1] Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu...
Bila menurut Karl Marx orang mengalami keterasingan karena
adanya ketidak adilan dalam sistem sosial, maka menurut Sang Buddha orang
mengalami keterasingan karena ia tidak menyadari hakikat dirinya yang sejati.
Bila Marxisme bertujuan untuk membebaskan manusia dari
keterasingan sosialnya, maka Budhisme bertujuan membebaskan manusia dari
keterasingan akan hakikat dirinya yang sejati.
Akal dan pikiran adalah potensi strategis manusia yang dinisbahkan
oleh Alloh SWT untuk membedakannya dengan makhluk lainya. {Akal dan pikiran
adalah alat mengenal Alloh, hati adalah istana Arsy Alloh yang mampu
menampungNya. Karena hati adalah cahaya. Dengan hati bersih kita mampu mengenal
diri.} Manusia adalah citra kesempurnaan-Nya, maka dengan akal dan pikirannya,
manusia semestinya (bahkan menjadi fitrahnya) untuk mampu mengenal dirinya dan
mengenal Tuhannya..
2] Dalam keadaan sakratul maut, Si Fulan tiba-tiba merasa dirinya berada
di depan sebuah pintu gerbang langit. Dan diketuknya pintu gerbang langit.
“Siapa di situ?” ada suara dari dalam.
Lalu Si Fulan menjawab, “Saya, Tuan.”
“Siapa kamu?”
“Fulan, Tuan.”
“Apakah itu namamu?”
“Benar, Tuan.”
“Aku tidak bertanya namamu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya Fulan Bin Fulan”
“Aku tidak bertanya kamu anak siapa. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya seorang Pejuang”
“Aku tidak menanyakan pekerjaanmu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya seorang Muslim, pengikut Rasulullah SAW.”
“Aku tidak menanyakan agamamu. Aku bertanya siapa kamu?”
“Saya ini manusia. Saya setiap hari sholat lima waktu dan saya suka
kasih sedekah. Setiap Ramadhon saya juga puasa dan bayar zakat.”
“Aku tidak menanyakan jenismu, atau (amal ibadah) perbuatanmu. Aku bertanya
siapa kamu?”
Fulan tidak bisa menjawab. Ia berbalik dari pintu gerbang langit, gagal
masuk kedalamnya karena tidak mengenal siapa dirinya.
Ada kalimat yang agung mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka
ia akan mengenal Tuhannya - Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”.
Setinggi apapun
keimanan seseorang, kalau ia belum mau berserah diri, maka orang tersebut belum
dapat dikatakan Islam. Demikian juga sedalam apapun keberserah-dirian
seseorang, kalau ia tidak mengenal jati dirinya dan mengenal Tuhannya, maka orang
tersebut belum dapat dikatakan Ihsan.
3] Dengan perantara apa Alloh membisikkan kepada setiap
hambaNya untuk berbuat apa yang diperintah dan apa yang dilarangNya. Jika tidak
dengan perantaraan wahyu yang diseru kedalam qolb.
Nabi Muhammad menjadi Nabi bukan karena banyak membaca atau
berdiskusi tentang agama sebelumnya, namun beliau banyak memasrahkan diri
dengan berkhalwat di gua Hira.
Di lereng bukit yang terjal dan keras, dalam gua hira yang
sempit dan gelap, berhari-hari Nabi Muhammad berkontemplasi merenung,
mempertanyakan segalanya tentang hidup. Dan di suatu kedalaman ruhani, tiba-tiba
terdengar suara menggema:
"Bacalah!"
Muhammad menggigil ketakutan, hingga berulangkali suara itu
memerintahkan.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."(1)
Manusia yang tahu diri adalah manusia yang banyak berdialog
dengan Alloh. Dialog ini tidaklah hanya dibatasi oleh peribadatan rutin, karena
Dia Yang Maha Dekat tidak menuntut formalitas..
Dan tidaklah Nabi Muhammad SAW disuruh membaca Al-Qur'an
pertama kali oleh Malaikat Jibril kecuali membacai Al-Qur'an dalam diri
Muhammad sendiri.
(1) QS. Al-Alaq: 1-2, ayat pertama memerintahkan Muhammad
membaca, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan",
maka pada ayat berikutnya "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah" memerintakan Muhammad untuk mengetahui asal-usul kejadian manusia,
hal ini mengisyaratkan agar Muhammad membaca Al-Qur'an yang ada didalam
dirinya..
Al-Qur'an yang tersurat maka carilah yang tersirat (di dalam
dirimu) dengan sekaligus menjalankan prosesnya, maka dipenghujung pencarian ini
akan kita dapati kebenaran di qolbu.
4] Wukuful Qalbi, bisa juga
disebut merenung (menundukan pikiran kepada hati, (Musa pada Khidir, Adam pada
Nur Muhammad). Wukufulul Qalbi, bukan sebuah amalan berupa dzikir, atau melafatkan
Asma Alloh, tapi perjalanan alam jiwa (akal pikiran, dengan langkah awal
mengosongkan akal pikir dari sesuatu selain Alloh, lalu kepala ditundukkan ke
hati dengan segala kepasrahan dan kerelaan) menuju Alam yang lebih lembut,
yaitu menuju Lub (fuad, hati yang paling dalam) lalu menyentuh Ruh dan Rasa
(Sirr). Alam akal pikiran akan tenggelam dan sirna, lenyap dan terserap kedalam
alam yang lebih lembut..sampai pada akhirnya menyentuh Yang Maha lembut.
"Tafakur (merenung) sejenak
itu lebih baik dari pada beribadah 70 tahun."
-- Al-hadist.
Karena di dalam merenung (wukuful
qalby) kita akan mengenal siapa diri kita, dan menjadi jalan untuk
mengenal-Nya, sedang mengenal-Nya (tentunya di saat pada pengenalan ini kondisi
kita dalam kondisi "Fana ul fana" (mati sebelum mati, atau seperti
kondisi Musa yang pingsan dalam bukit Sin) itu sungguh lebih Mulya nilai-Nya
dengan dunia dan surga dengan segala isinya..
5] Manusia diciptakan dari cahaya, di isi dengan cahaya, dibungkus dengan
cahaya, didekatkan dengan cahaya, dikuatkan dengan cahaya, serta ditempatkan di
sumber cahaya.
Manusia berasal dari Cahayanya Cahaya Maha Cahaya.
Alloh adalah Cahaya Maha Cahaya, petunjuk-Nya adalah Cahaya, kalam-Nya
adalah Cahaya.
Alloh memberikan cahaya-Nya pada siapa saja yang Ia kehendaki di antara
hamba-Nya.
6] Semua makluk diciptakan tak ubahnya seperti garam didalam laut.
Nama-wujud-sifat-gerak-ilmu-semuanya, bukan garam melainkan laut itu sendiri.
"Inna rabbaka ahad - Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia(1)"
(1) QS. Al Israa', 17:60.
7] Ketahuilah bahwasannya masterpeace ciptaan Alloh adalah manusia.
Al-Qur’an, Islam, Surga-Neraka, Langit-Bumi, Malaikat-Iblis, Jin, dan seluruh
makluk lain adalah komponennya.
Manusia adalah sebaik-baik ciptaan “Laqad khalaqnaa al-insaana fii
ahsani taqwiimin – Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya(1)”.
Dan kepada manusia, Alloh sendirilah yang meniupkan ruh-Nya, “Fa-idzaa
sawwaytuhu wanafakhtu fiihi min ruuhii - Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku(2)”.
(1) QS. At Tiin, 95:4.
(2) QS. Shaad, 38:72.
8] Dalam tiap diri manusia itu ada sebuah kaum yang beraneka ragam
sifatnya, sehingga apabila Al-Qur’an mengatakan “Ya Ayyuhalladzina 'Amanu”, “Ya
ayyuhal kafirun”, “Ya ayyuhal munafiqun”, “musyrikuun”, “Nashoro” atau
“Yahuda”- itu semua menyebut diri kita sendiri. Bukan kita yang beriman, lantas
orang lain yang dimunafikkan atau dikafirkan. Bukan kita yang muslim kemudian
orang yang berbeda keyakinan dengan kita dikafirkan.
Mari kita cermati hadits,
“Setiap anak lahir fithrah.
Orang tuanyalah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi atau Majusi.”
Hadits yang “aneh”. Jika
orangtuanya muslim, misalnya, mungkinkah ia membesarkan anaknya menjadi nasrani
atau yahudi? Maka untuk siapa hadits itu? Ini artinya bahwa dalam setiap diri
manusia pun ada aspek ke”yahudi”-an dan aspek ke-”nasrani”-an. Dalam pengertian
yang lebih dalam, dalam khazanah tasawuf ini juga berarti bahwa orang tualah
yang menjadikan aspek mana yang tumbuh dan dominan dalam batin seorang anak,
meskipun ia secara formal mungkin seorang muslim.
9] Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada
momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan
sosial tertentu, pada peristiwa tertentu, manusia berlaku sebagai monster, kanibal,
hewan, setan atau bahkan iblis.
10] Iblis berasal dari Segitiga Bermuda.
Apakah Segitiga Bermuda itu?
Dimana Segitiga Bermuda itu?
Segitiga Bermuda adalah nafsu manusia, yaitu “Nafsu Amarah”, “Nafsu
Lauwamah” dan “Nafsu Mulhimah”. Karena ketiga nafsu itu berada di hati manusia,
sungguh berhati-hatilah engkau dari padanya.
11] Cukuplah Alloh sebagai Tuan Rumah (hati) mu, dan Muhammad sebagai
penjaga pintunya.
12] Tidak ada sejentik ruangan dalam hati manusia yang tidak di isi oleh
kekuasaan Alloh, walaupun sejentik itu berupa kekafiran terhadap Alloh
sendiri(1).
“Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada mereka dan
apa yang mereka nyatakan(2)”.
(1) Sifat kafir dan mukmin yang ada didalam hati semua manusia adalah
kekuasaan Alloh.
(2) QS. Al Qashash, 28:69, demikian juga terdapat di QS. An Naml,
27:74.
13] "Dan Kami tampakkan Jahanam pada hari itu kepada orang-orang kafir
dengan jelas, yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari zikir
terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar(1)”.
Tahukah engkau siapa yang disebut kafir?
‘Kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama (diluar Islam), tetapi
‘kafir’(2) adalah siapa saja(3), termasuk orang yang muslim sekalipun yang mata
dan telinga qalbu didalam dadanya tidak berfungsi.
”Fa-innahaa laa ta'maa al-abshaaru walaakin ta'maa alquluubu allatii
fii alshshuduuri - Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada(4).
Kekafiran dan keimanan bisa menimpa qalbu semua orang ibarat bumi
tertimpa malam. Ada permukaan bumi yang lebih
panjang malam dari pada siang, dan ada permukaan bumi yang lebih panjang siang
dari pada malam, dan ada pula permukaan bumi yang hanya tertimpa malam saja,
atau siang saja. Sesungguhnya yang demikian terdapat ayat-ayat Alloh bagi mereka
yang mau menggunakan pikiran.
(1) QS. Al Kahfi, 18:100-101.
(2) Asal kata ‘kafir’ atau
‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya tertutup. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa
Inggris menjadi ‘cover’, artinya penutup.
Artikel mengenai kafir dapat dibaca disini
(3) Predikat kafir bisa menimpa
siapa saja dan kapan saja, walaupun seorang telah melakukan amal ibadah bukan
berarti suatu saat ia tidak bisa tertimpa kekafiran.
(4) QS. Al Hajj, 22:46.
"Ya Tuhan..janganlah Engkau beri
kami kemenangan, karena kemenangan menjadikan pihak lain menjadi kalah. Dan
janganlah Engkau istimewakan kemurahan bagi kami, tapi cambuklah punggung kami
ini, agar kami segera tau dan mengenal siapa sebenarnya diri kami.."
*SeLf RevoLutiOn!