Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah, kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf (terbuka hijab untuk bisa melihat Alloh), yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya, yaitu :
“Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu,
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat”
Dengan demikian, tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Alloh) itu sendiri, sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya. Seperti yang di Firman Alloh dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Alloh.”
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita betapa Maha dasyatnya memandang wajah Alloh swt, surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan memandang wajah-Nya, bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana? Kebahagiaan itu adalah disaat kita bersama-Nya, menikmati perjamuan-Nya, memandang wajah-Nya, dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora, cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga, cinta yang tidak mampu ditulis walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena. Cinta yang membuat Saidina Ali tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut, cinta yang membuat Rabi’ah tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan Mari'fat, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya, merasakan getaran cinta-Nya setiap saat, inilah tujuan hidup hakiki…. Yaitu Berjumpa dengan SANG KEKASIH.
Alam dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang tidak terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang menemukan Tuhan dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan manusia, menyadarkan manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana yang menciptakan alam sedemikian teratur.
Sebagian manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri. Kehebatan akal manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok yang menciptakan akal itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang Filosof berkata, “Aku berfikir karena itu aku ada”, dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini disadarkan oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa, tidak akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Alloh”. Lalu bagaimana manusia bisa memandang wajah Alloh di alam kalau belum pernah mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan seorang pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as dan Ibnu ‘Arabi dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Alloh dengan benar maka dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah Tuhan disana.
Pencarian Tuhan lewat akal pikiran dan perenungan hanya bisa membawa kita kepada keyakinan bahwa Tuhan itu memang ada di dunia ini, namun untuk bisa sampai kehadirat-Nya diperlukan seorang Master, Pembimbing yang sudah berulang kali bolak balik kesana sehingga jalan yang kita tempuh bukan jalan keliru yang membawa kita kepada kesesatan.
Tidak mungkin manusia yang tercipta bisa sampai kepada Sang Pencipta, tidak mungkin manusia yang baharu sampai kepada Alloh yang Maha Qadim, kecuali lewat bimbingan para Nabi dan Para Wali yang diberi ilmu oleh Alloh unuk membimbing manusia kejalan-Nya. Tujuan Tuhan menurunkan agama tidak lain agar manusia bisa mengenal dan berkomunikasi sempurna dengan Alloh, sehingga manusia mengetahui dengan pasti apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan kepada dirinya.
Satu hal yang harus di pahami bahwa ibadah, shalat dan lain-lain bukanlah sarana untuk mengenal Alloh, ibadah adalah sarana untuk menyembah-Nya, tentu saja untuk bisa menyembah terlebih dahulu kita harus mengenal yang kita sembah agar penyembahan kita tidak keliru.
Kalau sampai hari ini di dalam ibadah kita tidak menemukan getaran Ilahi, tidak berefek apa-apa pada jasmani dan rohani kita berarti adalah yang salah dalam ibadah yang kita lakukan. Agama pada hakikatnya adalah ilmu eksak, ilmu pasti bukan ilmu menduga atau mencoba-coba. Kalau Rasulullah SAW, Para sahabat bisa akrab dengan Tuhan memakai suatu ilmu tentu saja ketika kita memakai ilmu dan rumus yang sama maka hasilnya akan sama, itu PASTI.
Ketika belum sampai kepada tahap PASTI, berarti kita baru belajar agama secara zahir yang bisa dipelajari oleh siapapun karena pelajaran agama zahir merupakan pelajaran akal pikiran yang akan hilang ketika manusia meninggal dunia. Manusia harus meng-upgradeilmu agamanya sehingga bukan hanya jasmaninya yang beragama tapi juga rohani karena nanti yang kembali kepada Alloh bukanlah jasmani tapi rohani.
Ketika manusia belum mengenal Alloh, dalam ibadah formal yang sangat tenang sekalipun dia tidak akan bisa mendapatkan apa-apa selain kekosongan dan kehampaan serta menduga-duga bahwa dia sedang berhadapan dengan Alloh.
Ketika ilmu agamanya telah di upgrade dibawah bimbingan Guru Yang Ahli, dan ketika kita telah mengenal Tuhan dengan sebenar kenal tanpa keraguan sedikitpun, maka dimanapun kita bisa menjumpai-Nya, tidak hanya ketika melakukan ibadah formal saja, ketika menghadapkan pandangan ke arah langit dengan penuh takjub pun akan ada wajah-Nya disana….
“Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!"
(Qs. Al-An‘am [6]: 31)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar