“Sadarilah sifat-sifatmu, maka Alloh membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Akuilah saja kehinaanmu,maka Alloh membantumu dengan kemuliaan-Nya. Akui saja ketidakberdayaanmu, maka Alloh membantumu dengan kekuasaan-Nya. Dan, akui saja kelemahanmu, niscaya Alloh membantumu dengan kekuatan-Nya.”
-- Ibnu Atha'illah dalam Al-Hikam
Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu - Barangsiapa yang mengenali dirinya maka dia akan mengenali Tuhannya. Ternyata, dengan menyadari tentang sifat-sifat dasar kemanusiawian, justru akan menyadarkan kita tentang sifat-sifat Ilahiyah, yang bertentangan dengan sifat-sifat tersebut. Pengakuan kita akan keterbatasan, kebutuhan, dan kehambaan, akan terpantul dalam cermin yang sempurna dari kekuasaan dan cahaya-Nya yang tak terbatas. Keadaan jujur dan ikhlas dalam diri seorang hamba akan memunculkan cahaya rahmat, kemurahan dan karunia-Nya yang kekal.
Yahya ibn Mu’adz Ar-Razi (w. 257 H) mengatakan; “Mungkin di antara kalian akan menemui orang yang berkata, ‘Aku sudah 20 tahun mencari Tuhanku’. Maka katakan, hal itu adalah bohong! Sebab, selamanya, Tuhan tidak mungkin dia temukan dalam jiwanya yang sempit. Carilah dulu dirimu hingga kau benar-benar menemukannya. Jika kau telah temukan dirimu, kau akan menemukan-Nya.”
-- Abu Nu’aim Al-Asbihani dalam Hilyatul Auliya’
Di manakah Dia? Di manakah Dia, Sang Maha Tunggal? Di manakah Dia Ketunggalan tak terperi? Al-Ahad yang jauh dari penyifatan orang-orang yang menyifatinya?
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.”
{QS. Al-Baqarah, 2:186}
Dekat dalam KeJauhanNya, Jauh dalam KeDekatanNya, Di Atas segala sesuatu dan tidaklah dikatakan sesuatu di atasNya, Di Depan segala sesuatu dan tidaklah dikatakan sesuatu di depanNya, masuk dalam segala tak seperti sesuatu yang masuk di dalam sesuatu yang lain, keluar dari segala tak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu.
Betapa mungkin mengatakan: "Di manakah Ia?", sedangkan sang pengata memerlukanNya, yang dikatakan adalah Dia, dan perkataan itu sendiri memerlukanNya? Betapa naif membayangkan mencarinya seperti seseorang yang mencari sesuatu di luar dirinya, katakanlah harta karun terpendam, karena siapa yang mengatakan bahwa Dia ada di luar diri kita, sedangkan Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu, dan Dia lebih dekat dari urat leher?
“dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,”
{QS.Qaf, 50:16}
Dan alangkah naif pula mencarinya di dalam diri kita yang sebagaimana dokter mencari sesuatu yang lembut di dalam usus, karena mustahil bagiNya keterbatasan apa pun, apa lagi keterbatasan material bentuk-bentuk "diri jasadiah" yang teramat gelap ini.
Dengan apa kah ku mengenal-Nya? Kekasih Rasulullah, Amirul Mu'minin bersabda: “Kenalilah Alloh dengan Alloh”. MencariNya dengan pandangan mata lahir atau pun batin, mata rasional ataupun mata kelembutan khothoroot (pikiran), akan patah, karena bukankah Penglihatan adalah DiriNya, “Laa tudrikuhu al- abshooru wa huwa yudriku al-abshooro - Tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan.” Mencarinya dengan sesuatu selain diriNya akan berakhir pada kenihilan.
Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib ditanya: “Khabarkanlah padaku apakah engkau mengenal Alloh dengan Muhammad ataukah engkau mengenal Muhammad dengan Alloh 'Azza wa Jalla?”
Beliau menjawab: “Tidak kukenali Alloh dengan Muhammad , tetapi kukenali Muhammad dengan Alloh 'Azza wa Jalla.”
Betapa mungkin mereka mencari-Nya? Sedang tak ada apa pun yang lebih terang dari-Nya? Betapa mungkin mereka berkhayal, “Bagaimana untuk mencari-Nya?”, sedangkan tak ada sesuatu apa pun yang lebih jelas dari-Nya? Seperti yang dirintihkan oleh Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib dalam doa Kumayl bin Ziyad: “Wa bi nuuri wajhika alladzii adhoo'a lahu kullu syai'in - Dan dengan Cahaya WajahMu yang menyinari segala sesuatu. Dan Dia-lah Yang Mengetahui.”
Aku ada di wilayah terdalam dari hati setiap orang. Banyak orang mengalami salah sangka luar biasa saat melihatKu, karna yang dilihat hanya terbatas pada onggokan tulang dan daging, pun juga menggunakan penglihatan yang terbatas dan aneka rupa prasangka yang tersusun berdasarkan pengaruh hal-hal esensial maupun aksidental dari lingkungan hidupnya semenjak lahir.
Seorang laki-laki bernama Dzi'lib Al-Yamani bertanya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w;
“Dapatkah anda melihat Tuhanmu, wahai Amirul Mukminin?”
Jawab Imam Ali bin Abi Thalib r.a:
“Akankah aku meyembah sesuatu yang tidak kulihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?”, tanya orang itu lagi.
Maka Imam Ali memberi penjelasannya;
“Dia (Alloh) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tetapi oleh mata-hati yang penuh dengan keimanan. Alloh dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berfikir sebelumnya. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha penyayang tapi tidak bersifat lunak. Wajah-wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetar karena ketakutan terhadap-Nya.”
-- Sayydinna Ali Bin Abi Thalib, Dikutip dari buku: Mutiara Nahjul Balghah, Muhammad Al-Baqir, Mizan, tahun 1991, hlmn 25.
Sebagian orang mengatakan; “aku telah melihat Keindahan Tuhan di mana-mana.” Betapa mungkin Tuhan dilihat oleh selain diriNya?
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.”
{QS. Al-An'am, 6:103}
Maka Penatap Tuhan terdiam seribu bahasa, bagi mereka "aku" sama saja dengan "bukan aku" (adaku adalah tiada), karena tak ada apapun yang dapat disifatkan kepada ketiadaan. Bagi mereka "kutatap Tuhan" tak ada bedanya dengan "Tuhan menatap Tuhan", yakni, "mereka" adalah ketiadaan, sedang satu-satunya pelaku adalah Dzat Yang Maha Kudus. Yaa man dalla 'ala dzaatihi bidzaatihi. Wahai Yang Menunjukkan DzatNya dengan DzatNya.
Ikal kekang "aku", "kita", "engkau" telah fana. Tali simpul itu telah lenyap; dan demikianlah Jiwa Pecinta terlepas dari kepompong dan penjara alam material, melesat menuju Jiwa nan Tunggal, Sang Pecinta, Sang Pendamba, Sang Perindu, yang turun dari Hadhrat Dzat Suci ke Hadhrat Asma ke Hadhrat Sifat ke Hadhrat Af'al.
“Dan kepunyaan Alloh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
{QS. Al-Baqarah, 2:115}
Bagi para pecinta yang tak kenal timur dan barat, lenyaplah timur dan barat. Bagi para pecinta yang tak kenal kini dan esok, lenyaplah waktu baginya.
“Diri saya telah hilang (fana) dalam mengenang Alloh hingga saya tidak tahu malam dan siang.”
-- Imam Abu Yazid al Busthami
Maka, Man ‘arafa nafsahu, yakni bagi yang mengenal bahwa dirinya ketiadaan dan Tiada Selain Dia Semata, lenyaplah semua hal termasuk nama dan identitasnya sendiri; dan, Faqod ‘arafa robbahu, Dia Mengenal Tuhannya dengan Tuhannya itu sendiri, yakni Alloh adalah Cahaya Langit dan Bumi, tak lain adalah Dia Yang Dzhohir dan Bathin, dan Yang Awal dan Yang Akhir, tak lain adalah Dia Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
{QS. Fushshilat, 41:54}
“Kepunyaan Alloh-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Alloh Maha Meliputi segala sesuatu.”
{QS. An-Nisaa, :126}
“Al insannu sirri wa Anna sirruhu - Manusia itu rahasiaKu dan Akulah rahasianya.”
-- Hadis Qudshi
Aku adalah Sirrullah. Selamilah kedalamanmu dan temui Aku. Alloh Sirrullah.. Alloh Sirrullah.. Alloh Sirrullah...
Sebelum mencapai “Madinatul I'lmu - kotanya ilmu” cari dulu “Babul I'lmu - Pintunya Ilmu”. Dan sesungguhnya seorang yang telah berada didalam Madinatul I'lmu maka Tuhan memberikan pengetahuan terhadap rahasia-rahasiaNya..
Yaa Alloh Karuniakan padaku tatapan KepadaMu dan Kemulaan Keterputusan kepada SelainMu, hingga dengan Pancaran wajahMu, tersingkaplah hijab-hijab CahayaMu. Aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar