Seorang laki-laki bernama Dzi'lib Al-Yamani bertanya kepada
Imam Ali bin Abi Thalib k.w :
“Dapatkah Anda melihat
Tuhanmu, wahai Amirul Mukminin?”
Jawab Imam Ali bin Abi Thalib r.a, “Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak kulihat?!”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?”
tanya orang itu lagi, maka Imam Ali memberi penjelasannya;
“Dia (Alloh) takkan
tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata-hati yang penuh dengan
keimanan. Alloh dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak.
Berbicara tanpa harus berfikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana.
Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi
tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha penyayang tapi tidak
bersifat lunak. Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa
bergetar karena ketakutan terhadap-Nya.”
--Dikutip dari buku : Mutiara Nahjul Balghah, Muhammad
Al-Baqir, Mizan, tahun 1991, hlmn 25.
Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa
Arab, dan Al-Qur’an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada
tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati.
Dalam konteks hubungan dengan “Melihat Alloh” dan
“Seakan-akan melihat Alloh”, maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa
as, berhasrat ingin melihat Alloh.
“Musa as berkata: Ya
Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu.” Alloh menjawab, “Kamu
tidak bisa melihatKu.”
(QS. Al-A’raf 143).
Ayat lain menyebutkan:
“Sesungguhnya Akulah
Tuhanmu, maka lepaskanlah sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang
suci.”
(QS. Thaha 12)
Dan dia berkata,
“Sesungguhnya aku akan menyaksikan Alloh, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya
Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu, melalui selain Dia.”
(QS. )
Ayat lain menyebutkan,
“Kemana pun engkau
menghadap, disanalah Wajah Allah.”
(QS. Al-Baqarah 115)
“Sesungguhnya aku
hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh
kepatuhan.”
(QS. Al-An’aam 79)
Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat
Allah, lalu Allah menjawab, “Kamu tidak
bisa melihatKu.”. Dengan kata lain “Kamumu” atau “Akumu” tidak bisa
melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku.” yang berarti bahwa hanya
dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.
Dimaksud dengan “Mata Ilahi” adalah Mata Hati kita yang
diberi hidayah dan ‘inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana
hanya Wajah Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur’an. Ibnu Athaillah
menggambarkan secara bijak:
“Alam semesta ini
gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena
itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau
di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud
Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung-mendung duniawi
semesta.”
Karena itu soal “Menyaksikan Allah” hubungannya erat dengan
tersingkapnya tirai hijab, yang menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun
Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang
bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding
Allah.
Syekh Ibnu Atho’illah mengatakan,
“Zat Yang Haq tidak
terhijab (terhalang). Yang terhijab adalah kamu sendiri dalam melihat
terhadapNya. Seandainya ada yang membatasi pandangan terhadap Allah, berarti
sesuatu itu menutupiNya. Jika ada sesuatu yang menutupiNya berarti wujudNya
terkurung. Setiap yang mengurung sesuatu, maka pengurung itu menguasainya.
Sedangkan Allah adalah Zat Yang Menguasai seluruh hambanya.”
Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian
Ilahi) ini, Rasulullah menggunakan kata, “Seakan-akan”, karena mata kepala kita
dan mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata “Seakan-akan” lebih
dekat sebagai bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan kedekatan hati.
Tetapi ketika Rasulullah bersabda, “Jika
kamu tidak melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.” Rasul SAW tidak menyabdakan, “Seakan-akan
melihatmu.”.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub
sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa
“Dialah yang melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus
menerus, menimbulkan pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan
sirr kita untuk memandangNya.
Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah
pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan
tingkat haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari
dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah, bahkan ada
yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya,
kemudian Asma’-asmaNya, lalu melihat semesta makhlukNya.
Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat perkataan Abu
Yazid al-Bisthamy, “Apa pun yang engkau
bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat,
bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena sifat-sifat tersebut
adalah sifat makhluk.”
Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang
Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek
Muroqobah, Musyahadah maupun Ma’rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh
Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:
“Telah terpancar
cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan
berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat
ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah
Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk
datang kepada Allah.
Hamparan tekadnya tak
pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul
Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah,
Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.”
Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan
hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam,
untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:
Mufatahah:
artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan
munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya,
agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.
Muwajahah, artinya
saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit
dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui
dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak
ada peluang untuk melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
Mujalasah,
artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa,
patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya
seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt
berfirman dalam hadits Qudsi, “Akulah
berada dalam majlis yang berdzikir padaKu.”
Muhadatsah,
maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin) dengan mengingatNya dan
menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga
cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yang disabdakan Nabi
saw, “Pada ummat-ummat terdahulu ada
kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku
pun ada, maka Umar diantaranya.”
Musyahadah,
adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak
ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “Syuhud
itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud.”
Muthala’ah, adalah
keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, ketaatan dan batin, semuanya
kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang
tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A’lam.
Maka Hadrat Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana
mereka tenteram dan tinggal. Renungkan semua ini dengan hati yang suci.
Ya Allah, jika Engkau menyiksaku dengan suatu siksaan, maka
janganlah Engkau menyiksaku dengan hijab yang menghalangiku menatap wajah-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar