Sebagai sebuah narasi kosmos, filsafat perennial pun
memiliki pandangan mengenai alam semesta. Pandangan perennial terhadap alam
semesta (theophany), bukan sekadar pengetahuan empirik ataupun sekadar keindahan-keindahan
alam yang sering muncul dalam puisi-puisi romantik. Memang, kosmologi
pengetahuan tentang alam-dalam pandangan ini meliputi aspek yang utuh seluruh
jagad. Tetapi sifat pandangannya tidak sepenuhnya sensorik yang mengandalkan
panca indra, sebab pada kenyataannya kosmologi perennial juga melihat jagad
raya dari aspek metafisik yang terkait dengan aspek Intelek.
Kosmologi tradisional teramat sering menggunakan
bahasa-bahasa simbolik, tetapi juga dirumuskannya betul-betul merupakan
sains-bukan sebuah sentimen atau pun imajinasi puitik. Karena faktor ini,
pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany), tetap eksis dengan
memperlihatkan karakternya yang khas dan tipikal. Ia muncul sebagai suatu
refleksi dan pelengkap bagi keseluruhan bangunan filsafat perennial itu sendiri
dan secara esensial memperhatikan aspek metafisik. Karena itu, tak mengherankan
jika Nasr misalnya secara sadar mengatakan “the Cosmos as Theophany”, alam
semesta tak lain adalah penampakan dari Tuhan. Keyakinan seperti ini, menjadi
paradigma dominan dalam bangunan filsafat perennial tentang alam.
Dalam pandangan perennial terhadap alam semesta (theophany),
alam semesta dan manusia, pada dasarnya hanyalah tajalli dari Tuhan yang dalam
kategori Smith disebut sebagai yang Infinite/Spirit-seperti diuraikan
sebelumnya atau dalam tradisi Islam disebut sebagai al-Haqq. Dalam konteks
tajalli ini, Noer mengemukakan:
Tajalli terjadi terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir,
“yang selama-lamanya ada dan akan selalu ada” (al-da’im al-ladzilam yazal wala
yazal). Tajalli dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkret. Tajalli tidak bisa
terjadi kecuali dalam bentuk-bentuk nyata yang telah ditentukan dan
dikhususkan. Karena itu, tajalli tidak lain dari penampakan diri al-Haqq dalam
bentuk-bentuk yang telah ditentukan dan dikhususkan ini. Penampakan diri ini
disebut ta’ayyun (entitikasi). Tuhan melakukan tajalli dalam bentuk-bentuk yang
tidak terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama dan tidak
pernah dan tidak akan terulang secara persisi sama. Semua terjadi dalam
perubahan terus-menerus tanpa henti.
Ibn al-‘Arabi mengatakan, apa yang terdapat dalam alam
berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain. Alam temporal berubah setiap
saat. Demikian pula alam nafas berubah pada setiap nafas, dan alam tajalli
berubah pada setiap tajalli. Dalilnya ialah firman Allah: “Setiap waktu Dia
dalam kesibukan.”
Dari uraian tersebut, tampak bahwa pandangan filsafat
perennial terhadap alam semesta, alam semesta bahkan termasuk manusia tak lain
dari “penampakan” Tuhan di bumi ini. Atau dengan kata lain,
manifestasi-manifestasi dari kualitas Ilahi, yang secara konstan hadir tanpa
henti.
Di samping bahasan simbolisnya, pandangan perennial terhadap
alam semesta (theophany), juga dicirikan oleh adanya kontemplasi mengenai
bentuk-bentuk kealaman tertentu sebagai refleksi dari kualitas-kualitas
Ketuhanan. Nasr menyatakan bahwa realisasi spiritual yang didasarkan pada
pandangan perennial juga merupakan “transparansi secara metafisik dari
bentuk-bentuk dan obyek-obyek kealaman” sebagai dimensi ‘melihat Tuhan di mana
saja’. Dalam perspektif ini maka kosmologi yang menggunakan intelek sebagaimana
dikembangkan Filsafat Perennial berarti melihat alam tidak sebagai fakta kasar
dan berdiri sendiri. Tetapi ia melihatnya sebagai panggung pertunjukan yang
merefleksikan wajah Yang Tercinta, dan sekaligus sebagai perwujudan Tuhan dan
Realitas yang terletak di pusat manusia itu sendiri. Dengan kata lain, “untuk
melihat alam sebagai perwujudan Tuhan berarti melihat refleksi Diri sendiri
dalam alam dan bentuk-bentuknya.
Selanjutnya pandangan perennial terhadap alam semesta
(theophany), ternyata tidak hanya mempelajari pola dasar alam dan melakukan
kontemplasi metafisis. Tetapi keserasian dalam bentuk hubungan secara amat memikat
antara berbagai cipta seperti binatang, tumbuhan, dan mineral, antara makhluk
dalam berbagai iklim dan juga antara wujud-wujud kasar, halus dan spiritual.
Keserasian ini, baru segelintir saja di kaji oleh ekologi adalah ibarat
keserasian dari bagian-bagian tubuh manusia; demikian juga tubuh (body), jiwa
(soul), dan ruh (spirit) manusia perantara yang memang sangat terkait dengan
keserasian manusia di alami secara kongkret. Sebab, bentuk keserasian yang
terakhir ini (keserasian dalam tubuh manusia), sebagaimana halnya keserasian
alam, berasal dari harmoni yang sempurna dari wujud Manusia Universal yang
merupakan protipe, baik bagi manusia maupun bagi alam. Apalagi alam merupakan
kristalisasi suara-suara musik, dan keserasian musik adalah kunci untuk memahami
struktur alam mulai dari tingkat gerakan pertama sampai dengan energi yang
paling kecil, maka hal itu adalah karena harmoni yang ada pada aspek wujud yang
paling dasar pada archetypal yang membentuk segala sesuatu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Kautsar Azhari Noer. Ibn al-‘Arabi. Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Seyyed Hossein Nasr. Salasa Hukama’Muslim,diterjemahkan
Ahmad Mujahidm “Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi”,
(Bandung: Risalah, 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar