Sabtu, 30 November 2013

Amorfati II

“Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia akan mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak akan mampu menempuh jalan itu, kecuali bila dikehendaki Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Insaan [76]: 29–30).

Ada satu babak, dalam kehidupan kita semua, dimana kita akan mulai bertanya-tanya dan merenungkan sesuatu yang abstrak. Absurd dan tidak bisa kita ceritakan kecuali kepada orang-orang yang juga pernah mengalaminya.

Kita mungkin termasuk satu diantara konstelasi jagad raya orang-orang yang merasakan kegelisahan dan kehampaan dalam hidup kita. Disela-sela kesendirian kita; kita sering bertanya-tanya kepada batin kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang absurd semisal “Siapa saya ini sebenarnya? Untuk apa saya hidup? Kemana harus menuju? Hidup kok seperti hambar dan tak berarti? Apa yang salah dengan kehidupan saya?”

Sebagian orang, mengatasi kegamangan pertanyaann itu dengan membuat kesadarannya lupa akan apa yang dia renungkan. Mereka berlari ke gunung. Nonton bioskop. Safari bersama kawan-kawan, dan macam-macam lagi. Efeknya mungkin terasa untuk sementara, mereka tidak lagi bertanya-tanya dalam hatinya karena disibukkan oleh hal lain, tetapi sebenarnya mereka tidak pernah menyentuh pokok permasalahan; bahwa ada bagian dalam dirinya yang ingin tumbuh dan menjadi dewasa dengan pengertian-pengertian yang lebih bijak.

Orang-orang arif mengatakan, saat kita sudah mulai bertanya-tanya tentang makna hidup, itulah pertanda bahwa Tuhan memberikan rahmat kepada kita. Rahmat itu berupa kegelisahan dan perasaan gersang akan keadaan; yang menjadi bahan bakar bagi diri kita untuk bergerak dan mencari-cari jawaban. Dan satu-satunya yang bisa menentramkan diri kita atas pertanyaan-pertanyaan absurd semisal itu adalah kesadaran hati bahwa sebenarnya kita sedang meniti jalan kembali kepada Tuhan. Kepada Dialah kita menuju.

Orang-orang yang terpantik kesadaran hatinya untuk kembali kepada Tuhan, biasanya akan melewati gerbang-gerbang pendewasaan diri. Tempo-tempo kita bisa merasa begitu sungkan untuk beribadah karena melihat dosa-dosa yang telah kita lakukan sebegitu banyaknya. Padahal, guru-guru mengatakan bahwa sadar akan kekhilafan adalah baik; akan tetapi penyesalan yang ekstrim sampai merasa diri tidak layak kembali ke Tuhan dan terlanjur basah ya sudahlah- adalah tipuan yang sangat halus dan harus kita hindari.

Orang-orang yang terpantik kesadaran hatinya untuk kembali kepada Tuhan, biasanya akan melakukan segala cara untuk mendekatkan dirinya kembali kepada Tuhan. Apatah itu memperbanyak ibadah sholat kita, ataukah puasa kita, ataukah dzikir kita, dan kita akan melakukan itu dengan semangat yang luar biasa karena kita baru saja menemukan arah baru dalam orientasi hidup kita.

Istilahnya semacam mengejar ketertinggalan. Semacam kesadaran bahwa hidup tanpa welas asih Tuhan itu ndak enak. Hidup dalam segala kemelut rasa dalam hati itu; ndak enak. Kita ingin sekali dekat kepada Tuhan.

Tapi sangat mungkin dalam terus mengejar ketertinggalan itu kita letih. Perjalanan itu alangkah panjangnya? Jalan itu alangkah terjalnya. Kesunyian itu alangkah mencekamnya. Dan bagaimana cara menempuhnya?

Semakin kita ingin mencegah hati ini dari rasa marah, semakin kita marah. Semakin kita sibuk mengatur hati ini untuk tidak iri misalnya, semakin kita iri. Semakin kita mengatakan kepada hati saya untuk tidak galau, semakin kita galau.

Apa yang salah?

Demikian lama saya berputar-putar mencari jawaban, hingga akhirnya dipertemukan dengan orang-orang arif yang mengingatkan bahwa ‘untuk berjalan menuju Tuhan-pun, kita butuh pertolongan Tuhan’.

Tiada daya berketaatan, dan tiada daya meninggalkan segala salah dan dosa kecuali dengan pertolongan Dia.

Orang-orang arif mengatakan kuncinya sederhana saja. Mindset kita harus dirubah, dari merasa ‘kita berjalan menuju Tuhan’ dirubah menjadi ‘kita minta pertolongan Tuhan untuk diperjalankan menujuNya’.

Jadi ketika terhantam masalah, tidak usah sibuk melihat kedalam batin dan merekayasa agar tidak galau. Tapi kembalikan seketika itu juga kepada Tuhan, dan berdoalah bahwa betapa tanpa pertolonganNya kita ini tidak akan mampu terlepas dari gelisah dan was-was. Setelah itu lepaskan saja.

Saat kita iri kepada orang lain, tidak usah sibuk melihat kedalam batin dan setengah mati menahan rasa iri. Melainkan berdoalah dan mengadulah kepada Tuhan bahwa betapa tanpa pertolongan Dia kita tidak mungkin lepas dari kebencian melihat kebahagiaan orang lain.

Saat kita jenuh beribadah dan terasa hambar segala pengabdian, tidak usah sibuk merekayasa agar sholat dan zikir kita menjadi haru dan penuh isak tangis. Melainkan berdoalah dan mengakulah, bahwa betapa tanpa Dia, kita tidak akan pernah mengerti makna kehambaan yang sebenarnya dan tak akan pernah mencecap nikmatnya beribadah.

Tugas kita hanya mengukur diri saja rupanya. Dan menyadari, bahwa tidak satu tapakpun perjalanan kita mengenalnya akan berhasil, kecuali Allah sendiri yang menuntun kita kepadaNya.


“Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus, kamu tidak akan dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Tuhan Semesta Alam.”
(QS. At-Takwiir [81]: 28 –29).


*Night Shift 1, CPP Lab KPC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar