Jumat, 28 Maret 2014

Sesungguhnya rahmat Tuhanku mendahului murkaNya

Kasih Tuhan & Pengorbanan Musa

Pada suatu masa di zaman Nabi Musa a.s., ada seorang lelaki yang tidak teguh dalam melakukan tobat. Meskipun dia sudah bertobat, namun selalu dilanggar lagi. Ini berlangsung hingga 20 tahun. Maka, Alloh SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Musa a.s.,

”Wahai Musa, katakan kepada hamba-Ku si fulan bahwa Aku murka kepadanya. Maka Nabi Musa a.s.menyampaikan risalah tersebut kepada lelaki itu. Dia segera berlari ke sebuah batu yang besar dan sangat bersedih.

Musa a.s. mengadu, “Wahai Tuhanku, adakah dosa yang lebih besar ketimbang ampunan-Mu, lebih mulia daripada sifat-Mu yang qadim. Dan, sifatku memang tercela, tapi apakah sifatku dapat mengalahkan sifat-Mu? Jika Engkau menghalangi hamba-Mu dari rahmat-Mu, lalu kepada siapa dia akan berharap? Jika Engkau melemparkan mereka, kepada siapa mereka akan menuju?

Tuhanku, jika rahmat-Mu memang ada, maka aku benar-benar telah menebus mereka dengan diriku!”

Alloh SWT berfirman, “Wahai Musa, pergilah kepadanya dan katakan: “Jika dosamu sepenuh bumi, pastilah Aku mengampuninya untukmu setelah engkau mengenali-Ku dengan kesempurnaan kekuasaan, ampunan dan rahmat.”

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada suara yang lebih disukai oleh Alloh SWT daripada suara seorang hamba yang bertobat dan berkata: “Wahai Tuhanku,” lalu Tuhan berfirman: “Aku sambut engkau, wahai hamba-Ku. Mintalah apa yang engkau inginkan, Kau adalah hamba-Ku seperti sebagian malaikat-Ku. Aku berada di sisi kananmu, di sisi kirimu, atasmu dan lebih dekat daripada isi hatimu. Bersaksilah kepada-Ku, wahai para malaikat bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuninya.”
-- Imam Al-Ghazali dalam Muakasyafatul Qulub

*****

Permohonan Ampun Kekasih Alloh

Ibnu Umar r.a. pernah duduk bersama Rasulullah Saw. dan berkata, "Aku menghitung lebih dari seratus kali Rasulullah Saw. mengucapkan, 'Wahai Rabbku, ampunilah aku dan terimalah tobatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat dan Maha Pengampun," (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Anas bin Malik r.a. menuturkan, "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Alloh Swt. berfirman:
'Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau mau berdoa kepada-Ku dan mengharap rahmat-Ku, maka Aku akan mengampunimu atas segala kesalahanmu dan Aku tak mempedulikannya.

Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu banyaknya sampai ke awan yang ada di langit, lalu engkau memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu dan Aku juga tak mempedulikannya.

Wahai anak Adam, seandainya engkau berjumpa dengan-Ku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi, sedang engkau saat berjumpa dengan-Ku tidak dalam keadaan menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, maka Aku akan menjumpaimu dengan memberi ampunan sepenuh bumi pula,"
(HR Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi).

*****

Mengulang Lagi, Lagi & Lagi..

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. dalam suatu riwayat yang beliau ceritakan dari Tuhannya, bersabda:
“Seorang hamba telah melakukan suatu dosa, lalu dia berkata, ‘Ya Alloh, ampunilah dosaku.’

Lalu, Alloh Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan suatu perbuatan dosa, lalu dia mengerti bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat memberikan hukuman sebab dosa tersebut.’

Kemudian, hamba itu mengulangi lagi perbuatan dosanya, lalu dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku.’

Lalu, Alloh Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan dosa lagi, akan tetapi dia tetap mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat memberikan hukuman sebab dosa tersebut.’

Kemudian, hamba itu mengulangi lagi perbuatan dosanya, lalu dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku.’

Lalu, Alloh Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa lagi, akan tetapi dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat memberikan hukuman sebab dosanya itu. Sungguh Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku itu, maka silakan dia berbuat sekehendak hatinya.’”
(HR. Muttafaq Alaih).

Seandainya seluruh manusia kufur, maka Keagungan Alloh tidak turun sederajatpun oleh kekufuran mereka. Dan seandainya pula seluruh manusia beriman, maka Keagungan Alloh tidak bertambah sederajatpun oleh keimanan mereka. Alloh tidak tersentuh akibat, justru Ia adalah sebab dari segala sebab.

“Wahai anak Adam, kenapa engkau tidak memperhatikan Aku? Tahukah engkau, bahwa engkau berada dalam pengawasan mata-Ku dalam kesepianmu, & di kala nafsu syahwatmu bergejolak. INGATLAH AKU, dan MINTALAH KEPADAKU agar aku cabut nafsu itu dari hatimu, dan Aku pelihara engkau dari berbuat maksiat kepada-Ku dan Aku jadikan engkau benci kepada perbuatan itu; Aku mudahkan engkau menta’ati-Ku, Aku jadikan engkau cinta kepada keta’atan itu serta Aku jadikan indah dalam pandangan matamu.”

“Wahai anak Adam, Aku hanya menyuruh dan mencegah engkau agar supaya engkau meminta pertolongan kepada-Ku dan berpegang erat kepada tali (agama) Ku, bukan untuk durhaka kepada-Ku dan berpaling daripada-Ku; dan kalau (engkau) begitu Aku akan menjauhkan diri daripadamu. Aku sebenarnya tidak memerlukan engkau, dan engkaulah yang memerlukan Aku. Aku telah menciptakan dunia ini dan Aku mudahkan dia untuk memenuhi kepentinganmu, tidak lain supaya engkau bersiap-siap untuk menemui Aku dan engkau bawa perbekalan daripadanya, agar supaya engkau jangan berpaling daripada-Ku dan kekal di atas bumi.”

“Ketahuilah olehmu, bahwa kampung akhirat itu adalah lebih baik bagimu daripada dunia ini. Oleh karenanya janganlah engkau pilih yang lain daripada apa yang telah Aku pilihkan bagimu, dan janganlah engkau benci menemui-Ku; karena barangsiapa benci menemuiku, Aku pun benci menemuinya. Dan barangsiapa rindu bertemu dengan-Ku, Akupun rindu bertemu menemuinya.”
-- Al Futuhatul Makkiah, jilid II hal 529.

Duhai Sang Maha Kasih.. Sang Maha Cinta.. Hanya karena cinta kasih sayangMU diri ini masih hidup seperti saat ini walau diri ini sungguh lemah dan hanya dapat berjalan tersaruk saruk menyambut setiap torehan tintaMU dan lukisan takdirMU yang Kau ukir bagiku..

Duhai Kekasih Tercinta diri ini sungguh lemah tiada daya upaya dan sungguh berserah dan belajar menerima serta menuruti semua aturanMU yang telah Kau siapkan tanpa sedikit ragu dan khawatir lagi..

Sungguh Engkau Yang Maha Baik dan Maha Sempurna semua tiada lepas dari tangan kasihMU yang membuat seluruh hidup ini indah pada waktuNYA.. Lahaullawalla quwata ilabilla.. sungguh diri ini lemah ya Alloh.. Hanya diam dalam diamMU menikmati pelukan hangatmu serta merasakan keindahan belaian kasih sayangMU yang menyegarkan dan membangkitkan jiwa dan rohku tuk senantiasa menikmati permainan panggung sandiwara kehidupan dunia yang telah Engkau tata dengan apik tuk membentuk diriku semakin dewasa dalamMU..

Kini susah senang suka duka tangis tawa dan semua permainan dualitas duniawi tiada sedikitpun membuat diriku goyah lagi jiwaku tegar dalam pelukan kasihMU yang senantiasa mengiringiku dari buka mata sampai tutup mata..

Ya Alloh dalam Keagungan dan KemuliaanMU diriku bersimpuh tertunduk berserah diri pasrah sumarah menyerahkan semuanya kepadaMU.. Engkau baik.. Sangat baik.. Teramat baik..

“ Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ”
(Qs. Al-Zumar [39]:53)

Janganlah berkecil hati pada Rahmat Alloh
Karena Alloh Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi) bahwa: "RahmatKu mendahului murkaKu."
(HR. Muslim)

Kalau kita merasa telah berbuat dzolim terhadap Alloh, maka mari kita segera bertaubat dan lagi-lagi jangan berkecil hati… karena Alloh telah berjanji, firmanNya,

“tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarnya kezalimannya dengan kebaikan (Alloh akan mengampuninya); maka seaungguhnya Aku Maha Pangampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An Naml : 11)

“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Robb kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al a’raf :153)

Mari… mari ikhwah fillah…

Mari kita bersegera kepada ampunan Alloh dan jannah-Nya, serta menjadi bagian dari mereka yang diampuni Robb mereka…

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali Imran ayat 133)

Kenali Saja Dirimu!

“Sadarilah sifat-sifatmu, maka Alloh membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Akuilah saja kehinaanmu,maka Alloh membantumu dengan kemuliaan-Nya. Akui saja ketidakberdayaanmu, maka Alloh membantumu dengan kekuasaan-Nya. Dan, akui saja kelemahanmu, niscaya Alloh membantumu dengan kekuatan-Nya.”
-- Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam

Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu - Barangsiapa yang mengenali dirinya maka dia akan mengenali Tuhannya. Ternyata, dengan menyadari tentang sifat-sifat dasar kemanusiawian, justru akan menyadarkan kita tentang sifat-sifat Ilahiyah, yang bertentangan dengan sifat-sifat tersebut. Pengakuan kita akan keterbatasan, kebutuhan, dan kehambaan, akan terpantul dalam cermin yang sempurna dari kekuasaan dan cahaya-Nya yang tak terbatas. Keadaan jujur dan ikhlas dalam diri seorang hamba akan memunculkan cahaya rahmat, kemurahan dan karunia-Nya yang kekal.

Yahya ibn Mu’adz Ar-Razi (w. 257 H) mengatakan; “Mungkin di antara kalian akan menemui orang yang berkata, ‘Aku sudah 20 tahun mencari Tuhanku’. Maka katakan, hal itu adalah bohong! Sebab, selamanya, Tuhan tidak mungkin dia temukan dalam jiwanya yang sempit. Carilah dulu dirimu hingga kau benar-benar menemukannya. Jika kau telah temukan dirimu, kau akan menemukan-Nya.”
-- Abu Nu’aim Al-Asbihani dalam Hilyatul Auliya’

Di manakah Dia? Di manakah Dia, Sang Maha Tunggal? Di manakah Dia Ketunggalan tak terperi? Al-Ahad yang jauh dari penyifatan orang-orang yang menyifatinya?

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.”
{QS. Al-Baqarah, 2:186}

Dekat dalam KeJauhanNya, Jauh dalam KeDekatanNya, Di Atas segala sesuatu dan tidaklah dikatakan sesuatu di atasNya, Di Depan segala sesuatu dan tidaklah dikatakan sesuatu di depanNya, masuk dalam segala tak seperti sesuatu yang masuk di dalam sesuatu yang lain, keluar dari segala tak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu.

Betapa mungkin mengatakan: "Di manakah Ia?", sedangkan sang pengata memerlukanNya, yang dikatakan adalah Dia, dan perkataan itu sendiri memerlukanNya? Betapa naif membayangkan mencarinya seperti seseorang yang mencari sesuatu di luar dirinya, katakanlah harta karun terpendam, karena siapa yang mengatakan bahwa Dia ada di luar diri kita, sedangkan Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu, dan Dia lebih dekat dari urat leher?

“dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,”
{QS.Qaf, 50:16}

Dan alangkah naif pula mencarinya di dalam diri kita yang sebagaimana dokter mencari sesuatu yang lembut di dalam usus, karena mustahil bagiNya keterbatasan apa pun, apa lagi keterbatasan material bentuk-bentuk "diri jasadiah" yang teramat gelap ini.

Dengan apa kah ku mengenal-Nya? Kekasih Rasulullah, Amirul Mu'minin bersabda: “Kenalilah Alloh dengan Alloh”. MencariNya dengan pandangan mata lahir atau pun batin, mata rasional ataupun mata kelembutan khothoroot (pikiran), akan patah, karena bukankah Penglihatan adalah DiriNya, “Laa tudrikuhu al- abshooru wa huwa yudriku al-abshooro - Tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.” Mencarinya dengan sesuatu selain diriNya akan berakhir pada kenihilan.

Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib ditanya: “Khabarkanlah padaku apakah engkau mengenal Alloh dengan Muhammad ataukah engkau mengenal Muhammad dengan Alloh 'Azza wa Jalla?”

Beliau menjawab: “Tidak kukenali Alloh dengan Muhammad , tetapi kukenali Muhammad dengan Alloh 'Azza wa Jalla.”

Betapa mungkin mereka mencari-Nya? Sedang tak ada apa pun yang lebih terang dari-Nya? Betapa mungkin mereka berkhayal, “Bagaimana untuk mencari-Nya?”, sedangkan tak ada sesuatu apa pun yang lebih jelas dari-Nya? Seperti yang dirintihkan oleh Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib dalam doa Kumayl bin Ziyad: “Wa bi nuuri wajhika alladzii adhoo'a lahu kullu syai'in - Dan dengan Cahaya WajahMu yang menyinari segala sesuatu. Dan Dia-lah Yang Mengetahui.”

Aku ada di wilayah terdalam dari hati setiap orang. Banyak orang mengalami salah sangka luar biasa saat melihatKu, karna yang dilihat hanya terbatas pada onggokan tulang dan daging, pun juga menggunakan penglihatan yang terbatas dan aneka rupa prasangka yang tersusun berdasarkan pengaruh hal-hal esensial maupun aksidental dari lingkungan hidupnya semenjak lahir.

Seorang laki-laki bernama Dzi'lib Al-Yamani bertanya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w;
“Dapatkah anda melihat Tuhanmu, wahai Amirul Mukminin?”

Jawab Imam Ali bin Abi Thalib r.a:
“Akankah aku meyembah sesuatu yang tidak kulihat?”

“Bagaimana Anda melihat-Nya?”, tanya orang itu lagi.

Maka Imam Ali memberi penjelasannya;
“Dia (Alloh) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata-hati yang penuh dengan keimanan. Alloh dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berfikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha penyayang tapi tidak bersifat lunak. Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetar karena ketakutan terhadap-Nya.”
-- Sayydinna Ali Bin Abi Thalib, Dikutip dari buku: Mutiara Nahjul Balghah, Muhammad Al-Baqir, Mizan, tahun 1991, hlmn 25.

Sebagian orang mengatakan; “aku telah melihat Keindahan Tuhan di mana-mana.” Betapa mungkin Tuhan dilihat oleh selain diriNya?

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.”
{QS. Al-An'am, 6:103}

Maka Penatap Tuhan terdiam seribu bahasa, bagi mereka "aku" sama saja dengan "bukan aku" (adaku adalah tiada), karena tak ada apapun yang dapat disifatkan kepada ketiadaan. Bagi mereka "kutatap Tuhan" tak ada bedanya dengan "Tuhan menatap Tuhan", yakni, "mereka" adalah ketiadaan, sedang satu-satunya pelaku adalah Dzat Yang Maha Kudus. Yaa man dalla 'ala dzaatihi bidzaatihi. Wahai Yang Menunjukkan DzatNya dengan DzatNya.

Ikal kekang "aku", "kita", "engkau" telah fana. Tali simpul itu telah lenyap; dan demikianlah Jiwa Pecinta terlepas dari kepompong dan penjara alam material, melesat menuju Jiwa nan Tunggal, Sang Pecinta, Sang Pendamba, Sang Perindu, yang turun dari Hadhrat Dzat Suci ke Hadhrat Asma ke Hadhrat Sifat ke Hadhrat Af'al.

“Dan kepunyaan Alloh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
{QS. Al-Baqarah, 2:115}

Bagi para pecinta yang tak kenal timur dan barat, lenyaplah timur dan barat. Bagi para pecinta yang tak kenal kini dan esok, lenyaplah waktu baginya.

“Diri saya telah hilang (fana) dalam mengenang Alloh hingga saya tidak tahu malam dan siang.”
-- Imam Abu Yazid al Busthami

Maka, Man ‘arafa nafsahu, yakni bagi yang mengenal bahwa dirinya ketiadaan dan Tiada Selain Dia Semata, lenyaplah semua hal termasuk nama dan identitasnya sendiri; dan, Faqod ‘arafa robbahu, Dia Mengenal Tuhannya dengan Tuhannya itu sendiri, yakni Alloh adalah Cahaya Langit dan Bumi, tak lain adalah Dia Yang Dzhohir dan Bathin, dan Yang Awal dan Yang Akhir, tak lain adalah Dia Yang Maha Meliputi segala sesuatu.

“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
{QS. Fushshilat, 41:54}

“Kepunyaan Alloh-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Alloh Maha Meliputi segala sesuatu.”
{QS. An-Nisaa, :126}

“Al insannu sirri wa Anna sirruhu - Manusia itu rahasiaKu dan Akulah rahasianya.”
-- Hadis Qudshi

Aku adalah Sirrullah. Selamilah kedalamanmu dan temui Aku. Alloh Sirrullah.. Alloh Sirrullah.. Alloh Sirrullah...

Sebelum mencapai “Madinatul I'lmu - kotanya ilmu” cari dulu “Babul I'lmu - Pintunya Ilmu”. Dan sesungguhnya seorang yang telah berada didalam Madinatul I'lmu maka Tuhan memberikan pengetahuan terhadap rahasia-rahasiaNya..

Yaa Alloh Karuniakan padaku tatapan KepadaMu dan Kemulaan Keterputusan kepada SelainMu, hingga dengan Pancaran wajahMu, tersingkaplah hijab-hijab CahayaMu. Aamiin...

Kamis, 13 Maret 2014

Pengetahuan Marifat



 

Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi: “Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”

Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.

Allah swt dalam al- Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, ”...dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah...” (QS. Jum’ah : 2)

Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma’rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma’rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma’rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang alim adalah ibadah.”

Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: “…supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma’rifat.

Imam Abu Ja’far a.s. berkata, “Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat pengikut kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam “Kitab Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma’rifat-nya” (Ma’ani al-Akhbar).

Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu .” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma’rifat.

Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma’rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.

Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui.” ( Bihar al-Anwar).

Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata “al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Al-hujarat : 13), berkata, “Wahai para manusia! Sesungguhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma’rifat) kepada-Nya.” (Biharul Anwar).

Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, “Awal agama adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma’rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.

Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.

Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini.

Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma’rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.“

Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, “Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya.” (Nahjul Balaghah).

Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.

Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.

Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun : 115)

Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama masa hidupnya di dunia.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.

Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”

Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.

Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.

Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak terbatas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.

Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. berkata, “Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan).” (Ushul al-Kafi)

Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.

Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.

Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya.” (an-Naml:14)

Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.

Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” (Q.S. Al-furqan : 43).

Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya ma’rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, “Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya ..” (Q.S. Al-jum’ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesempurnaan jiwa manusia.





Rabu, 12 Maret 2014

Konsep Insan Kamil Ibn Arabi


 
Muhammad Ibn Ali bin Muhammad Ibn al-Arabi al-Hatimi yang dikenal dengan sebutan Ibn Arabi dilahirkan di Murcia, Spanyol bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 29 Juli 1165 M). Pada usia 8 tahun ia dibawa oleh orang tuanya ke Sevilla. Di sana ia belajar Alquran, hadis, fikih dan tasawuf. Pada tahun 598 H / 1202 M ia berangkat ke Timur dan mengembara di daerah-daerah dan kota-kota : Mesir, Makkah, Yerusalem, Aleppo, Asia kecil dan akhirnya menetap di Damaskus sampai akhir hayatnya pada 28 Rabiul Akhir 638 H / 1240 M.

Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat. [2]

Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadahtajalliTuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. [3]
Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajallisecara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini.Tajallitersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). [4]
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-asmā’ al-husnā). Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral, misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam batu-batuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini karena manusia sebagai mikrokosmos yang terkandung di dalamnya seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil, manusia sempurna, atau manusia universal. [5]
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. [6]
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Hati insan kamil berpadanan dengan arasy Tuhan, “ke-Aku-an”nya sepadan dengan kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha, akalnya dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfūz,tabiatnya dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayūla, tubuhnya dengan habā’dan lain-lain. [7]
Bani Adam secara potensial adalah insan kamil, meski hanya di kalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual. Alquran surat al-Isra’: 70 menjelaskan

“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut merekat di daratan dan lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(Qs. al-Isra’: 70). [8]
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut).Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa. [9]
Akan tetapi, insan kamil yang muncul dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak dapat mencapai peringkat tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw. Alquran surat al-Ahzāb : 21 menjelaskan

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Qs. al-Ahzāb: 21). [10]
Jadi setiap manusia secara potensial merupakan citra Tuhan, pada insan kamil potensi itu menjadi aktual, karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Tetapi citra itu belum sempurna sampai ia menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Setiap insan kamil adalah sufi, karena kesadaran seperti itu hanya bisa diperoleh di dalam tasawuf.

Proses Munculnya Insan Kamil
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi. Pertama melalui tahap-tahap tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil. Kedua melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan – dalam pandangan Ibn Arabi – mengambil dua bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli żāti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhūdi (penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri, sedangkan tajalli  dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.[11]
Tajalli żāti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan kedua martabat wahīdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-‘amā’) yakni awan tipis yang membatasi “langit” ahadiyah dan “bumi” keserbagandaan makhluk, yang identik dengan nafs ar-Rahmān (nafas  Tuhan yang Maha Pengasih).[12]
Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas apapun: tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam transendensi-Nya itu, ia ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk.[13]
Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang berupa entitas-entitas laten (‘a’yān sābitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari aspek ketuhanan, ia disebut asma’ ilāhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek kealaman (makhluk), ia disebut asma’ kiyāniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena pada asma’ kiyāniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (‘ain). Oleh karena itu, setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma’ kiyāniyah sebagai wadah tajalli-nya.[14] Ibn Arabi menjelaskan
فَلَمَّا اَرَادَ وُجُوْدَالْعَالَمِ انْفَعَلَ عَنْ تِلْكَ الاِرَادَةِ الْمُقَدَّسَةِ حَقِيْقَةٌ تُسَمَّى الْهَبَاءُ ثُمَّ اِنَّهُ سُبْحَانَهُ تَجَلَّى بِنُوْرِهِ اِلَى ذَلِكَ الْهَبَاءِ وَيُسَمُّوْنَهُ اَصْحَابُ الاَفْكَارِ الْهَيُوْلىَ الْكُلَّ وَالْعَالَمُ كُلُّهُ فِيْهِ بِالْقُوَّةِ وَالصَّلاَحِيَّةِ فَقَبِلَ مِنْهُ تَعَالَى كُلُّ شَيْئٍ فِى ذَلِكَ الْهَبَاءِ عَلَى حَسْبِ قُوَّتِهِ وَاسْتِعْدَادِهِ كَمَا تَقْبِلُ زَوَايَاالْبَيْتِ نُوْرَا لسِّرَاجِ وَعَلَى قَدْرِ قُرْبِهِ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ يَسْتَدُّ ضَوْءُهُ وَقَبُوْلُهُ فَلَمْ يَكُنْ اَقْرَبُ اِلَيْهِ قُبُوْلاً فِى ذَلِكَ الْهَبَاءِ اِلاَّ حَقِيْقَةٌ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ وُجُوْدُهُ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ الاِلَهِيِّ وَمِنَ الْهَبَاءِ وَمِنَ الْحَقِيْقَةِ الُكُلِّيَّةِ

“Tatkala (Allah) menghendaki adanya alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang disebut habâ’ (materi prima). Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada habâ’ itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayûla al-kull (materi universal), yang alam semesta ini secara potensial dan serasi berada di dalamnya. Segala sesuatu dalam habâ’ itu menerima (nur) Allah menurut potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah rumah menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan lebih banyak menerimanya. Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam habâ’ itu daripada hakikat Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi itu, dari habâ’ dan dari realitas universal.”[15]
Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zāhir (Yang Maha Nyata). Kemudian “jasad universal” tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal) sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakīm (Yang Maha Bijaksana). Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhīth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakūr (Yang Maha Melipatgandakan pahala), al-Gāni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan, kursi, falak al-būrūj (falak bintang-bintang), dan falak al-manāzil (falak berorbit). Setelah falak al-manāzil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alīm (Yang Maha Mengetahui), al-Qāhir (Yang Maha Perkasa), an-Nūr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhsī (yang mencatat), al-matīn (Yang Maha Kokoh), al-Qābid (yang membatasi), al-Hayy (Yang Maha Hidup), al –Muhyī (Yang Menghidupkan), al-Mumīt (Yang Mematikan), al-Azīz (Yang Maha Mulia), ar-Razzāq (Yang Memberi rezki), al-Mużill (Yang Menghina), al-Qawī (Yang Maha Kuat), al-Latīf (Yang Maha Halus), al-Jāmi’ (Yang Menghimpunkan), Rāfi’ ad-Darajāt (Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.[16]
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas perhentian. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat dicapai setelah melalui beberapa maqâm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqāmāt). Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa keadaan batin (hāl, jamaknya: ahwāl).[17]
Maqāmāt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan “ahwāl” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwāl yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwāl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqāmāt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at.”[18]
قال بروى احمد طبانه فى مقدمة احياء علوم الدين للغزالى : (ربع المنجيات) فى ابواب الخوف والرجاء والصبر والشكر والفقر والزهد والتوحيد والتوكل والمحبة والشوق والانس والرضا

Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihyā’ Ulumudin karya al-Ghazali: “Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqāmāt) dalam bab khauf (takut), rajā’ (berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.[19]
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqāmāt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.[20] Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqām makrifat dan mahabbah. Makrifat dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri, niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka, sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.[21]
Setelah menempuh segala maqām sampailah sufi kepada keadaan fanā’ dan baqā’. Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak. Fanā’ adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fanā’ ‘an sifāt al-haqq), sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi (baqā’) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fanā’ yang mendahuluinya, yaitu:
1.      Fanā’ ‘an al-Mukhālafāt (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nūr al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2.      Fanā’ ‘an af’āl al-‘ibād (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya “satu agen mutlak” dalam alam ini, yakni Tuhan.
3.      Fanā’ ‘an sifāt al-makhlūqīn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4.      Fanā’ ‘an kull az-zāt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5.      Fanā’ ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6.      Fanā’ ‘an kull mā siwā ‘l-lāh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.[22]
Ketika sufi mencapai fanā’ tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis seperti inilah yang dicapai insan kamil.

Kedudukan Insan Kamil
Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya. Yang dimaksud dengan khalifah bukan semata-mata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilāfah az-zāhiriyyah) tetapi lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilāfah al-ma’nawiyyah) dengan manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.

Dalam pandangan Ibn  ‘Arabi, kedua bentuk khalifah diatas sama-sama mempunyai urgensi dalam eternalisasi eksistensi alam semesta. Namun demikian, khilāfah ma’nawiyyah menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus kesadaran diri Tuhan, sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul dan lestarinya alam semesta. Posisi demikian berlainan dengan khilāfah zāhiriyyah, yang fungsinya tidak lebih dari melestarikan masyarakat dan negara, dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Dengan demikian, tugas khilāfah zāhiriyyah ini merupakan penunjang tugas khilāfah ma’nawiyyah. Ini bukan berarti khilāfah zāhiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilāfah ma’nawiyyah.[23]

Kedudukan khalifah pertama kali ditempati oleh Adam a.s. karena pada dirinya termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu (sebenarnya) tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah: 30.
وَاِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى اْلاَرْضِ خَلِيْفَةًً قلى قاَلُوْا اَتَجْعَل فِيْهَا مَنْ يُفْسِدَ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءِ ج وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قلى قَالَ اِنِّيْ اَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesunggguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al- Baqarah: 30).[24]

Jadi, keunggulan Adam a.s. yang menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah di sini bukan karena kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat memanifestasikan asma dan sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berada dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang jabatan khalifah, karena dirinya tidak mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu dari sifat dasar Tuhan: sifat jamāl (maha indah) ataupun sifat jalāl (maha perkasa). Hal demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jamāl, seperti kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jalāl, seperti perkasa, menjatuhkan hukuman atas yang bersalah, dan bangga. Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat bersujud kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk melakukan sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan kafir.[25] Alasan iblis tidak mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan Adam dari tanah.[26]
Iblis, kata Ibn ‘Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya ilusi (al-quwah al-wahmiyah), sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut. Maka ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia tidak mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam gaib yang rendah (al-malākūt as-sufliyah), yang pada mulanya hidup bersama-sama malaikat-malaikat langit yang suci, tetapi tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi, maka ia pun termasuk golongan kafir.[27]
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (‘ilm al-asrār), ilmu ladunni atau pengetahuan gaib. Pengetahuan esoterik, pada dasarnya identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri. Oleh karena itu orang yang bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fanā’ dan baqā’. Jika seseorang telah dapat mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[28] Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros). Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Qutb bisa pula disebut gaws (penolong), yang termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua orang imam yang bertugas sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang awtād (pilar-pilar), yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtād itu berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari ka’bah. Selain itu, terdapat tujuh orang abdāl (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqabā’ (pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan orang nujabā’ (orang-orang yang mulia), hawāriyūn (para penolong), dan rajābiyūn (wali-wali yang hanya muncul pada bulan Rajab).[29]
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik yang tidak pernah kering.
Kedudukan Norma dalam Insan Kamil
Taklif syarak merupakan norma-norma keagamaan untuk menata kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan ini dilanggar atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi kekacauan dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan wujud yang maha baik, yang menyukai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan diri-Nya dengan norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.[30]
Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi harus mematuhi aturan-aturan formal keagamaan, yang bersumber dari kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Pengetahuan dan tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw. merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika seseorang memperoleh ilham, dia harus mempertimbangkannya lebih dahulu atas kriteria kandungan Alquran dan sunnah; jika ilham yang diperolehnya itu sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah, menandakan ilham yang didapatnya itu datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi kalau ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah dia tidak boleh mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian bersumber dari bisikan iblis yang menyusup ke dalam lubuk hatinya.[31]
Semakin tinggi martabat spiritual sufi bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam suluknya. Jalan berliku menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita malam sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar sampai yang halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan setan kelas teri tentu diburu oleh setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh Abd al-Qadir al-Jilāny melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang memanggil: “Hai Abd al-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang diharamkan! Dia menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari setan yang dirajam, pergilah hai terkutuk! Padamlah cahaya terang itu, setan yang mengaku tuhan itu berkata: “Engkau telah selamat dariku dengan hukum Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat spiritual. Padahal aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. “Dia menjawab: “hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah.” Syekh ditanya: “Dengan apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan?” Dia menjawab: “Dengan ucapannya telah kuhalalkan, untukmu segala yang diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya Allah tidak memerintahkan dengan kejahatan.”[32]
Abu Bakar al-Makky berkata: “Para salik (penempuh spiritual) harus melakukan syariah, thariqat, dan haqiqah. Syari’ah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dilarang Allah. Thariqah adalah melakukan dan mengamalkan syariah. Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak perbuatan adalah Allah. Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah merupakan dimensi syariah dengan memandang perbuatan lahir yang dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfanâ’kan daya upayanya dengan menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan kekuatan Allah.”[33]
Insan kamil sebagai manusia sempurna tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan Allah. Tata laku lahir berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Alquran surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُواالزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. al-Bayyinah: 5)[34]
Pada aspek fikih bersuci atau tahārah merupakan syarat untuk melakukan berbagai ritual ibadah. Bisa dibayangkan apabila tidak wudu, mandi wajib, apalagi jarang mandi karena menjalani “laku garingan” tentu tubuh akan kotor, gatal dan ibadahpun menjadi tidak nyaman. Puasa Ramadhan yang berupa kewajiban bagi orang-orang beriman juga memiliki efek positif untuk kesehatan manusia. Demikian pula awāmir (perintah-perintah) lain selalu menyimpan kemaslahatan lahir batin manusia. Pada sisi lain nawāhy (larangan-larangan) secara akurat merusak fisik, moral dan tatanan sosial. Pencurian, korupsi, zina, penganiayaan terhadap makhluk hidup dan perilaku melanggar norma yang lain tentu merusak tatanan individual maupun kolektif.


[1]  Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 49.
[2] Ibid., h. 60.
[3] Ibid., h. 111.
[4] Ibid., h. 112.
[5] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006m h. 66.
[6] Yunasril Ali, op.cit., h. 56.
[7] Ibid., h. 119.
[8] Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya…, h. 435.
[9] Yunasril Ali, op.cit., h. 123.
[10] Departemen Agama RI, op.cit., h. 670.
[11] Yunasril Ali, op.cit., h. 61.
[12] Yunasril Ali, loc.cit.
[13] Ibid., h. 62.
[14] Ibid., h. 63.
[15] Ibid., h. 66.
[16] Ibid., h. 70.
[17] Yunasril Ali, loc.cit.
[18] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 180.
[19] Barwa Ahmad Tabanah, Muqadimah Ihya’ Ulumudin, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt, h. 37.
[20] Mulyadi Kartanegara, op.cit., h. 185.
[21] Yunasril Ali, op.cit., h. 73.
[22] Ibid., h. 78.
[23] Ibid., h. 81.
[24] Departemen Agama RI, op.cit., h. 13.
[25] Q., s. al-Baqarah / 2: 34.
[26] Q., s. al-A’râf / 7: 12.
[27] Yunasril Ali, op.cit., h. 83.
[28] Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2002, h. 74.
[29] Yunasril Ali, op.cit., h. 93.
[30] Ibid., h. 97.
[31] Ibid., h. 167.
[32] Muslih Ibn Abd ar-Rahman, an-Nur al-Burhany, Semarang: Toha Putra, tt, h. 46.
[33] Abu Bakar al-Makky, Kifayah al-Atqiyā’ wa Minhāj al-Asfiyā’, Semarang: Toha Putra, tt, h. 9.
[34] Departemen Agama RI, op.cit., h. 1084.