"Ingatlah bahwa penampilan pertamamu di muka bumi ini diawali dengan kebodohan dan ketidaktahuan, kemudian secara bertahap engkau memperoleh pengetahuan. Ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar pengetahuan dan pemahamanmu, yang membingungkan dan mengejutkanmu, dan yang tentang engkau tak mengerti "mengapa" dan "bagaimana", serta hal-hal yang tidak dan tidak akan dapat kau ketahui, juga hal-hal yang tidak dapat kau duga dan kau prediksi. Jika ada yang tidak kau pahami, janganlah kamu langsung menolaknya. Ingatlah selalu bahwa ketidak mengertianmu disebabkan oleh prasangka burukmu, buramnya hatimu, kurangnya pengetahuanmu atau kebodohanmu.
-- Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib a.s.
Kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri tersebut kini sudah benar-benar terlupakan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia.
Dalam sebuah film yang ditayangkan oleh satu stasiun televisi swasta diceritakan kisah seorang Ibrahim Al-Haqq dari Turki. Ibrahim mengalami peristiwa yang agak ganjil, yakni melihat seseorang di kejauhan yang selalu berteriak-teriak: “… di mana engkau… di mana engkau…?”
Begitu sering orang di kejauhan itu terlihat. Bahkan, semakin hari sosok tersebut semakin terlihat dekat, atau terlihat di sela-sela kerumunan orang. Ibrahim semakin penasaran, hingga ia bertanya kepada sahabatnya: “Siapakah orang gila yang setiap hari selalu berteriak-teriak mencari seseorang itu?”
Akan tetapi, sang sahabat malah balik bertanya: “Orang gila yang mana? Aku tidak melihatnya.” Bagi Ibrahim tetap saja sosok tersebut terlihat, semakin dekat, semakin dekat hingga akhirnya dia pun berhadapan langsung dengan sosok tersebut. Betapa terkejutnya Ibrahim melihat sosok tersebut, yang ternyata adalah dirinya sendiri. Ia memberi banyak wejangan kepada Ibrahim, antara lain sebuah ungkapan, “Fungsi pengetahuan adalah untuk mengenal diri”.
Cerita di atas mengingatkan kita pada sebuah tulisan di pintu masuk kuil di Delphi, Yunani, Gnothi Se Authon(Kenalilah Dirimu Sendiri). Ucapan (kata mutiara) Apollo itu digunakan Socrates untuk mengajari warga Athena mengenali siapa diri mereka yang sejati. Bahwa kehidupan yang tidak ditafakuri ialah kehidupan yang tidak layak dijalani.
Manusia, menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan dan dikenali oleh dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam pengenalan akan diri yang nyata tersebut. Dengan mengenal siapa dirinya, manusia akan mengetahui bagaimana sebaiknya berbuat.
Maka, Socrates pun mengimbau kaum muda untuk bertafakur agar dapat mengenal diri mereka sendiri. Walaupun pengetahuan dapat dipelajari melalui debat dan diskusi, Socrates tetap menekankan bahwa pengetahuan yang nyata mengenai esensi harus dicapai dengan pengenalan diri sendiri.
Tak mengenal diri
Kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri tersebut kini sudah benar-benar terlupakan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.”
Hal tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf asal Amerika. Menurut dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena, kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.
Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000 tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang yang sudah diketahui Plato?
Hal tersebut semakin diperkabur dengan pandangan, manusia itu tak ubahnya tanah liat tak berbentuk dan menantikan dibentuk menjadi apa pun. Identitas kita dipandang hanya sebagai konstruksi sosial-budaya belaka yang menjadi cetakan bagi manusia yang “terlempar” ke dalamnya. Pandangan seperti ini semakin mengarahkan manusia untuk bergerak, melihat, dan mempelajari segala sesuatu di luar dirinya, dan melupakan khazanah dirinya sendiri, seperti dikemukakan—antara lain—oleh Socrates.
“Energi minimal”
Dalam tren buku-buku psikologi populer, manusia malah lebih sering diarahkan untuk terobsesi menjadi orang lain yang dipandang sebagai simbol hidup paripurna. “Bagaimana menjadi seperti Michael Jordan”, misalnya. Padahal, orang yang selalu ingin menjadi seperti orang lain hanya menjadi pecundang!
Socrates tentang pengenalan diri yang nyata atau diri sejati sudah mengisyaratkan tentang “cetakan” primordial manusia. Gunting yang diciptakan untuk menggunting akan melakukan kerja tersebut lebih baik daripada benda lainnya. Begitu pula manusia. Dia diciptakan untuk sebuah tujuan, dan dapat melaksanakan tujuan tersebut lebih baik daripada makhluk lain yang tidak diciptakan untuk tujuan itu.
Dalam ajaran Socrates terlihat adanya “energi minimal”, sebuah energi di mana seseorang terlihat oleh orang lain seperti tengah bekerja keras mengerjakan sesuatu. Padahal, bagi yang bersangkutan, kerja keras tersebut tak ubahnya seperti ikan yang bernapas di air. Begitu mudahnya melarutkan diri dalam keasyikan, dalam kerja.
Akan tetapi, tak setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar antara pengetahuan yang diperoleh melalui “energi minimal” dan pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut.
Dua tipe manusia
Dilema antara pengetahuan dan pengenalan diri bisa kita lihat salah satu contohnya pada dua tipe manusia, yaitu pemikir dan penulis. Tidak setiap pemikir menjadi penulis (pandai menulis dengan baik, mengalir lancar dan enak dibaca); juga tidak setiap penulis menjadi pemikir (berkemampuan membangun konstruksi pengetahuan yang tertata tertib dan mendalam).
Di kalangan pemikir (baca: intelektual) secara umum terdapat dua tipe yang terkait dengan pengetahuan dan pengenalan diri. Pertama, pemikir yang mengabdikan hidupnya demi pengembangan ilmu itu sendiri, ini terbagi menjadi dua subtipe: mereka yang memang energi minimalnya cocok dengan bidang yang digelutinya dan mereka yang lebih dimotivasi hasratnya semata pada bidang itu.
Untuk subtipe pemikir yang kedua, selain ilmu diperoleh tidak semudah pemikir subtipe pertama, ilmu yang digelutinya pun hanya memperkenalkan dirinya kepada berbagai hasrat dalam dirinya. Pada pemikir subtipe pertama, selain mudah mendalami ilmu yang memang menjadi “energi minimal”nya, ilmu yang dipelajarinya berpotensi mengantarkannya pada pengenalan diri.
Permasalahannya, sering kali mereka lebih antusias mengkaji ilmu yang digandrunginya ketimbang berefleksi ihwal “energi minimal”nya. Misal, kita lebih mudah belajar fisika daripada bahasa (seperti Einstein). Pengenalan dasar “energi minimal” dapat menjadi jalan pembuka pengenalan diri sendiri seperti yang dikemukakan Socrates.
Di sisi lain, ada tipe pemikir yang menyerahkan diri jadi penampung gagasan-gagasan orang lain, menjadikan dirinya sendiri tak ubahnya ensiklopedia berjalan. Tahu banyak hal, tapi hanya sebagai kumpulan kutipan. Dia asyik menggeluti pemikiran orang lain, tapi tak pernah melahirkan pengetahuan (yang seharusnya bisa dilahirkan dari pengenalannya akan diri sendiri).
Di kalangan penulis, secara umum ada satu gejala umum terkait dilema ini, yaitu penulis yang memiliki “energi minimal” dalam mengolah kata-kata, tetapi tidak menjadi pemilik dari pengetahuan yang dituliskannya.
Menulis sudah menyerupai sebuah keterampilan atau kriya baginya. Penulis seperti ini sangat terampil mengolah kepingan informasi menjadi sebuah tulisan yang bagus: entah dari ensiklopedi, kamus, internet, dan sebagainya. Namun, bukan berarti penulis itu menggunakan pengetahuan yang dituliskannya untuk mengenali dirinya.
Penulis seperti ini biasanya lebih asyik mengolah kata-kata, merangkai kalimat, tetapi belum tentu punya kemampuan membangun suatu konstruksi pengetahuan yang integral dan komprehensif. Pengetahuan di kepalanya lebih menyerupai puzzle yang tidak bersesuaian satu sama lain dan mengambang.
Sumber: Kompas, Sabtu 17 November 2007. Ditulis oleh Alfathri Adlin, seorang editor, penulis buku, dan juga aktif di Yayasan Paramartha. Bermukim di Bandung.