Senin, 03 Maret 2014

Pandangan Perennial terhadap Alam Semesta (Theophany)

 
Sebagai sebuah narasi kosmos, filsafat perennial pun memiliki pandangan mengenai alam semesta. Pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), bukan sekadar pengetahuan empirik ataupun sekadar keindahan-keindahan alam yang sering muncul dalam puisi-puisi romantik. Memang, kosmologi pengetahuan tentang alam-dalam pandangan ini meliputi aspek yang utuh seluruh jagad. Tetapi sifat pandangannya tidak sepenuhnya sensorik yang mengandalkan panca indra, sebab pada kenyataannya kosmologi perennial juga melihat jagad raya dari aspek metafisik yang terkait dengan aspek Intelek.
Kosmologi tradisional teramat sering menggunakan bahasa-bahasa simbolik, tetapi juga dirumuskannya betul-betul merupakan sains-bukan sebuah sentimen atau pun imajinasi puitik. Karena faktor ini, pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), tetap eksis dengan memperlihatkan karakternya yang khas dan tipikal. Ia muncul sebagai suatu refleksi dan pelengkap bagi keseluruhan bangunan filsafat perennial itu sendiri dan secara esensial memperhatikan aspek metafisik. Karena itu, tak mengherankan jika Nasr misalnya secara sadar mengatakan “the Cosmos as Theophany”, alam semesta tak lain adalah penampakan dari Tuhan. Keyakinan seperti ini, menjadi paradigma dominan dalam bangunan filsafat perennial tentang alam.

Dalam pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), alam semesta dan manusia, pada dasarnya hanyalah tajalli dari Tuhan yang dalam kategori Smith disebut sebagai yang Infinite/Spirit-seperti diuraikan sebelumnya atau dalam tradisi Islam disebut sebagai al-Haqq. Dalam konteks tajalli ini, Noer mengemukakan:

Tajalli terjadi terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir, “yang selama-lamanya ada dan akan selalu ada” (al-da’im al-ladzilam yazal wala yazal). Tajalli dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkret. Tajalli tidak bisa terjadi kecuali dalam bentuk-bentuk nyata yang telah ditentukan dan dikhususkan. Karena itu, tajalli tidak lain dari penampakan diri al-Haqq dalam bentuk-bentuk yang telah ditentukan dan dikhususkan ini. Penampakan diri ini disebut ta’ayyun (entitikasi). Tuhan melakukan tajalli dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama dan tidak pernah dan tidak akan terulang secara persisi sama. Semua terjadi dalam perubahan terus-menerus tanpa henti.

Ibn al-‘Arabi mengatakan, apa yang terdapat dalam alam berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain. Alam temporal berubah setiap saat. Demikian pula alam nafas berubah pada setiap nafas, dan alam tajalli berubah pada setiap tajalli. Dalilnya ialah firman Allah: “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”

Dari uraian tersebut, tampak bahwa pandangan filsafat perennial terhadap alam semesta, alam semesta bahkan termasuk manusia tak lain dari “penampakan” Tuhan di bumi ini. Atau dengan kata lain, manifestasi-manifestasi dari kualitas Ilahi, yang secara konstan hadir tanpa henti.

Di samping bahasan simbolisnya, pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), juga dicirikan oleh adanya kontemplasi mengenai bentuk-bentuk kealaman tertentu sebagai refleksi dari kualitas-kualitas Ketuhanan. Nasr menyatakan bahwa realisasi spiritual yang didasarkan pada pandangan perennial juga merupakan “transparansi secara metafisik dari bentuk-bentuk dan obyek-obyek kealaman” sebagai dimensi ‘melihat Tuhan di mana saja’. Dalam perspektif ini maka kosmologi yang menggunakan intelek sebagaimana dikembangkan Filsafat Perennial berarti melihat alam tidak sebagai fakta kasar dan berdiri sendiri. Tetapi ia melihatnya sebagai panggung pertunjukan yang merefleksikan wajah Yang Tercinta, dan sekaligus sebagai perwujudan Tuhan dan Realitas yang terletak di pusat manusia itu sendiri. Dengan kata lain, “untuk melihat alam sebagai perwujudan Tuhan berarti melihat refleksi Diri sendiri dalam alam dan bentuk-bentuknya.

Selanjutnya pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), ternyata tidak hanya mempelajari pola dasar alam dan melakukan kontemplasi metafisis. Tetapi keserasian dalam bentuk hubungan secara amat memikat antara berbagai cipta seperti binatang, tumbuhan, dan mineral, antara makhluk dalam berbagai iklim dan juga antara wujud-wujud kasar, halus dan spiritual. Keserasian ini, baru segelintir saja di kaji oleh ekologi adalah ibarat keserasian dari bagian-bagian tubuh manusia; demikian juga tubuh (body), jiwa (soul), dan ruh (spirit) manusia perantara yang memang sangat terkait dengan keserasian manusia di alami secara kongkret. Sebab, bentuk keserasian yang terakhir ini (keserasian dalam tubuh manusia), sebagaimana halnya keserasian alam, berasal dari harmoni yang sempurna dari wujud Manusia Universal yang merupakan protipe, baik bagi manusia maupun bagi alam. Apalagi alam merupakan kristalisasi suara-suara musik, dan keserasian musik adalah kunci untuk memahami struktur alam mulai dari tingkat gerakan pertama sampai dengan energi yang paling kecil, maka hal itu adalah karena harmoni yang ada pada aspek wujud yang paling dasar pada archetypal yang membentuk segala sesuatu.


Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Kautsar Azhari Noer. Ibn al-‘Arabi. Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Seyyed Hossein Nasr. Salasa Hukama’Muslim,diterjemahkan Ahmad Mujahidm “Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi”, (Bandung: Risalah, 1986).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar