“Ingatlah bahwa penampilan pertamamu di muka bumi ini diawali dengan kebodohan dan ketidaktahuan, kemudian secara bertahap engkau memperoleh pengetahuan. Ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar pengetahuan dan pemahamanmu, yang membingungkan dan mengejutkanmu, dan yang tentang engkau tak mengerti "mengapa" dan "bagaimana", serta hal-hal yang tidak dan tidak akan dapat kau ketahui, juga hal-hal yang tidak dapat kau duga dan kau prediksi. Jika ada yang tidak kau pahami, janganlah kamu langsung menolaknya. Ingatlah selalu bahwa ketidak mengertianmu disebabkan oleh prasangka burukmu, buramnya hatimu, kurangnya pengetahuanmu atau kebodohanmu.”
-- Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib
Inilah dunia! Duniamu, duniaku, dunia kita. Dunia yang terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja walaupun terkadang begitu menyakitkan. Dunia yang menawarkan segala kemungkinan revolusioner. Dunia yang disitulah kehidupan ahirat kita akan ditentukan. Maka sudah benar bahwa wahyu ilahiyah pertama adalah‘iqro’, perintah untuk membaca.
“Iqro - Bacalah!”
{QS. Al-Alaq, 96:1}
Sebab dalam kehidupannya, tugas manusia adalah membaca untuk mengabdi. Membaca mekanisme fisis dengan ilmu fisika, membaca reaksi unsur-unsur dengan ilmu kimia, membaca kehidupan dengan biologi, membaca interaksi antar manusia dengan sosiologi, membaca bumi dengan geografi, membaca budaya dengan antropologi, membaca jiwa manusia dengan psikologi dan tentu saja membaca seisi dunia dengan otak manusia maka dari itu, hidup manusia adalah penelitiannya.
Semua kegiatan pembacaan itu, haruslah di orientasikan pada tugas manusia selanjutnya, yaitu: mengabdi. Semua itu dilakukan sebagai bentuk pengabdian kita, manusia, kepada Sang Pencipta, Alloh ta'ala..
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
{QS. Adh-Dhariyat, 51:56}
Dan lebih kedalam lagi, ayat pertama Al Qur’an turun,
“Iqra!”
Suara Rohul Qudus itu menggema dalam gelap goa Hira. Rasulullohpun merinding, lalu beliau menjawab “Aku buta huruf, bagaimana aku membacanya?”
Tapi suara itu terus menggema,
“Iqra! Iqra! Iqra!”
Rasululloh memang seorang umi, tapi bukan berarti tidak bisa “membaca” Al Quran, karena firman Allah bukan tulisan. Firman itu tidak bisa dibaca hanya dengan mata atau telinga, tetapi harus dengan hati. ‘Iqro’ yang dimaksud di ayat tersebut bukan sekedar membaca tulisan. Tetapi membaca alam semesta dan segala ciptaan-Nya, termasuk juga diri kita sendiri. Bukankah semua di alam semesta ini adalah ‘kitab’ karangan Alloh SWT?
Sebagaimana sebuah kitab/buku, dia harus dibaca. Dan tujuan membaca adalah untuk memahami isinya. Kemudian untuk memahami isinya, kita harus mengerti gagasan (topik) dasar dari kitab tersebut, sistematika penulisannya, dan sebagainya.
Demikian pula setika kita membaca alam semesta ini. Kita harus memahami topik dan gagasannya, tujuannya, sistematikanya, maksud sang pengarang, dan sebagainya. Mulailah menggunakan mata dan telinga untuk ‘ngaji diri’ serta melihat dan mendengar ayat-ayat Alloh yang tertera secara nyata di alam semesta. Dengan cara itu, ketika nanti kita kembali membaca kitab Tuhan, kita tidak salah menafsirkannya. Sesungguhnya tasfir kitab Tuhan, ada di alam semesta.Segala aktivitas yang terjadi ketika kita membaca sebuah buku, juga harus hadir dalam ‘membaca’ kitab Alloh yang teramat luas ini.
Membaca Al-Quran harus disertai dengan membaca diri dan membaca alam semesta. Mengapa? Karena Al-Quran itu sendiri menunjuk pada alam diri dan alam semesta. Al Quran bukanlah berisi kalimat-kalimat tanpa makna, melainkan yang penuh dengan makna. Dan makna-makna itu terdapat pada diri dan alam semesta. Makna-makna itu adalah juga ayat-ayat Alloh yang disebut dengana ayat-ayat kauniyah.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur`an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
{QS. Fussilat, 41:53}
Perhatikan pada kalimat “sehingga jelaskah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar”. Hal ini berarti, kebenaran Al-Qur'an menjadi jelas setelah ayat-ayat Alloh yang terdapat di alam semesta dan di dalam diri sendiri bisa terbaca. Tanpa melihat kebenaran di dalam diri dan alam semesta, maka bagaimanakah caranya seseorang dapat memahami kebenaran Al-Qur'an?
Lalu, apakah semua orang mampu melakukan membaca diri dan alam semesta? Tidak semua orang bisa membaca diri dan alam semesta. Sebab sebagian orang buta dan tuli hatinya, sehingga mereka tidak dapat melihat dan membaca diri dan alam semesta.
“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka mengapa kamu tidak memikirkan (nya)?”
{QS. Al-An'am, 6:50}
Mereka dapat melihat langit dan bumi, gunung dan lautan, mendengar burung berkicau, dan petir yang menggelagar, tapi mereka tetap disebut buta dan tuli. Bukan buta dari dari melihat benda-benda duniawi, tapi buta dari kebenaran, buta dari pengetahuan akhirat.
“Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.”
{QS. An-Naml, 27:66}
“Buta dari padanya”, maksudnya adalah buta dari objek pengetahuan akhirat, yang sebenarnya objek pengetahuan akhirat ini tidak keluar dari alam semesta dan dirinya sendiri, tetapi mereka tidak mampu melihat dan membacanya karena kebutaan hatinya itu.
Apakah para ahli fisika, para dokter dan para ahli biologi, mereka itukah yang disebut “dapat membaca diri dan alam semesta” ? Bukankah keahlian mereka adalah menyelidiki alam semesta? Jika mereka itulah yang disebut “dapat membaca diri dan alam semesta” dengan mata hatinya, maka niscaya tidak akan ada ilmuwan yang kafir.
Mereka terampil membaca objek-objek duniawi, tapi kebanyakan mereka tidak mampu membaca objek-objek ukhrawi. Karena itu kemudian sebagian mereka mengingkari adanya Tuhan yang Maha Esa, menjadi atheisme. Pengetahuan mereka tidak sampai kepada objek-objek ukhrawi. Jika pengetahuan mereka sampai kepada objek ukhrawi, niscaya mereka akan melihat neraka jahim.
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin,”
{QS. At-Takatsur, 102 : 5-7}
Jika memang mereka dapat membaca diri dan alam semesta, tentu mereka akan memiliki ilmul yaqin dan ainal yaqin. Dan apabila memiliki keduanya, maka mereka akan melihat neraka jahim, bukan sekedar atom atau benda-benda mikro yang bisa dilihat dan diteliti di bawah mirkoskop. Kemampuan membaca objek-objek ukhrawi ini adalah wajib. Sebab, jika seseorang buta dari padanya, maka buta pulalah ia diakhirat:
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”
{QS. Al-Isra, 17:72}
Engkau menganggap bahwa DIRI-mu sangat kecil? Padahal DIRI-mu dapat memuat Alam Semesta. Sesungguhnya DIRI ini adalah KITAB yang NYATA (Kitabun Mubin), Yang di dalamnya tersembunyi ABJAD/HURUF yang dapat di-BACA/IQRO... Untuk itu, engkau tidak perlu mencari sesuatu diluar DIRI-mu, Apa yang engkau cari telah ada dalam DIRI-mu, jika engkau mau memikirkannya..
*Salam Kontemplasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar