Sabtu, 30 November 2013

Hakikat Manusia



Alloh terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan, Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya? dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’?

Alloh, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya. Dalam hal ini, Alloh amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

Bentuk ‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Kita fahami Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang raja yang terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya Sethi I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.

Musa, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Alloh, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil.

Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.

Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Alloh dengan air kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”.

Dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Alloh, yaitu Nabi Syu’aib, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya. Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa dirinya diciptakan Alloh sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Alloh telah menciptakannya.
Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan.

“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.”Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’ atau jiwa, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).

Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barang siapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Alloh, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu. Setelah arif akan nafs kita (jiwa) sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’.


Sumber: suluk.blogsome.com - Herry Mardian - emge

Amorfati II

“Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia akan mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Insaan [76]: 29–30).

Ada satu babak, dalam kehidupan kita semua, dimana kita akan mulai bertanya-tanya dan merenungkan sesuatu yang abstrak. Absurd dan tidak bisa kita ceritakan kecuali kepada orang-orang yang juga pernah mengalaminya.

Kita mungkin termasuk satu diantara konstelasi jagad raya orang-orang yang merasakan kegelisahan dan kehampaan dalam hidup kita. Disela-sela kesendirian kita; kita sering bertanya-tanya kepada batin kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang absurd semisal “Siapa saya ini sebenarnya? Untuk apa saya hidup? Kemana harus menuju? Hidup kok seperti hambar dan tak berarti? Apa yang salah dengan kehidupan saya?”

Sebagian orang, mengatasi kegamangan pertanyaann itu dengan membuat kesadarannya lupa akan apa yang dia renungkan. Mereka berlari ke gunung. Nonton bioskop. Safari bersama kawan-kawan, dan macam-macam lagi. Efeknya mungkin terasa untuk sementara, mereka tidak lagi bertanya-tanya dalam hatinya karena disibukkan oleh hal lain, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah menyentuh pokok permasalahan; bahwa ada bagian dalam dirinya yang ingin tumbuh dan menjadi dewasa dengan pengertian-pengertian yang lebih bijak.

Orang-orang arif mengatakan, saat kita sudah mulai bertanya-tanya tentang makna hidup, itulah pertanda bahwa Tuhan memberikan rahmat kepada kita. Rahmat itu berupa kegelisahan dan perasaan gersang akan keadaan; yang menjadi bahan bakar bagi diri kita untuk bergerak dan mencari-cari jawaban. Dan satu-satunya yang bisa menentramkan diri kita atas pertanyaan-pertanyaan absurd semisal itu adalah kesadaran hati bahwa sebenarnya kita sedang meniti jalan kembali kepada Tuhan. Kepada Dialah kita menuju.

Orang-orang yang terpantik kesadaran hatinya untuk kembali kepada Tuhan, biasanya akan melewati gerbang-gerbang pendewasaan diri. Tempo-tempo kita bisa merasa begitu sungkan untuk beribadah karena melihat dosa-dosa yang telah kita lakukan sebegitu banyaknya. Padahal, guru-guru mengatakan bahwa sadar akan kekhilafan adalah baik; akan tetapi penyesalan yang ekstrim sampai merasa diri tidak layak kembali ke Tuhan dan terlanjur basah ya sudahlah- adalah tipuan yang sangat halus dan harus kita hindari.

Orang-orang yang terpantik kesadaran hatinya untuk kembali kepada Tuhan, biasanya akan melakukan segala cara untuk mendekatkan dirinya kembali kepada Tuhan. Apatah itu memperbanyak ibadah sholat kita, ataukah puasa kita, ataukah dzikir kita, dan kita akan melakukan itu dengan semangat yang luar biasa karena kita baru saja menemukan arah baru dalam orientasi hidup kita.

Istilahnya semacam mengejar ketertinggalan. Semacam kesadaran bahwa hidup tanpa welas asih Tuhan itu ndak enak. Hidup dalam segala kemelut rasa dalam hati itu; ndak enak. Kita ingin sekali dekat kepada Tuhan.

Tapi sangat mungkin dalam terus mengejar ketertinggalan itu kita letih. Perjalanan itu alangkah panjangnya? Jalan itu alangkah terjalnya. Kesunyian itu alangkah mencekamnya. Dan bagaimana cara menempuhnya?

Semakin kita ingin mencegah hati ini dari rasa marah, semakin kita marah. Semakin kita sibuk mengatur hati ini untuk tidak iri misalnya, semakin kita iri. Semakin kita mengatakan kepada hati saya untuk tidak galau, semakin kita galau.

Apa yang salah?

Demikian lama saya berputar-putar mencari jawaban, hingga akhirnya dipertemukan dengan orang-orang arif yang mengingatkan bahwa ‘untuk berjalan menuju Tuhan-pun, kita butuh pertolongan Tuhan’.

Tiada daya berketaatan, dan tiada daya meninggalkan segala salah dan dosa kecuali dengan pertolongan Dia.

Orang-orang arif mengatakan kuncinya sederhana saja. Mindset kita harus dirubah, dari merasa ‘kita berjalan menuju Tuhan’ dirubah menjadi ‘kita minta pertolongan Tuhan untuk diperjalankan menujuNya’.

Jadi ketika terhantam masalah, tidak usah sibuk melihat kedalam batin dan merekayasa agar tidak galau. Tapi kembalikan seketika itu juga kepada Tuhan, dan berdoalah bahwa betapa tanpa pertolonganNya kita ini tidak akan mampu terlepas dari gelisah dan was-was. Setelah itu lepaskan saja.

Saat kita iri kepada orang lain, tidak usah sibuk melihat kedalam batin dan setengah mati menahan rasa iri. Melainkan berdoalah dan mengadulah kepada Tuhan bahwa betapa tanpa pertolongan Dia kita tidak mungkin lepas dari kebencian melihat kebahagiaan orang lain.

Saat kita jenuh beribadah dan terasa hambar segala pengabdian, tidak usah sibuk merekayasa agar sholat dan zikir kita menjadi haru dan penuh isak tangis. Melainkan berdoalah dan mengakulah, bahwa betapa tanpa Dia, kita tidak akan pernah mengerti makna kehambaan yang sebenarnya dan tak akan pernah mencecap nikmatnya beribadah.

Tugas kita hanya mengukur diri saja rupanya. Dan menyadari, bahwa tidak satu tapakpun perjalanan kita mengenalnya akan berhasil, kecuali Allah sendiri yang menuntun kita kepadaNya.


“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, kamu tidak akan dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Tuhan Semesta Alam.”
(QS. At-Takwiir [81]: 28 –29).


*Night Shift 1, CPP Lab KPC

Gnothi Seauthon!

“Gnothi Seauthon - Kenaliah dirimu!”
-- Socrates


Di Yunani, sejak abad VI S.M., terkenal sebuah tempat pemujaan Apollo di Delphi. Ke tempat itulah raja-raja dan rakyat banyak meminta nasihat. Seorang pendeta wanita duduk di atas kursi yang dipenuhi asap dari sajian pemujaan. Dalam keadaan trance (fana), ia menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung dari masalah kontes lagu hingga urusan agama dan politik.


Ketika penjahat-penjahat di koloni Locri meminta nasihat bagaimana mengatasi kekacauan, orakel Delphi menjawab: “Buatlah hukum bagimu”. Ketika orang-orang bertanya siapa manusia paling bijak, dewa Apollo melalui mulut pendeta Delphi menjawab : “ Socrates”.


Di pintu gerbang tempat pemujaan tersebut tertulis sebuah motto yang terkenal : “Gnothi Seauthon!” (Kenalilah dirimu!). Motto ini mengusik para filsuf untuk mencoba memahami dirinya sehingga –kabarnya- dari motto inilah yang mendorong berkembangnya filsafat di Yunani yang melahirkan manusia-manusia seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain.


Mengenal diri sendiri memang begitu penting. Dengan mengenal diri sendiri, seseorang jadi tahu tentang kelemahan dan kekuatannya. “Mengenal diri sendiri harus dilakukan sebelum berusaha mengenal teman dan lawan”, begitu kata seorang panglima perang terkenal bernama Sun Tzu. Bahkan lebih dari itu, dalam hadist Qudshi dikatakan: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya - Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu”.

Lantas, bagaimana cara mengenal diri sendiri? Tafakurlah/Merenunglah. Sediakan waktu untuk mencermati dan berpikir tentang diri sendiri.

Didalam Al-Qur'an yang tersurat sendiri pun kita sebenarnya telah diberi petunjuk untuk mengenali diri. Dikatakatan dalam surat Al-Alaq, 96 ayat 1-5:


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dan tidaklah Nabi Muhammad SAW disuruh membaca Al-Qur'an pertama kali oleh Malaikat Jibril kecuali membacai Al-Qur'an dalam diri Nabi Muhammad sendiri.

QS. Al-Alaq: 1-2, ayat pertama memerintahkan Muhammad membaca, "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan", maka pada ayat berikutnya "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah" memerintakan Muhammad untuk mengetahui asal-usul kejadian manusia, hal ini mengisyaratkan agar Nabi Muhammad membaca Al-Qur'an yang ada didalam dirinya..

Dalam meniti jalan untuk menuju Alloh, harus belajar lalu mengetahui, meyakini lalu mengamalkan, sampai pada akhirnya bisa "me-rasa-kan" akan kehadiran Nur Muhammad (Cahaya yg Terpuji), yang merupakan asal kejadian diri dari segala Ruh (Abu Arawah) dan asal kejadian diri dari segala sesuatu. Dan karena Nur Muhammad inilah Alloh menciptakan segala sesuatu.

Nur Muhammad yang dimaksud disini bukanlah Nabi yang lahir di kota Makkah, tapi adalah cahaya yang disebut Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah wasilah (penghubung atau penyambung), tanpa adanya dan melalui Nur Muhammad, maka mustahil ruhani seseorang akan tersambung kepada-Nya. Di sadari atau tidak, di yakini atau tidak, itulah hakikat sesungguhnya.


Segala keindahan dan segala kelembutan akhlaq adalah bersumber dari Nur Muhammad yang bersumber langsung dari Keindahan Alloh (sifat Jamal- Nya). Bilakah kau menuju Alloh, sedangkan kau sendiri tidak tahu siapa pembimbing-mu, dan bahkan kau tidak yakin dengan keberadaan Nur Muhammad sebagai pembimbing rohani-mu, lalu siapa pembimbing rohani-mu dan lalu siapa yang kau temui dalam perjalanan rohani-mu?!

Pelajarilah kitab Tauhid dan carilah guru Mursid*, bahkan tujuh kitab dan tujuh guru. Buktikan apakah bacaan ini membawa dirimu kedalam kegelapan atau membimbingmu ke jalan yang terang menuju Tuhanmu. Belajarlah dengan sempurna, maka perjalanan rohanimu juga akan sempurna..! Dengan penuh rasa cinta...

*Guru Murshid ialah seorang Arifin Billah yang mengajarkan ilmu tentang ke-Esaan Alloh, diantaranya bercirikan memahami betul ilmu Tauhid, zuhud terhadap kehidupan dunia, ahli berbelas kasihan pada makluk Alloh..

Pengenalan Diri: Pengetahuan dan Kebahagiaan

"Ingatlah bahwa penampilan pertamamu di muka bumi ini diawali dengan kebodohan dan ketidaktahuan, kemudian secara bertahap engkau memperoleh pengetahuan. Ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar pengetahuan dan pemahamanmu, yang membingungkan dan mengejutkanmu, dan yang tentang engkau tak mengerti "mengapa" dan "bagaimana", serta hal-hal yang tidak dan tidak akan dapat kau ketahui, juga hal-hal yang tidak dapat kau duga dan kau prediksi. Jika ada yang tidak kau pahami, janganlah kamu langsung menolaknya. Ingatlah selalu bahwa ketidak mengertianmu disebabkan oleh prasangka burukmu, buramnya hatimu, kurangnya pengetahuanmu atau kebodohanmu.
-- Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib a.s.


Kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri tersebut kini sudah benar-benar terlupakan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia.

Dalam sebuah film yang ditayangkan oleh satu stasiun televisi swasta diceritakan kisah seorang Ibrahim Al-Haqq dari Turki. Ibrahim mengalami peristiwa yang agak ganjil, yakni melihat seseorang di kejauhan yang selalu berteriak-teriak: “… di mana engkau… di mana engkau…?”

Begitu sering orang di kejauhan itu terlihat. Bahkan, semakin hari sosok tersebut semakin terlihat dekat, atau terlihat di sela-sela kerumunan orang. Ibrahim semakin penasaran, hingga ia bertanya kepada sahabatnya: “Siapakah orang gila yang setiap hari selalu berteriak-teriak mencari seseorang itu?”

Akan tetapi, sang sahabat malah balik bertanya: “Orang gila yang mana? Aku tidak melihatnya.” Bagi Ibrahim tetap saja sosok tersebut terlihat, semakin dekat, semakin dekat hingga akhirnya dia pun berhadapan langsung dengan sosok tersebut. Betapa terkejutnya Ibrahim melihat sosok tersebut, yang ternyata adalah dirinya sendiri. Ia memberi banyak wejangan kepada Ibrahim, antara lain sebuah ungkapan, “Fungsi pengetahuan adalah untuk mengenal diri”.

Cerita di atas mengingatkan kita pada sebuah tulisan di pintu masuk kuil di Delphi, Yunani, Gnothi Se Authon(Kenalilah Dirimu Sendiri). Ucapan (kata mutiara) Apollo itu digunakan Socrates untuk mengajari warga Athena mengenali siapa diri mereka yang sejati. Bahwa kehidupan yang tidak ditafakuri ialah kehidupan yang tidak layak dijalani.

Manusia, menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan dan dikenali oleh dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam pengenalan akan diri yang nyata tersebut. Dengan mengenal siapa dirinya, manusia akan mengetahui bagaimana sebaiknya berbuat.

Maka, Socrates pun mengimbau kaum muda untuk bertafakur agar dapat mengenal diri mereka sendiri. Walaupun pengetahuan dapat dipelajari melalui debat dan diskusi, Socrates tetap menekankan bahwa pengetahuan yang nyata mengenai esensi harus dicapai dengan pengenalan diri sendiri.


Tak mengenal diri
Kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri tersebut kini sudah benar-benar terlupakan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia.

Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.”

Hal tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf asal Amerika. Menurut dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena, kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.

Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000 tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang yang sudah diketahui Plato?

Hal tersebut semakin diperkabur dengan pandangan, manusia itu tak ubahnya tanah liat tak berbentuk dan menantikan dibentuk menjadi apa pun. Identitas kita dipandang hanya sebagai konstruksi sosial-budaya belaka yang menjadi cetakan bagi manusia yang “terlempar” ke dalamnya. Pandangan seperti ini semakin mengarahkan manusia untuk bergerak, melihat, dan mempelajari segala sesuatu di luar dirinya, dan melupakan khazanah dirinya sendiri, seperti dikemukakan—antara lain—oleh Socrates.


“Energi minimal”
Dalam tren buku-buku psikologi populer, manusia malah lebih sering diarahkan untuk terobsesi menjadi orang lain yang dipandang sebagai simbol hidup paripurna. “Bagaimana menjadi seperti Michael Jordan”, misalnya. Padahal, orang yang selalu ingin menjadi seperti orang lain hanya menjadi pecundang!

Socrates tentang pengenalan diri yang nyata atau diri sejati sudah mengisyaratkan tentang “cetakan” primordial manusia. Gunting yang diciptakan untuk menggunting akan melakukan kerja tersebut lebih baik daripada benda lainnya. Begitu pula manusia. Dia diciptakan untuk sebuah tujuan, dan dapat melaksanakan tujuan tersebut lebih baik daripada makhluk lain yang tidak diciptakan untuk tujuan itu.

Dalam ajaran Socrates terlihat adanya “energi minimal”, sebuah energi di mana seseorang terlihat oleh orang lain seperti tengah bekerja keras mengerjakan sesuatu. Padahal, bagi yang bersangkutan, kerja keras tersebut tak ubahnya seperti ikan yang bernapas di air. Begitu mudahnya melarutkan diri dalam keasyikan, dalam kerja.

Akan tetapi, tak setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar antara pengetahuan yang diperoleh melalui “energi minimal” dan pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut.


Dua tipe manusia
Dilema antara pengetahuan dan pengenalan diri bisa kita lihat salah satu contohnya pada dua tipe manusia, yaitu pemikir dan penulis. Tidak setiap pemikir menjadi penulis (pandai menulis dengan baik, mengalir lancar dan enak dibaca); juga tidak setiap penulis menjadi pemikir (berkemampuan membangun konstruksi pengetahuan yang tertata tertib dan mendalam).

Di kalangan pemikir (baca: intelektual) secara umum terdapat dua tipe yang terkait dengan pengetahuan dan pengenalan diri. Pertama, pemikir yang mengabdikan hidupnya demi pengembangan ilmu itu sendiri, ini terbagi menjadi dua subtipe: mereka yang memang energi minimalnya cocok dengan bidang yang digelutinya dan mereka yang lebih dimotivasi hasratnya semata pada bidang itu.

Untuk subtipe pemikir yang kedua, selain ilmu diperoleh tidak semudah pemikir subtipe pertama, ilmu yang digelutinya pun hanya memperkenalkan dirinya kepada berbagai hasrat dalam dirinya. Pada pemikir subtipe pertama, selain mudah mendalami ilmu yang memang menjadi “energi minimal”nya, ilmu yang dipelajarinya berpotensi mengantarkannya pada pengenalan diri.

Permasalahannya, sering kali mereka lebih antusias mengkaji ilmu yang digandrunginya ketimbang berefleksi ihwal “energi minimal”nya. Misal, kita lebih mudah belajar fisika daripada bahasa (seperti Einstein). Pengenalan dasar “energi minimal” dapat menjadi jalan pembuka pengenalan diri sendiri seperti yang dikemukakan Socrates.

Di sisi lain, ada tipe pemikir yang menyerahkan diri jadi penampung gagasan-gagasan orang lain, menjadikan dirinya sendiri tak ubahnya ensiklopedia berjalan. Tahu banyak hal, tapi hanya sebagai kumpulan kutipan. Dia asyik menggeluti pemikiran orang lain, tapi tak pernah melahirkan pengetahuan (yang seharusnya bisa dilahirkan dari pengenalannya akan diri sendiri).

Di kalangan penulis, secara umum ada satu gejala umum terkait dilema ini, yaitu penulis yang memiliki “energi minimal” dalam mengolah kata-kata, tetapi tidak menjadi pemilik dari pengetahuan yang dituliskannya.

Menulis sudah menyerupai sebuah keterampilan atau kriya baginya. Penulis seperti ini sangat terampil mengolah kepingan informasi menjadi sebuah tulisan yang bagus: entah dari ensiklopedi, kamus, internet, dan sebagainya. Namun, bukan berarti penulis itu menggunakan pengetahuan yang dituliskannya untuk mengenali dirinya.

Penulis seperti ini biasanya lebih asyik mengolah kata-kata, merangkai kalimat, tetapi belum tentu punya kemampuan membangun suatu konstruksi pengetahuan yang integral dan komprehensif. Pengetahuan di kepalanya lebih menyerupai puzzle yang tidak bersesuaian satu sama lain dan mengambang.


Sumber: Kompas, Sabtu 17 November 2007. Ditulis oleh Alfathri Adlin, seorang editor, penulis buku, dan juga aktif di Yayasan Paramartha. Bermukim di Bandung.

Rabu, 27 November 2013

Repost; Iqra!

 

“Ingatlah bahwa penampilan pertamamu di muka bumi ini diawali dengan kebodohan dan ketidaktahuan, kemudian secara bertahap engkau memperoleh pengetahuan. Ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar pengetahuan dan pemahamanmu, yang membingungkan dan mengejutkanmu, dan yang tentang engkau tak mengerti "mengapa" dan "bagaimana", serta hal-hal yang tidak dan tidak akan dapat kau ketahui, juga hal-hal yang tidak dapat kau duga dan kau prediksi. Jika ada yang tidak kau pahami, janganlah kamu langsung menolaknya. Ingatlah selalu bahwa ketidak mengertianmu disebabkan oleh prasangka burukmu, buramnya hatimu, kurangnya pengetahuanmu atau kebodohanmu.”
-- Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib

Inilah dunia! Duniamu, duniaku, dunia kita. Dunia yang terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja walaupun terkadang begitu menyakitkan. Dunia yang menawarkan segala kemungkinan revolusioner. Dunia yang disitulah kehidupan ahirat kita akan ditentukan. Maka sudah benar bahwa wahyu ilahiyah pertama adalah‘iqro’, perintah untuk membaca.

“Iqro - Bacalah!”
{QS. Al-Alaq, 96:1}

Sebab dalam kehidupannya, tugas manusia adalah membaca untuk mengabdi. Membaca mekanisme fisis dengan ilmu fisika, membaca reaksi unsur-unsur dengan ilmu kimia, membaca kehidupan dengan biologi, membaca interaksi antar manusia dengan sosiologi, membaca bumi dengan geografi, membaca budaya dengan antropologi, membaca jiwa manusia dengan psikologi dan tentu saja membaca seisi dunia dengan otak manusia maka dari itu, hidup manusia adalah penelitiannya.

Semua kegiatan pembacaan itu, haruslah di orientasikan pada tugas manusia selanjutnya, yaitu: mengabdi. Semua itu dilakukan sebagai bentuk pengabdian kita, manusia, kepada Sang Pencipta, Alloh ta'ala..

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
{QS. Adh-Dhariyat, 51:56}

Dan lebih kedalam lagi, ayat pertama Al Qur’an turun,
“Iqra!”

Suara Rohul Qudus itu menggema dalam gelap goa Hira. Rasulullohpun merinding, lalu beliau menjawab “Aku buta huruf, bagaimana aku membacanya?”

Tapi suara itu terus menggema,
“Iqra! Iqra! Iqra!”

Rasululloh memang seorang umi, tapi bukan berarti tidak bisa “membaca” Al Quran, karena firman Allah bukan tulisan. Firman itu tidak bisa dibaca hanya dengan mata atau telinga, tetapi harus dengan hati. ‘Iqro’ yang dimaksud di ayat tersebut bukan sekedar membaca tulisan. Tetapi membaca alam semesta dan segala ciptaan-Nya, termasuk juga diri kita sendiri. Bukankah semua di alam semesta ini adalah ‘kitab’ karangan Alloh SWT?

Sebagaimana sebuah kitab/buku, dia harus dibaca. Dan tujuan membaca adalah untuk memahami isinya. Kemudian untuk memahami isinya, kita harus mengerti gagasan (topik) dasar dari kitab tersebut, sistematika penulisannya, dan sebagainya.



*Membaca Diri dan Alam Semesta
Demikian pula setika kita membaca alam semesta ini. Kita harus memahami topik dan gagasannya, tujuannya, sistematikanya, maksud sang pengarang, dan sebagainya. Mulailah menggunakan mata dan telinga untuk ‘ngaji diri’ serta melihat dan mendengar ayat-ayat Alloh yang tertera secara nyata di alam semesta. Dengan cara itu, ketika nanti kita kembali membaca kitab Tuhan, kita tidak salah menafsirkannya. Sesungguhnya tasfir kitab Tuhan, ada di alam semesta.Segala aktivitas yang terjadi ketika kita membaca sebuah buku, juga harus hadir dalam ‘membaca’ kitab Alloh yang teramat luas ini.

Membaca Al-Quran harus disertai dengan membaca diri dan membaca alam semesta. Mengapa? Karena Al-Quran itu sendiri menunjuk pada alam diri dan alam semesta. Al Quran bukanlah berisi kalimat-kalimat tanpa makna, melainkan yang penuh dengan makna. Dan makna-makna itu terdapat pada diri dan alam semesta. Makna-makna itu adalah juga ayat-ayat Alloh yang disebut dengana ayat-ayat kauniyah.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur`an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
{QS. Fussilat, 41:53}

Perhatikan pada kalimat “sehingga jelaskah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar”. Hal ini berarti, kebenaran Al-Qur'an menjadi jelas setelah ayat-ayat Alloh yang terdapat di alam semesta dan di dalam diri sendiri bisa terbaca. Tanpa melihat kebenaran di dalam diri dan alam semesta, maka bagaimanakah caranya seseorang dapat memahami kebenaran Al-Qur'an?

Lalu, apakah semua orang mampu melakukan membaca diri dan alam semesta? Tidak semua orang bisa membaca diri dan alam semesta. Sebab sebagian orang buta dan tuli hatinya, sehingga mereka tidak dapat melihat dan membaca diri dan alam semesta.

“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka mengapa kamu tidak memikirkan (nya)?”
{QS. Al-An'am, 6:50}

Mereka dapat melihat langit dan bumi, gunung dan lautan, mendengar burung berkicau, dan petir yang menggelagar, tapi mereka tetap disebut buta dan tuli. Bukan buta dari dari melihat benda-benda duniawi, tapi buta dari kebenaran, buta dari pengetahuan akhirat.

“Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”
{QS. An-Naml, 27:66}

“Buta dari padanya”, maksudnya adalah buta dari objek pengetahuan akhirat, yang sebenarnya objek pengetahuan akhirat ini tidak keluar dari alam semesta dan dirinya sendiri, tetapi mereka tidak mampu melihat dan membacanya karena kebutaan hatinya itu.

Apakah para ahli fisika, para dokter dan para ahli biologi, mereka itukah yang disebut “dapat membaca diri dan alam semesta” ? Bukankah keahlian mereka adalah menyelidiki alam semesta? Jika mereka itulah yang disebut “dapat membaca diri dan alam semesta” dengan mata hatinya, maka niscaya tidak akan ada ilmuwan yang kafir.

Mereka terampil membaca objek-objek duniawi, tapi kebanyakan mereka tidak mampu membaca objek-objek ukhrawi. Karena itu kemudian sebagian mereka mengingkari adanya Tuhan yang Maha Esa, menjadi atheisme. Pengetahuan mereka tidak sampai kepada objek-objek ukhrawi. Jika pengetahuan mereka sampai kepada objek ukhrawi, niscaya mereka akan melihat neraka jahim.

“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin,”
{QS. At-Takatsur, 102 : 5-7}

Jika memang mereka dapat membaca diri dan alam semesta, tentu mereka akan memiliki ilmul yaqin dan ainal yaqin. Dan apabila memiliki keduanya, maka mereka akan melihat neraka jahim, bukan sekedar atom atau benda-benda mikro yang bisa dilihat dan diteliti di bawah mirkoskop. Kemampuan membaca objek-objek ukhrawi ini adalah wajib. Sebab, jika seseorang buta dari padanya, maka buta pulalah ia diakhirat:

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”
{QS. Al-Isra, 17:72}

Engkau menganggap bahwa DIRI-mu sangat kecil? Padahal DIRI-mu dapat memuat Alam Semesta. Sesungguhnya DIRI ini adalah KITAB yang NYATA (Kitabun Mubin), Yang di dalamnya tersembunyi ABJAD/HURUF yang dapat di-BACA/IQRO... Untuk itu, engkau tidak perlu mencari sesuatu diluar DIRI-mu, Apa yang engkau cari telah ada dalam DIRI-mu, jika engkau mau memikirkannya..

*Salam Kontemplasi!

Gerbang Kota



“Janganlah kamu mengenal dan mengikuti kebenaran karena tokohnya; tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kamu mengetahui siapa tokohnya.”
-- Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.

Apa jadinya jika sebuah rumah tidak berpintu? Tidak satu pun dapat masuk atau keluar dari rumah tersebut. Sedemikian penting kegunaan pintu sehingga tak satu pun rumah yang tak berpintu. Karena perannya yang begitu penting, pintu tidak hanya dipasang, tetapi juga dihiasi dengan berbagai warna dan ukiran yang sangat indah. Pertama kali yang dicari oleh seseorang ketika mendatangi sebuah rumah adalah pintu. Demikian pula, pertama kali yang dituju oleh pemilik rumah untuk menyambut yang hendak masuk adalah pintu. Tak heran bila pintu menjadi sebuah bagian yang terintegrasi secara esensial dalam sebuah rumah, tak terpisahkan, tak tergantikan dan tak terwakili oleh yang lain.

Sama peran dengan pintu, gerbang suatu kota merupakan pintu untuk masuk maupun keluar darinya. Suatu kota yang tidak bergerbang, berarti ia telah mengisolasi diri dari dunia luar, menutup dirinya sehingga tak seorang pun dapat mengetahui kedalamannya, dan menjadikan dirinya sebagai sebuah misteri untuk selamanya. Dengan gerbang, ia akan terbuka untuk dikunjungi, didatangi, dan dikenal serta ditelusuri kedalamannya.

Apa yang disebutkan di atas berlaku dalam dunia material, tatapi hal itu berlaku juga pada dunia imaterial. Dalam dunia imaterial, ada juga yang disebut dengan pintu atau gerbang. Perbedaan antara pintu material dan pintu imaterial bukan pada pemaknaannya bahwa yang pertama hakiki, sedang yang kedua bersifat metaforis. Berdasarkan pada pendapat bahwa setiap kata dibuat dan diletakkan pada “inti makna”, bukan pada “terapan makna”, pemaknaan pintu pada benda material maupun pada wujud imaterial harus sama-sama bersifat hakiki. Pintu dalam dunia imaterial sungguh-sungguh memainkan peran sebagai sebuah pintu yang hakiki. Hakikat pintu adalah jalan untuk masuk maupun keluar dari luar ke dalam dan sebaliknya. Sebagaimana hakikat ini dapat ditemukan pada pintu material, kita juga dapat mendapatkannya pada pintu imaterial, bahkan dengan bentuk yang lebih hakiki dan tak tergantikan sama sekali.

Salah satu dari pintu atau gerbang imaterial adalah Ali bin Abi Thalib as. Beliau merupakan gerbang masuk ke kota ilmu Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha” (Aku adalah kota ilmu, sedang Ali as. adalah gerbangnya). Penunjukkan Ali as. sebagai gerbang kota ilmu oleh Rasulullah saw. bukan atas pertimbangan semau “Aku”, melainkan berdasarkan pada pertimbangan pada keniscayaan hakiki-rasional; pada potensi dalam diri Ali as. yang mustahil ditemukan pada diri selainnya. Jika demikian, kedudukan Ali as. sebagai gerbang kota ilmu adalah sesuatu yang pertama, tak tergantikan, dan kedua, tidak bisa diberikan kepada orang lain. Berbeda dengan gerbang hakiki-rasional, gerbang “semau Aku” dapat digantikan dengan orang lain sekehendak “Aku”, dan peran dirinya sebagai gerbang dapat diberikan olehnya kepada orang lain. Penunjukkan Ali as. sebagai gerbang kota ilmu tidak dapat dikatakan sebagai suatu wishful thinking, yaitu pemikiran yang mengungkapkan keinginan, tetapi bukan kebenaran dan keniscayaan rasional. Siapa pun yang memerankan diri seperti Rasulullah saw., ia akan dihadapkan pada satu pilihan yang tidak bisa tidak, yaitu menjadikan Ali as. sebagai gerbang bagi setiap orang yang hendak masuk pada kedalaman intelektual dirinya. Bagaimana Ali as. tidak mendapatkan kehormatan sebagai gerbang intelektualitas Rasulullah as., sementara beliau adalah orang yang paling pantas menjadi nabi setelah Rasulullah saw., seandainya saja kenabian tidak ditutup dengan kenabiannya.

Gerbang kota ilmu yang disematkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib as. bukanlah sesuatu yang sifatnya material, hal ini jelas, karena hal-ihwal keilmuan bukanlah di dunia material, melainkan di dunia imaterial. Namun demikian, hukum yang berlaku pada hakikat gerbang, sebagaimana berlaku pada gerbang material, berlaku juga pada gerbang imaterial. Ali as. adalah gerbang masuk bagi siapa pun yang ingin masuk ke dalam kota ilmu. Tanpa gerbang, kota ilmu tidak akan pernah dapat dimasuki dan ditelusuri kedalaman ilmunya. Tanpa gerbang, siapa pun tidak akan pernah bisa menggali ilmu di kota ilmu. Rasulullah as. tidak pernah bermaksud untuk mengisolasi dirinya dari dunia luar dan umat manusia, justru beliau diutus supaya menarik sebanyak mungkin manusia untuk masuk ke dalam dirinya sebagai kota ilmu. Tetapi, kota tersebut tidak bisa dimasuki melalui pintu palsu di mana tidak dapat menyampaikan pemasuknya ke kota tersebut, tidak juga tanpa pintu. Dalam hal ini, Rasulullah as. mengingatkan kita bahwa pintu masuk ke dalam dirinya adalah Ali bin Abi Thalib as. Tak seorang pun dapat masuk kota ilmu tanpa mengenal Ali as., dan tak seorang pun dapat masuk ke kota ilmu melalui pintu selain pintu Ali as. Selain Ali as. adalah pintu-pintu palsu yang justru akan membawa pemasuknya pada kota kebodohan dan kesesatan..

Dalam firmannya, Allah menegaskan:
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa (wa lakinnal birro manit taqo). Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
(QS Al-Baqarah [2]:189).

Dalam ayat ini, diterangkan bahwa kebajikan bukanlah berusaha masuk ke sebuah rumah dari belakangnya, bukan juga hanya konsep “ketakwaan”. Allah, dalam ayat ini, tidak mengatakan, “wa lakinnal birro huwat taqwa”, yang artinya kebajikan adalah ketakwaan, melainkan Dia berkata, “wa lakinnal birro manit taqo”, yang artinya kebajikan adalah orang yang bertakwa. Jadi, ketakwaan selama berupa konsep, ia tidak memiliki kebajikan apa pun. Yang bajik bukanlah yang mengerti arti ketakwaan, ia adalah yang menghayati ketakwaan dalam dirinya, mengamalkan dalam tindakannya, dan ia yang bertakwa, bukan ia yang mengerti konsep ketakwaan. Sekedar mengerti ketakwaan, seseoarang belum mencapai tindak kebajikan.

Dalam konteks ketakwaan, Allah menyebut bahwa salah satu dari bentuk ketakwaan adalah masuk rumah melalui pintunya. Hal sama juga dapat kita katakan bahwa yang bertakwa adalah orang yang sungguh-sungguh memasuki pintu Ali as. menuju kota ilmu Rasulullah saw. Ia tidak masuk dari belakangnya, karena itu bukan kebajikan dan tidak akan mengantarkannya pada tujuan sama sekali. Hanya dengan memasuki pintu Ali, kebajikan dan ketakwaan dapat diraih. Ini artinya, bahwa kita semua umat Islam harus ber-wilayah kepada Ali bin Abi Thalib dalam pengertian bahwa kita semua harus memasuki pintu Ali, dan tidak hanya manjadikan konsep “Ali as. pintu Rasulullah saw.” hanya sebagai bentuk keutamaan dalam lisan. Keutamaan Ali as. sudah terjamin di sisi Allah, baik kita mengikrarkan dan mengucapkannya maupun tidak. Keutamaan tidak terletak pada seberapa yakin kita mengakui Ali as. sebagai pintu Rasulullah, keutamaan hanya terletak pada sejauh mana kita dapat memasuki pintu Ali. Senada dengan ayat di atas, kita dapat katakan: “Laesal birru huwa dukhulu baabi madinatil ilmi, wa lakinnal birro man dakhola baaba madinatil ilmi” (Kebajikan bukanlah konsep “masuk pintu kota ilmu”; kebajikan adalah orang yang memasukinya). Kebajikan bukanlah seseorang menatap dengan penuh kagum dan bangga pintu Ali as. dengan segala keindahan dan kemewahannya dari luar, kebajikan adalah bila ia masuk ke dalam pintu tersebut. Dengan demikian, kita semua tidak hanya harus berbangga-diri dengan Imam Ali as. sebagai gerbang ilmu, melainkan kita harus berbangga-diri dengan menimba ilmu darinya dan melaksanakannya seperti ia melaksanakannya. Kita tidak boleh mendatangi pintu Ali as. dengan tujuan untuk mencari justifikasi atas keyakinan kita, karena itu bertentangan dengan maksud “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha”. Kita harus mendatangi dan masuk ke dalamnya dengan diri yang bersih dan kosong dari segala keyakinan-keyakinan yang kotor, dan dengan maksud mendengarkan kebenaran darinya, bukan dengan maksud mencari pembenaran terhadap keyakinan kita, melainkan dalam rangka menerima curahan kebenaran yang harus kita terima. Kita harus menyesuaikan diri dengan Ali as, bukan sebaliknya. Kebenaran Ali as. tidak dapat dipaksakan untuk sesuai dengan keyakinan kita, tapi kebenaran Ali as. harus menjadi kriteria bagi kebenaran keyakinan kita.

Jadi, meski hadis “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha” termasuk hadis-hadis keutamaan, yang sering disebut-sebut oleh para pengikutnya dalam pengajian-pengajian tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib as., atau dalam berdebat dengan para penginkar keutamaan beliau, namun demikian, pesan yang lebih mendalam yang dibawa oleh hadis ini lebih dari sekedar apa yang sementara ini dikira orang. Pesan ini tidak hanya ditujukan pada para pengikut setia beliau, tetapi juga pada semua umat Islam dengan pelbagai aliran dan mazhab. Hadis ini tidak hanya sedang menekankan sebuah konsep bahwa pertama, Ali as. adalah gerbang menuju kedalaman ilmu Rasulullah saw., dan kedua, masuk melalui gerbang itu merupakan syarat mutlak untuk sampai pada kota ilmu. Lebih dari itu, hadis ini ingin mengatakan pesannya kepada kita bahwa yang bajik bukanlah sekedar menyakini dua konsep di atas, melainkan kebajikan adalah orang yang masuk melalui pintu Ali as. untuk sampai pada ilmu Rasulullah saw.

Hubungan antara gerbang dan kota ilmu, dalam hal ini Ali as. dan Rasulullah saw., bersifat hakiki dan pasti. Artinya, kita tidak dapat memutus hubungan ini sekehendak hati kita. Keduanya saling terkait secara erat sehingga mustahil kita mampu mencapai kota ilmu Rasulullah selain melalui Ali as. Selain Ali as., tidak ada satu pun pintu masuk ke kota ilmu. Meski selain Ali as. banyak yang menawarkan pintu masuk ke kota ilmu, semua itu tidak mendapat restu dari Rasulullah dan illegal serta tidak direkomendasikan oleh beliau. Hanya Ali as., titik, tiada lainnya.

Ibarat orang yang panik ketika tidak menemukan pintu masuk ke suatu tempat yang hendak dia tuju, demikian pula, siapa pun yang tidak menemukan atau tidak mau masuk pintu Ali as. akan mengalami kepanikan dan kekalutan intelektual sehingga dia semakin jauh dari kebenaran dan dekat kepada kesesatan. Banyak dari pemikir-pemikir telah dan akan mengalami kekalutan dan kepanikan mental-intelektual karena menjauh dari pintu Ali as. Mu’tazilah, umpamanya, harus terjerumus pada derita mensyekutukan Tuhan dalam kekuasaan-Nya dengan konsep “manusia bebas”-nya, dan Asy’ariah terjatuh pada perangkap determinisme karena tidak mampu menyelesaikan apa yang dikiranya bertentangan, yaitu kekuasaan Tuhan yang mutlak dan kebebasan manusia dalam bertindak. Dan banyak lagi contoh-contoh kepanikan lainnya. Semua itu karena mereka karena bu’duhum aw ibti’aduhum a’n Aliyyin (jauh atau menjauhnya mereka dari Ali bin Abi Thalib as.). Dalam banyak riwayat, Ali telah memberikan penyelesaian secara tuntas atas kemusykilan dan kepanikan Asy’ariah dan Mu’tazilah ini, bahkan sebelum mereka lahir. Anda dapat merujuk riwayat-riwayat tersebut pada tafsir Al-Mizan karya Thaba’thaba’i, kitab “Aqoid al-Imammiyyah” dengan komentar Sayyid Kharrazi, dan kitab-kitab lainnya yang membahas tentang konsep “Al-Amru baena al-amrain” (Perkara di antara dua perkara). Solusi bagi mereka hanya satu, yakni bertakwa dengan memasuki pintu Ali as., bukan sekedar menyakini bahwa Ali as. pintu kota ilmu Rasulullah saw., apalagi menjauhi atau mengingkarinya. Setelah itu, Rasulullah saw. serta Ali as. akan memecahkan problem mereka. Sebagai manusia yang benar-benar telah masuk pintu Ali as., Ali bin Musa Ar-Ridha as. pernah ditanya: “Wahai putra Rasulullah diriwayatkan kepada kami bahwa Imam Ja’far Shodiq berkata, “Tidak ada jabr (keterpaksaan) dan tidak ada tafwidh (penyerahan kekuasaan kepada manusia), tetapi (yang benar) adalah perkara di antara dua perkara”, apakah yang dimaksud dengan riwayat ini? Beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa Allah yang menciptakan perbuatan kita, lantas menyiksa kita karena itu, ia telah berpendapat dengan keterpaksaan. Dan barang siapa menganggap bahwa Allah menyerahkan perkara penciptaan dan pemberian rizki kepada hujjah-hujjah-Nya (apalagi kepada manusia biasa), ia telah berpendapat dengan penyerahan. Yang berpendapat dengan keterpaksaan adalah kafir, dan yang berpendapat dengan penyerahan adalah musyrik”. Inilah akibat dari tidak mau ber-wilayah kepada Ali bin Abi Thalib as. Akibat menjauh dari pintu Ali dan memaksa masuk kota ilmu tanpa melalui pintunya adalah terjerumus pada kekafiran atau kemusyrikan. Dengan memasuki pintu Ali as., Imam Ja’far Shodiq as. dan Imam Ali bin Musa bin Ja’far as. telah menjadi dua manusia beruntung, karena, sesuai dengan janji Allah, bahwa yang bertakwa dengan memasuki pintu Ali akan menjadi orang-orang yang beruntung. Allah Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.




 



Minggu, 24 November 2013

Lihatlah yang terdalam

 
“Lihatlah yang terdalam. Jangan kau seperti Iblish, hanya melihat air & lumpur ketika memandang Adam. Tapi lihatlah dibalik lumpur, beratus-ratus ribu taman yang indah.”
-- Jalaluddin Rumi

Iblis adalah makluk Alloh yang paling bermakrifat kepada Alloh, dia dulunya sebelum Alloh "murkai" adalah penghulu para malaikat dan Guru makrifat bagi semua malaikat. Tetapi karena dalam dirinya masih ada rasa "sombong", merasa diri paling bermakrifat, maka ketika Alloh menciptakan Adam, dan Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam, Iblis tidak mau.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (7:11)
Alloh berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (7:12)

Berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. (15:33)

Iblis merasa makluk paling baik dan mulya diantara makluk yang lainya, dengan kesombonganya itu..maka Iblis tidak melihat "manifestasi" Nur Muhammad yang ada dalam diri Adam, yang merupakan wujud "Jamal" Alloh yang tersembunyi "terahasiakan" dalam diri Adam, sedangkan Nur Muhammad itu adalah asal kejadian dari segala sesuatu, termasuk asal kejadian dari sang Iblis, Nur Muhammad adalah realitas dari Diri-Nya.

Jasad manusia bersifat baru, ruh (berasal satu dari Nur Muhammad) sudah ada sejak zaman azali dan ketika di dalam rahim telah ma'rifat kepada Alloh, ketika lahir manusia lupa, makanya dalam perjalanan hidupnya manusia harus bersih agar bisa kembali kepada fitrah yaitu ma'rifatullah, dengan jalan menundukkan hawa nafsunya dan mensucikan jiwanya, dengan ruh (nur) inilah diri sejati manusia dapat ma'rifatullah.

Sifat Iblis yang tidak mengakui realita Adam yang merupakan manifestasi dari Nur Muhammad (Cahaya Utusan Alloh), sehingga dengan demikian Iblis secara terang-terangan menolak adanya Nur Muhammad yang menyelimuti dirinya, dengan demikiaan Iblis tidak ada sifat kepatuhan dan ketaatan kepada Tuhan-Nya, yang ada hanya pengingkaran dan pengingkaran, walau sesungguhnya dia bermakrifat kepada Alloh.

Karena hanya dengan adanya Nur Muhammad yang di utus dalam setiap jiwa mukmin, yang mampu menjalankan segala amal ibadah yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW, bagaimana Rasulullah menjalankan perintah dari Alloh, untuk menegakkan shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji.

Dengan Nur Muhammadlah seorang mukmin itu mempunyai kesadaran diri untuk menunaikan rukun Islam, termasuk shalat dan zakat dan ibadah sunah yang lainya yang seperti dicontohkan oleh Rasulullah.

Jika ada yang mengatakan bahwa ketika telah mencapai Ma'rifatullah tidak perlu lagi Sholat, tidak perlu lagi Puasa, Zakat dan bahkan tidak perlu pergi berhajji. Justru pada tataran Ma'rifatullah, Sholat, Puasa, Zakat dan Hajji menjadi ke-UTAMA-an pada dirinya yang tidak bisa dipisahkan.

Dan bila diri-mu "bermakrifat kepada Alloh" akan tetapi tidak melaksanakan ibadah Sholat (seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah), apa lagi menganggap shalat lima waktu tidak perlu - hanya sekedar ingat saja - bathin solat sedangkan jasad tidak - tentunya tidak sempurna (Lihat Shalat syariat & Shalat Tarekat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani), sungguh makrifat-mu telah kau bawa kedalam "golonganya Iblis", karena yang kau contoh adalah makrifatnya Iblis, bermakrifat tapi tidak kau serahkan jiwa ragamu untuk bersujud dan taat kepada-Nya.

Bila kau mencontoh Rasulullah (didalam Al-Qur'an pun Alloh memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mencontoh Rasulullah, sebab hanya dalam diri Rasulullah ada contoh "kebaikan"). Maka ahklaq, kelakuan dan amal ibadah-mu akan mencontoh Rasulullah. Sungguh tiada seorangpun yang baik dan sempurna makrifatnya kecuali Rasulullah SAW.

Sebaiknya hal ini kita jadikan bahan renungan, mau dibawa ke golongan manakah makrifat kita? Mau dibawa kegolonganya Iblis atau kegolonganya Rasulullah?

Maka, siapapun yang mengaku bertarekat tanpa syariat, maka ia bisa dipastikan tersesat. Syariat adalah informasi yang valid, sedangkan tarekat adalah proses transformasi, dan hakikat-ma ’rifat adalah afirmasi. Jika informasinya salah, atau inputnya keliru, prosesnya juga akan keliru..

“Berhati-hatilah dalam memerankan Iblis! Karena jangan-jangan kau malah menampilkan Bagian-Terbaik dari dirimu!”
— Friedrich Wilhelm Nietzsche