Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu
komunitas terletak pada kualitas ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.
Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung
kualitas pengetahuan yang tinggi.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan
pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan
keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak
terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi: “Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”
Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia
dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan
ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia
jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.
Allah swt dalam al- Quran menjelaskan bahwa salah satu
fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola
fikir manusia, ”...dan mengajarkan kepada
mereka kitab dan hikmah...” (QS. Jum’ah : 2)
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur
dari tingkat ma’rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya
dengan pengetahuan atau ma’rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali.
Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan
derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma’rifat seseorang, semakin
tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah
nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang alim adalah ibadah.”
Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas
ibadah dibanding kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari
ayat 2 surat Al-Mulk: “…supaya Dia
menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal
yang terbaik, bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang
dilandasi dengan ma’rifat.
Imam Abu Ja’far a.s. berkata, “Wahai anakku! Ketahuilah
bahwasanya derajat pengikut kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka
karena aku pernah melihat di dalam “Kitab Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa
nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma’rifat-nya” (Ma’ani
al-Akhbar).
Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan
dengan ayat yang mengatakan, “Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa diantara kamu .” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri
lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh
dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan
keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma’rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan
ilmu dan ma’rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan
ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.
Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam
terhadap nilai ilmu dan ma’rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt
dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku
ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu,
Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui.” ( Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya
manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah
yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil
riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata
“al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah
Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S
Al-hujarat : 13), berkata, “Wahai para
manusia! Sesungguhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk
mengenal (ber-ma’rifat) kepada-Nya.” (Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan
ma’rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat
menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah
kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat
Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan
jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu
bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah
pertamanya dengan ucapan, “Awal agama
adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam
ber-ma’rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu
keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan
seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai
ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.
Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam,
khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt
dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin
muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid
dalam masalah ini.
Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal
Zat Allah SWT haqqu ma’rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang
dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk)
dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari
berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna
pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai
Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.“
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya,
Imam Ali a.s. pernah menegaskan, “Allah
swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak
menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya.” (Nahjul Balaghah).
Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang
dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada
perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka
yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia
materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak
memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang
bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga
mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia
menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang
tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar
pengetahuan, sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis
yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan
menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang,
sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih
sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan
terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan
berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang
berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam.
Bertolak dari prinsip tauhid muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya
tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta
ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami
ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun : 115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari
kehidupan. Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi.
Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan
setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam
dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia
selama masa hidupnya di dunia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt
satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika
kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk
manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.
Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat
di mana manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam
dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus
dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh Rasul
dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan
akhlak Allah.”
Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan
berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini
mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya). Semakin
bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi
dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan
ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan
pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar
bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan
hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup,
mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia
membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri
dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada
Tuhannya bukan berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi
sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak
terbatas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh
sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt pun tidak
berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan
melalui banyak rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia
singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha
optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif
nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan
bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari
tujuannya. Imam Shadiq a.s. berkata, “Seorang
pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang
akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai
tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan).” (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya
disebabkan oleh bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang
minim menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari
yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau bisikan
setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga
menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan.
Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih
sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak
diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon
tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah
swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang
untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh
Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada
hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam
mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang
harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt
berfirman, “Dan mereka mengingkarinya
karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini
kebenarannya.” (an-Naml:14)
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara
kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan
ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika
tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang
disebut dengan maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih
mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding maslahat jangka panjang
yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan
cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa
nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang
orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” (Q.S.
Al-furqan : 43).
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan
maslahat hakiki, selain diperlukannya ma’rifat sebagai pondasinya, juga
tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai
salah satu fungsi diutusnya rasul, “Yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya
..” (Q.S. Al-jum’ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya
bangunan kesempurnaan jiwa manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar