Kita mengetahui, bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk satu manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah, yang diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali disumpah di hadapan Allah untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.

Q.S. 7:172, “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap nafs-nafs (jiwa-jiwa, anfusihim) mereka: “Bukankah aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul, kami bersaksi (syahidna)”.

Nafs, atau jiwa, inilah yang diminta persaksiannya dahulu, dan kelak akan diminta pertanggungan jawabnya ketika mati. Sementara pada saat itu jasad kita terurai menjadi tanah, dan ruh kita yang menjadi daya hidup bagi jasad (fungsinya mirip seperti energi yang ada pada baterai) kembali pada-Nya. Kita tidak mengetahui apa-apa tentang ruh, karena ruh adalah urusan Allah. Disebutkan dalam Q.S. 17 : 85, “Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) melainkan sedikit.”

Dengan demikian, barangsiapa yang mata dan telinga yang ada dalam dadanya ini belum berfungsi, pada dasarnya ia masih ‘kafir’, atau tertutup. Ia tidak akan bisa memahami petunjuk Allah, karena petunjuk Allah diturunkan bukan ke telinga dan mata jasad kita, tapi ke ‘mata dan telinga’ qalb pada level jiwa (nafs) kita.

Dasar dari hal ini bisa kita lihat dalam surat At-Taghabuun ayat 11:
Q.S. 64:11, “… Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb nya (di terjemahan qur’an ditulis: ‘kepada hatinya’).”

Dan, barangsiapa yang mata dan telinga dalam dadanya belum berfungsi, dia tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya, karena Al-Qur’an sebenarnya bukan untuk dihafal dalam otak. Sebagaimana yang dialami Rasulullah, Al-Qur’an diturunkan ke dalam dadanya. Rasulullah seorang yang buta huruf, tapi bagaimana Beliau saw. bisa memahami Al-Qur’an hingga ke hakikat terdalamnya? Karena Al-Qur’an seharusnya, dan sesungguhnya, ada dalam dada, bukan dalam kepala.
Q.S. 29:49, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.”

Al-Qur’an dalam dada (qalb di dalam shuduur/dada) kita inilah yang akan kita bawa hingga ke akhirat kelak, dan bukan Al-Qur’an yang dihafalkan dalam kepala. Ketika mati kelak, otak kita dan segala apa yang ada dalam kepala kita akan hancur menjadi tanah. Kita harus memahami dengan hati hingga ke tingkat makna dan hakikatnya, bukan sekedar menghafalkan dalil-dalil Qur’ani di kepala.

Dari data-data di atas, maka bisa kita pahami makna ‘kafir’. Kata ‘kafir’ bukan berarti mereka yang tidak beragama Islam. ‘Kafir’ adalah mereka yang telinga dan mata dalam dadanya belum berfungsi, sehingga tertutup dari Al-Haqq (kebenaran mutlak, kebenaran Ilahiyah). Dengan demikian, bahkan saya sendiri masih kafir karena mata dan telinga jiwa saya belum berfungsi dengan baik, belum sempurna dalam melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, dan belum memahami Al-Qur’an dengan sempurna.
Untuk memperkuat bahwa makna ‘kafir’ sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan qalb dan tidak secara langsung terkait dengan perbedaan agama, kita lihat lagi dua ayat berikut yang sangat terkenal:
Q.S. Al-Baqarah (2) : 6 – 7,

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”

“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”

Sayang dua ayat di atas sering dijadikan dalil untuk bersikap kurang bersahabat terhadap saudara kita yang beragama lain. Padahal, seandainya kita lebih teliti lagi, kata ‘kafir’ sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan hati, bukan dalam konteks perbedaan agama.

Ayat ini sama sekali bukan rujukan supaya kita menunjukkan sikap tidak bersahabat pada saudara-saudara kita dari agama lain. Ayat ini justru memperkuat keterangan tadi, bahwa ‘kafir’ ada dalam konteks ketertutupan qalb, dan bukan dalam konteks perbedaan agama. Bukankah Allah menempatkan dua ayat ini secara berdampingan? Tentu ini sama sekali bukan kebetulan yang tanpa makna. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi (ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan).

Jadi, secara sederhana bisa kita katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb-nya masih tertutup dari Al-Haqq (kebenaran ilahiyah), dan tidak secara langsung terkait dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.

Kondisi kafir sendiri bertingkat-tingkat, dari yang sama sekali tidak bisa memahami Al-Haqq, sedikit memahami, agak memahami, cukup memahami, dan seterusnya. Kadar kekufuran seseorang berbeda-beda, tergantung sejauh mana ia mampu memahami kebenaran (ilahiyyah). Kini semakin jelas bahwa kekafiran adalah sebuah kondisi, bukan status.

Karena saya sendiri masih kafir (atau masih banyak kekufuran yang ada dalam diri saya), jelas tidak ada gunanya bagi saya untuk menyebut orang lain, atau orang yang tidak beragama Islam, sebagai orang kafir. Hal ini tidak akan menambah kebaikan apapun bagi diri saya, bahkan justru akan menambah dosa saja.
Apakah orang yang tidak beragama Islam semuanya tidak beriman, semuanya laknatullah, atau semuanya ahli neraka? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini dalam Al-Qur’an.

Q.S. 3:199, “Dan sesungguhnya di antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.”

Q.S. 3:113, “Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” 

Q.S.3:114, “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”

Dan yang membuat kita harus lebih berhati-hati lagi, camkanlah bahwa tidak semua orang yang ber-Islam dengan sendirinya telah beriman. Kita perhatikan ayat berikut ini:

Q. S. 49 : 14, “Orang-orang Arab (badui) itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah ber-Islam’ (perhatikan teks Qur’an-nya: ‘aslamna’ artinya ‘kami telah berserah diri’, di terjemahan Indonesia menjadi ‘kami telah tunduk’), karena iman itu belum masuk ke dalam qalb-qalb mu (quluubikum)…”

Perhatikanlah pada ayat di atas, bahwa beriman hingga masuk ke hati itu setingkat di atas tingkatan Islam. Dengan demikian, bisa jadi seseorang telah ber-Islam, tapi belum tentu dia memiliki iman.
Jadi menurut saya, mengatakan kafir pada orang lain meskipun mudah di lidah, bisa jadi merupakan hal yang beresiko besar untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala kelak. Di sisi lain, kita tidak perlu marah jika seandainya dihujat sebagai kafir, karena sangat mungkin memang masih banyak kekufuran dalam diri kita ini.

B. Makna ‘Syuhada’

Kata ‘syuhada’, dalam buku agama Islam di masa sekolah dasar saya dulu, maknanya diartikan sebagai orang yang gugur di medan perang melawan ‘musuh Islam’. Maka ketika dewasanya orang berlomba-lomba ingin berperang (atau membuat perangnya sendiri dan musuhnya sendiri) karena ingin mati sebagai syuhada, yang jaminannya adalah surga.

Ada sebuah hadits yang ‘menggelitik’:
“Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya).

Bagaimana mungkin mati di tempat tidur mendapatkan derajat kematian seperti seorang syuhada? Atau hadits berikut ini:

“Kebanyakan orang yang syahid dari ummatku, ialah mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya”. (HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud)

Bagaimana mungkin, sebagian besar syuhada justru meninggal di atas tempat tidurnya? Dan Rasulullah sendiri yang mengatakan hal ini.

Ini bisa kita pahami, jika kita teliti Al-Qur’an. Kata ’syuhada’, akar katanya sama dengan kata pada syahadat kita ‘Asyhadu’, artinya bersaksi, mempersaksikan dengan sepenuh kepercayaan, dengan sepenuh keyakinan (mengenai Tuhannya). Kata ’syuhada’ tidak semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata ’syuhada’ berarti ‘orang yang telah mempersaksikan (dengan sebenar-benarnya)’.

Di Al-Qur’an ayat 7 : 172 tadi, ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa-jiwa manusia, kata yang dipakai adalah Asyhadahum ala anfusihim’, mengambil persaksian atas jiwa-jiwa mereka. Dan jiwa-jiwa tersebut menjawab, ‘Qaalu, bala syahidna,” benar, sesungguhnya kami bersaksi.

Demikian pula kata yang sama (syuhada) dipakai dengan jelas di Q.S. Al-Hadiid ayat 19,
Q.S. 57:19, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddiqiin dan ‘syuhada inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”

Maka jelas bahwa ‘syuhada’ berarti orang yang mempersaksikan (kebenaran Ilahiyah). Menjadi syuhada tidak harus melalui peperangan. Seorang yang meninggal di atas tempat tidurnya pun bisa menjadi seorang syuhada, asal ia benar-benar memintanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Di zaman Rasulullah, mereka yang gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang tersedia dan dibutuhkan ummat pada masa itu (berperang), yang pengorbanannya diterima oleh Allah, dianugerahi sebuah ‘penyaksian (akan kebenaran/Al-Haqq)’ melalui gugurnya mereka di medan perang. Namun demikian, belum tentu jalan pengorbanan yang paling dibutuhkan ummat pada setiap masa adalah berperang.

Dengan demikian, belum tentu setiap orang yang gugur di medan perang adalah ’syuhada’, jika pada saat kematiannya tidak dianugerahi sebuah penyaksian akan Al-Haqq. Juga hal ini berimplikasi bahwa banyak cara lain menjadi seorang ’syuhada’ selain melalui peperangan. Di atas semua itu, sudah tentu lebih bisa kita pahami sekarang mengapa orang yang telah berhasil menjadi seorang ‘syuhada’ maka jaminannya adalah surga.

Semoga bermanfaat,