“Janganlah kamu mengenal dan mengikuti kebenaran karena
tokohnya; tetapi kenalilah kebenaran itu sendiri, niscaya kamu mengetahui siapa
tokohnya.”
-- Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.
Apa jadinya jika sebuah rumah tidak berpintu? Tidak satu pun
dapat masuk atau keluar dari rumah tersebut. Sedemikian penting kegunaan pintu
sehingga tak satu pun rumah yang tak berpintu. Karena perannya yang begitu
penting, pintu tidak hanya dipasang, tetapi juga dihiasi dengan berbagai warna
dan ukiran yang sangat indah. Pertama kali yang dicari oleh seseorang ketika
mendatangi sebuah rumah adalah pintu. Demikian pula, pertama kali yang dituju
oleh pemilik rumah untuk menyambut yang hendak masuk adalah pintu. Tak heran
bila pintu menjadi sebuah bagian yang terintegrasi secara esensial dalam sebuah
rumah, tak terpisahkan, tak tergantikan dan tak terwakili oleh yang lain.
Sama peran dengan pintu, gerbang suatu kota merupakan pintu
untuk masuk maupun keluar darinya. Suatu kota yang tidak bergerbang, berarti ia
telah mengisolasi diri dari dunia luar, menutup dirinya sehingga tak seorang
pun dapat mengetahui kedalamannya, dan menjadikan dirinya sebagai sebuah
misteri untuk selamanya. Dengan gerbang, ia akan terbuka untuk dikunjungi,
didatangi, dan dikenal serta ditelusuri kedalamannya.
Apa yang disebutkan di atas berlaku dalam dunia material,
tatapi hal itu berlaku juga pada dunia imaterial. Dalam dunia imaterial, ada
juga yang disebut dengan pintu atau gerbang. Perbedaan antara pintu material
dan pintu imaterial bukan pada pemaknaannya bahwa yang pertama hakiki, sedang
yang kedua bersifat metaforis. Berdasarkan pada pendapat bahwa setiap kata
dibuat dan diletakkan pada “inti makna”, bukan pada “terapan makna”, pemaknaan
pintu pada benda material maupun pada wujud imaterial harus sama-sama bersifat
hakiki. Pintu dalam dunia imaterial sungguh-sungguh memainkan peran sebagai
sebuah pintu yang hakiki. Hakikat pintu adalah jalan untuk masuk maupun keluar
dari luar ke dalam dan sebaliknya. Sebagaimana hakikat ini dapat ditemukan pada
pintu material, kita juga dapat mendapatkannya pada pintu imaterial, bahkan
dengan bentuk yang lebih hakiki dan tak tergantikan sama sekali.
Salah satu dari pintu atau gerbang imaterial adalah Ali bin
Abi Thalib as. Beliau merupakan gerbang masuk ke kota ilmu Rasulullah saw.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Ana madinatul ilmi wa Aliyyun babuha”
(Aku adalah kota ilmu, sedang Ali as. adalah gerbangnya). Penunjukkan Ali as.
sebagai gerbang kota ilmu oleh Rasulullah saw. bukan atas pertimbangan semau
“Aku”, melainkan berdasarkan pada pertimbangan pada keniscayaan
hakiki-rasional; pada potensi dalam diri Ali as. yang mustahil ditemukan pada diri
selainnya. Jika demikian, kedudukan Ali as. sebagai gerbang kota ilmu adalah
sesuatu yang pertama, tak tergantikan, dan kedua, tidak bisa diberikan kepada
orang lain. Berbeda dengan gerbang hakiki-rasional, gerbang “semau Aku” dapat
digantikan dengan orang lain sekehendak “Aku”, dan peran dirinya sebagai
gerbang dapat diberikan olehnya kepada orang lain. Penunjukkan Ali as. sebagai
gerbang kota ilmu tidak dapat dikatakan sebagai suatu wishful thinking, yaitu
pemikiran yang mengungkapkan keinginan, tetapi bukan kebenaran dan keniscayaan
rasional. Siapa pun yang memerankan diri seperti Rasulullah saw., ia akan
dihadapkan pada satu pilihan yang tidak bisa tidak, yaitu menjadikan Ali as.
sebagai gerbang bagi setiap orang yang hendak masuk pada kedalaman intelektual
dirinya. Bagaimana Ali as. tidak mendapatkan kehormatan sebagai gerbang
intelektualitas Rasulullah as., sementara beliau adalah orang yang paling
pantas menjadi nabi setelah Rasulullah saw., seandainya saja kenabian tidak
ditutup dengan kenabiannya.
Gerbang kota ilmu yang disematkan kepada Imam Ali bin Abi
Thalib as. bukanlah sesuatu yang sifatnya material, hal ini jelas, karena
hal-ihwal keilmuan bukanlah di dunia material, melainkan di dunia imaterial.
Namun demikian, hukum yang berlaku pada hakikat gerbang, sebagaimana berlaku
pada gerbang material, berlaku juga pada gerbang imaterial. Ali as. adalah
gerbang masuk bagi siapa pun yang ingin masuk ke dalam kota ilmu. Tanpa
gerbang, kota ilmu tidak akan pernah dapat dimasuki dan ditelusuri kedalaman ilmunya.
Tanpa gerbang, siapa pun tidak akan pernah bisa menggali ilmu di kota ilmu.
Rasulullah as. tidak pernah bermaksud untuk mengisolasi dirinya dari dunia luar
dan umat manusia, justru beliau diutus supaya menarik sebanyak mungkin manusia
untuk masuk ke dalam dirinya sebagai kota ilmu. Tetapi, kota tersebut tidak
bisa dimasuki melalui pintu palsu di mana tidak dapat menyampaikan pemasuknya
ke kota tersebut, tidak juga tanpa pintu. Dalam hal ini, Rasulullah as.
mengingatkan kita bahwa pintu masuk ke dalam dirinya adalah Ali bin Abi Thalib
as. Tak seorang pun dapat masuk kota ilmu tanpa mengenal Ali as., dan tak
seorang pun dapat masuk ke kota ilmu melalui pintu selain pintu Ali as. Selain
Ali as. adalah pintu-pintu palsu yang justru akan membawa pemasuknya pada kota
kebodohan dan kesesatan..
Dalam firmannya, Allah menegaskan:
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa (wa lakinnal
birro manit taqo). Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
(QS Al-Baqarah [2]:189).
Dalam ayat ini, diterangkan bahwa kebajikan bukanlah
berusaha masuk ke sebuah rumah dari belakangnya, bukan juga hanya konsep
“ketakwaan”. Allah, dalam ayat ini, tidak mengatakan, “wa lakinnal birro huwat
taqwa”, yang artinya kebajikan adalah ketakwaan, melainkan Dia berkata, “wa
lakinnal birro manit taqo”, yang artinya kebajikan adalah orang yang bertakwa.
Jadi, ketakwaan selama berupa konsep, ia tidak memiliki kebajikan apa pun. Yang
bajik bukanlah yang mengerti arti ketakwaan, ia adalah yang menghayati ketakwaan
dalam dirinya, mengamalkan dalam tindakannya, dan ia yang bertakwa, bukan ia
yang mengerti konsep ketakwaan. Sekedar mengerti ketakwaan, seseoarang belum mencapai
tindak kebajikan.
Dalam konteks ketakwaan, Allah menyebut bahwa salah satu
dari bentuk ketakwaan adalah masuk rumah melalui pintunya. Hal sama juga dapat
kita katakan bahwa yang bertakwa adalah orang yang sungguh-sungguh memasuki
pintu Ali as. menuju kota ilmu Rasulullah saw. Ia tidak masuk dari belakangnya,
karena itu bukan kebajikan dan tidak akan mengantarkannya pada tujuan sama
sekali. Hanya dengan memasuki pintu Ali, kebajikan dan ketakwaan dapat diraih.
Ini artinya, bahwa kita semua umat Islam harus ber-wilayah kepada Ali bin Abi
Thalib dalam pengertian bahwa kita semua harus memasuki pintu Ali, dan tidak
hanya manjadikan konsep “Ali as. pintu Rasulullah saw.” hanya sebagai bentuk
keutamaan dalam lisan. Keutamaan Ali as. sudah terjamin di sisi Allah, baik
kita mengikrarkan dan mengucapkannya maupun tidak. Keutamaan tidak terletak
pada seberapa yakin kita mengakui Ali as. sebagai pintu Rasulullah, keutamaan
hanya terletak pada sejauh mana kita dapat memasuki pintu Ali. Senada dengan
ayat di atas, kita dapat katakan: “Laesal
birru huwa dukhulu baabi madinatil ilmi, wa lakinnal birro man dakhola baaba
madinatil ilmi” (Kebajikan bukanlah konsep “masuk pintu kota ilmu”; kebajikan
adalah orang yang memasukinya). Kebajikan bukanlah seseorang menatap dengan
penuh kagum dan bangga pintu Ali as. dengan segala keindahan dan kemewahannya
dari luar, kebajikan adalah bila ia masuk ke dalam pintu tersebut. Dengan
demikian, kita semua tidak hanya harus berbangga-diri dengan Imam Ali as.
sebagai gerbang ilmu, melainkan kita harus berbangga-diri dengan menimba ilmu
darinya dan melaksanakannya seperti ia melaksanakannya. Kita tidak boleh
mendatangi pintu Ali as. dengan tujuan untuk mencari justifikasi atas keyakinan
kita, karena itu bertentangan dengan maksud “Ana
madinatul ilmi wa Aliyyun babuha”. Kita harus mendatangi dan masuk ke
dalamnya dengan diri yang bersih dan kosong dari segala keyakinan-keyakinan
yang kotor, dan dengan maksud mendengarkan kebenaran darinya, bukan dengan
maksud mencari pembenaran terhadap keyakinan kita, melainkan dalam rangka
menerima curahan kebenaran yang harus kita terima. Kita harus menyesuaikan diri
dengan Ali as, bukan sebaliknya. Kebenaran Ali as. tidak dapat dipaksakan untuk
sesuai dengan keyakinan kita, tapi kebenaran Ali as. harus menjadi kriteria
bagi kebenaran keyakinan kita.
Jadi, meski hadis “Ana
madinatul ilmi wa Aliyyun babuha” termasuk hadis-hadis keutamaan, yang
sering disebut-sebut oleh para pengikutnya dalam pengajian-pengajian tentang
keutamaan Ali bin Abi Thalib as., atau dalam berdebat dengan para penginkar
keutamaan beliau, namun demikian, pesan yang lebih mendalam yang dibawa oleh
hadis ini lebih dari sekedar apa yang sementara ini dikira orang. Pesan ini
tidak hanya ditujukan pada para pengikut setia beliau, tetapi juga pada semua
umat Islam dengan pelbagai aliran dan mazhab. Hadis ini tidak hanya sedang
menekankan sebuah konsep bahwa pertama, Ali as. adalah gerbang menuju kedalaman
ilmu Rasulullah saw., dan kedua, masuk melalui gerbang itu merupakan syarat
mutlak untuk sampai pada kota ilmu. Lebih dari itu, hadis ini ingin mengatakan
pesannya kepada kita bahwa yang bajik bukanlah sekedar menyakini dua konsep di
atas, melainkan kebajikan adalah orang yang masuk melalui pintu Ali as. untuk
sampai pada ilmu Rasulullah saw.
Hubungan antara gerbang dan kota ilmu, dalam hal ini Ali as.
dan Rasulullah saw., bersifat hakiki dan pasti. Artinya, kita tidak dapat
memutus hubungan ini sekehendak hati kita. Keduanya saling terkait secara erat
sehingga mustahil kita mampu mencapai kota ilmu Rasulullah selain melalui Ali
as. Selain Ali as., tidak ada satu pun pintu masuk ke kota ilmu. Meski selain
Ali as. banyak yang menawarkan pintu masuk ke kota ilmu, semua itu tidak
mendapat restu dari Rasulullah dan illegal serta tidak direkomendasikan oleh
beliau. Hanya Ali as., titik, tiada lainnya.
Ibarat orang yang panik ketika tidak menemukan pintu masuk
ke suatu tempat yang hendak dia tuju, demikian pula, siapa pun yang tidak
menemukan atau tidak mau masuk pintu Ali as. akan mengalami kepanikan dan
kekalutan intelektual sehingga dia semakin jauh dari kebenaran dan dekat kepada
kesesatan. Banyak dari pemikir-pemikir telah dan akan mengalami kekalutan dan
kepanikan mental-intelektual karena menjauh dari pintu Ali as. Mu’tazilah,
umpamanya, harus terjerumus pada derita mensyekutukan Tuhan dalam kekuasaan-Nya
dengan konsep “manusia bebas”-nya, dan Asy’ariah terjatuh pada perangkap
determinisme karena tidak mampu menyelesaikan apa yang dikiranya bertentangan,
yaitu kekuasaan Tuhan yang mutlak dan kebebasan manusia dalam bertindak. Dan
banyak lagi contoh-contoh kepanikan lainnya. Semua itu karena mereka karena
bu’duhum aw ibti’aduhum a’n Aliyyin (jauh atau menjauhnya mereka dari Ali bin
Abi Thalib as.). Dalam banyak riwayat, Ali telah memberikan penyelesaian secara
tuntas atas kemusykilan dan kepanikan Asy’ariah dan Mu’tazilah ini, bahkan
sebelum mereka lahir. Anda dapat merujuk riwayat-riwayat tersebut pada tafsir
Al-Mizan karya Thaba’thaba’i, kitab “Aqoid al-Imammiyyah” dengan komentar
Sayyid Kharrazi, dan kitab-kitab lainnya yang membahas tentang konsep “Al-Amru
baena al-amrain” (Perkara di antara dua perkara). Solusi bagi mereka hanya
satu, yakni bertakwa dengan memasuki pintu Ali as., bukan sekedar menyakini
bahwa Ali as. pintu kota ilmu Rasulullah saw., apalagi menjauhi atau
mengingkarinya. Setelah itu, Rasulullah saw. serta Ali as. akan memecahkan
problem mereka. Sebagai manusia yang benar-benar telah masuk pintu Ali as., Ali
bin Musa Ar-Ridha as. pernah ditanya: “Wahai putra Rasulullah diriwayatkan
kepada kami bahwa Imam Ja’far Shodiq berkata, “Tidak ada jabr (keterpaksaan)
dan tidak ada tafwidh (penyerahan kekuasaan kepada manusia), tetapi (yang
benar) adalah perkara di antara dua perkara”, apakah yang dimaksud dengan
riwayat ini? Beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa Allah yang menciptakan
perbuatan kita, lantas menyiksa kita karena itu, ia telah berpendapat dengan
keterpaksaan. Dan barang siapa menganggap bahwa Allah menyerahkan perkara
penciptaan dan pemberian rizki kepada hujjah-hujjah-Nya (apalagi kepada manusia
biasa), ia telah berpendapat dengan penyerahan. Yang berpendapat dengan
keterpaksaan adalah kafir, dan yang berpendapat dengan penyerahan adalah
musyrik”. Inilah akibat dari tidak mau ber-wilayah kepada Ali bin Abi Thalib
as. Akibat menjauh dari pintu Ali dan memaksa masuk kota ilmu tanpa melalui
pintunya adalah terjerumus pada kekafiran atau kemusyrikan. Dengan memasuki
pintu Ali as., Imam Ja’far Shodiq as. dan Imam Ali bin Musa bin Ja’far as.
telah menjadi dua manusia beruntung, karena, sesuai dengan janji Allah, bahwa yang
bertakwa dengan memasuki pintu Ali akan menjadi orang-orang yang beruntung.
Allah Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar