Sabtu, 22 Februari 2014

Urgensi Mengenal Diri



Salah satu persoalan yang penting dan urgen untuk mencapai kesempurnaan akhir dan meraih tujuan penciptaan adalah pengenalan diri dan jiwa.

Sebagaimana diketahui bahwa manusia memiliki dua dimensi, dimensi ruhani (yang terkait dengan jiwa) dan dimensi jasmani (yang terkait dengan badan). Namun aspek yang hakiki pada diri manusia adalah jiwa. Jiwa yang bersifat nonmateri inilah yang langgeng dan akan mengalami kehidupan yang abadi. Setalah hancurnya badan kasar ini, yakni setelah kematian, maka jiwa akan terus melanjutkan kehidupannya di alam barzakh dan kemudian secara abadi akan menetap di alam akhirat.

Perlu diketahui bahwa manusia senantiasa berdimensi dua, yakni jiwa dan badan, akan tetapi, badan yang menyertai jiwa akan berubah sesuai dengan kondisi alam dimana jiwa berada. Misalnya, jiwa yang hidup di dunia ini akan memiliki jasad yang sesuai dengan karakter alam materi, begitu pula jika jiwa berpindah ke alam mitsal atau barzakh maka tubuhnya pun bersifat barzakhi. Hal ini juga berlaku pada alam akhirat.

Namun, tubuh dan jasad yang menyertai jiwa di alam barzakh dan akhirat sepenuhnya dibentuk oleh akhlak manusia ketika di dunia. Di sini jiwa dan tubuh memiliki kesesuaian. Jika jiwanya indah maka tubuhnya pun akan indah.

Dengan demikian, manusia yang tidak mengenal dirinya dapat dipastikan akan salah dalam menentukan kesempurnaan insaninya, dan hal ini akan menyebabkannya menjalani kehidupan di dalam lorong-lorong gelap kejahilan. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap jiwa dan diri sendiri merupakan prinsip yang paling mendasar untuk kebahagiaan dan keberuntungan manusia.

Dalam surah al-Maidah Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk, hanya kepada Allah kamu semuanya kembali, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[1]

Ayat di atas menyinggung beberapa poin penting berikut:
  1. Allah swt berfirman, apabila kamu telah mendapat petunjuk, maka kamu berada di jalan yang benar dan terbimbing;
  2. Dalam keadaan ini, kesesatan orang-orang di sekitar kalian yang tersesat tidak akan membahayakan kalian;
  3. Kehidupan manusia ibarat menempuh suatu jarak perjalanan di sepanjang hidup, karena kesesatan dan hidayah ada pada setiap perjalanan, maka bisa dikatakan orang yang mengenal jiwanya di tengah perjalanan, berarti ia telah memperoleh hidayah tanpa harus mengalami kesesatan. Dalam keadaan ini, tersesatnya sebagian dari teman seperjalanan tak akan mampu mengalihkan perhatiannya, karena ia telah menemukan tujuan, mengenal arah perjalanan, mengetahui akhir perjalanannya, dan yakin akan memperoleh hasil dari tujuan hidupnya. Dan ibarat ini tak lain adalah perjalanan jiwa, dimana al-Quran menyinggung hal tersebut dengan firman-Nya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.[2] Dan yang dimaksud dari menempuh perjalanan di sini adalah tak lain merupakan perjalanan mengenal jiwa manusia, dan perjalanan semacam ini merupakan jalan terdekat untuk sampai pada Tuhan, sebuah perjalanan yang memiliki paling sedikit kesalahan.
Akan tetapi perjalanan horisontal merupakan lintasan lain yang bisa digunakan untuk sampai pada tujuan dan kesempurnaan manusia, dimana hal ini merupakan perjalanan ilmu pada alam kosmos dan mikrokosmos, dan ayat di atas, menyinggung kedua perjalanan tersebut.

Jadi, jelaslah bahwa perjalanan jiwa pada hakikatnya merupakan gerak manusia pada lintasan wujud dirinya yang terjadi dari awal dan akan berlanjut hingga akhir hayat, yaitu manusia yang melangsungkan kehidupannya di dunia natural tidak seharusnya tertawan oleh karakteristik materi dan seumur hidup mengecimpungkan dirinya dalam dunia materi, melainkan dia harus melangkah dalam lintasannya sendiri untuk mengenal dan menemukan bumi dan tempat tinggal yang hakiki bagi wujud nya.

‘Alaikum anfusikum [3]
Pada ayat di atas dikatakan “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan (‘alaikum anfusikum) pada diri mereka sendiri …”, maksud dari ‘alaikum anfusikum tersebut, antara lain:
  1. 1. Jangan sekali-sekali melepaskan diri kalian sendiri, kenalilah jiwa kalian, karena kesulitan untuk mengenal mutiara berharga ini setara dengan kesulitan untuk mengenal-Nya, dan adanya keniscayaan antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan merupakan bukti dari pentingnya persoalan ini;
  2. 2. Berhati-hatilah kalian terhadap diri kalian sendiri, supaya kalian mampu menjalankan kewajiban Ilahi yang seharusnya dan tidak melakukan dosa. Melalui Nabi-Nya, Allah swt telah menjelaskan metode untuk menjaga diri dari jiwa, dan Allah juga telah menentukan seluruh persoalan, manfaat, dan kerugian manusia serta kewajiban-kewajiban praktisnya. Selain manusia harus mengamalkan aturan-aturan langit dan program-program Ilahi yang telah ditentukan, dia juga harus menjaga diri dari bahaya-bahaya dan kerugian-kerugian jiwa, dan karena merupakan penjaga yang cerdik dan cermat, seluruh aktivitas jiwa sesaat demi sesaat harus senantiasa berada di bawah pengawasan untuk kemudian mengarahkannya pada program-program Ilahi dengan sepenuh keyakinan;
  3. 3. Karena jiwa merupakan salah satu dari eksistensi yang ajaib, rumit, dan misterius, bahkan paling rumitnya eksistensi yang ada di alam, maka arahkan jiwa tersebut pada kebesaran, keagungan, dan untuk mengenal Penciptanya.
Imam Ali As bersabda, “Manusia yang tidak mengetahui jiwanya sendiri, dia akan dilepaskan”[4], yaitu baginya tidak ada perbedaan antara hidayah atau kesesatan.

“Seseorang yang tak mengenal dirinya, maka perbuatannya akan mengarah pada kerusakan”.[5] “Aku heran kepada orang yang sibuk mencari sesuatu yang hilang darinya, akan tetapi ketika dia kehilangan dirinya, dia tidak mencarinya dan tidak berusaha untuk menemukan dirinya kembali”.[6]

“Barang siapa tidak mengenal dirinya, dia akan lebih jahil untuk mengenal selainnya”.[7]

“Siapa yang tidak mengenal dirinya, berarti dia telah jauh dari jalan keselamatan dan dia akan sesat dan bodoh”.[8]

“Paling lemahnya orang, adalah mereka yang menghalangi dirinya untuk memperbaiki diri”.[9]

“Barang siapa mengenal dirinya, dia akan lebih mengetahui keadaan selainnya”.[10]

“Barang siapa mengenal seluruh hakikat dirinya, maka dia telah memperoleh paling tingginya makrifat dan pengetahuan”.[11]

“Siapa yang mengenal dirinya, akan berhadapan dengan Keindahan Sumber Keajaiban”.[12]

“Arif adalah orang yang mengenal dirinya, membebaskan jiwanya dari ikatan waswas setan dan nafsu amarah, menyingkirkan segala sesuatu yang akan menjauhkannya dari Tuhan dan akan membersihkan segala sesuatu yang menyebabkan kehancurannya”.[13]

Jadi seseorang yang tidak mengenal jiwa, maka dia tidak akan berhasil membersihkan dan menyempurnakan jiwanya, karena pengenalan jiwa berarti mengenal kesempurnaan sekaligus mengetahui segala rintangan dan hambatan dalam pencapaian kesempurnaan, begitu pula, dengan ini ia dapat mengenal segala keburukan bagi jiwa.

Tentunya, pengenalan jiwa juga bermakna pengetahuan terhadap hakikat jiwa, kedudukan, dan hal-hal yang menyebabkan kebahagiaan dan kemalangannya. Dan mengenal jiwa membuat manusia larut dalam kenikmatan akal dan spiritual dan tidak lagi mengikuti kecenderungan hawa nafsu, bisikan setan, dan penghambaan kepada selain Tuhan.
Imam Ali As bersabda, “Kebodohan yang terbesar adalah kejahilan manusia terhadap persoalan-persoalan jiwanya”.[14]

“Paling baiknya pengetahuan adalah mengenal diri, barang siapa mengenal dirinya berarti dia mengetahui, dan siapa yang tidak mengenal dirinya akan berjalan ke arah kesesatan”.[15]
 
“Bagaimana seseorang yang jahil terhadap dirinya bisa mengenal Tuhannya?”.[16]

“Barang siapa mampu meliputi seluruh ilmu tentang jiwanya, maka dia akan sampai pada pengenalan dan makrifat Tuhan”.[17]

Harus diingatkan bahwa makrifat jiwa dan perjalanan jiwa, merupakan perjalanan yang sangat sulit, dengan alasan inilah mengenai riwayat di atas sebagian ulama mengatakan, sebagaimana makrifat Tuhan adalah sangat sulit, makrifat jiwa pun demikian juga, dan kesulitan serta kerumitan jalan inilah yang telah menyebabkan hanya sedikit orang yang mampu berjalan di atasnya.
Akan tetapi, makna lain yang bisa disimpulkan dari riwayat ini adalah adanya kemestian antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan.

Lebih lanjut Imam bersabda, “Pengenalan jiwa merupakan pengenalan yang paling bermanfaat”.[18]
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, tanda-tanda Ilahi, bisa disaksikan pada dua perjalanan, baik perjalanan kosmos maupun mikrokosmos, akan tetapi perjalanan yang paling baik dan bermanfaat adalah perjalanan mikrokosmos atau perjalanan jiwa.

Ketika menyaksikan penciptaan alam tanpa batas yang begitu mengagumkan, manusia tidak saja mampu untuk tidak melupakan dirinya, bahkan dia juga bisa semakin memahami keajaiban dan kemisteriusan dunia yang ada di dalam dirinya. Hal inilah yang lebih baik bagi manusia, yaitu mengenal jiwa dan kapabilitasnya, bukan mengenal dunia luar dengan sebaik-baiknya akan tetapi jahil terhadap apa yang ada di dalam dirinya.

“Puncak dari seluruh makrifat adalah makrifat jiwa”[19], yaitu pada hakikatnya apabila seseorang mampu mengenal dirinya, maka dia telah sampai pada puncak dari berbagai makrifat.

“Seseorang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana dia bisa mengenal selainnya?”[20]

“Dalam pengetahuan, cukuplah bagi manusia untuk mengenal dirinya, dan dalam kejahilan cukup baginya untuk tidak mengenali dan jahil terhadap dirinya.”[21]

“Barang siapa mengenal dirinya, berarti dia telah bersifat spiritualis.”[22] Dalam keadaan ini, ia tidak lagi sebagaimana manusia pada umumnya.

Kadangkala manusia tersungkur sangat jauh ke bawah hingga jiwanya menduduki predikat, jiwa materi. Ketika jiwa terpenjara di dalam kungkungan tabiat dan kecenderungan tubuh, dan makan, tidur, syahwat, dan amarah telah mendominasi dirinya, maka secara bertahap, jiwa yang tadinya non-materi akan berubah menjadi materi, dan sebaliknya, ketika seseorang memperhatikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwanya dengan cara yang benar, dan dia berusaha untuk menggapai derajat malakutinya, di sini tubuh akan menemukan keadaan yang bersifat spiritual, yaitu seakan tubuh telah meruhani dan secara sempurna berada di bawah kekuasaan jiwa.

Dengan alasan inilah sehingga kadangkala sebagian individu terlihat mampu menunjukkan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti kematian ikhtiari, lapar dalam waktu lama, dan lain sebagainya. Meskipun bisa jadi ilmu saat ini, seperti ilmu kedokteran tidak bisa menerima hal-hal semacam itu, akan tetapi harus diketahui bahwa subyek yang dibahas dalam ilmu kedokteran adalah tubuh manusia bukan jiwa manusia.

Jadi sekali lagi, orang yang menemukan makrifat jiwa akan bisa berubah menjadi realitas yang bersifat spiritualitas, dimana pada hakikatnya mekanisme materi tidak lagi mendominasinya.
Setelah tingkatan tersebut, terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari hal itu yang disebut dengan derajat tajarrud dimana manusia akan menjadi manifestasi dari asma, sifat, dan nama agung Tuhan, sebagaimana Imam as bersabda, “Nahnu asma-ullahu al husna (Kami adalah asma-asma Tuhan)”.
Tentang tajarrud ada tiga makna:
  1. Pembebasan jiwa dari alam materi;
  2. Pembebasan jiwa dari keterikatan atas manusia lain;
  3. Pembebasan dari segala sesuatu selain-Nya dengan ikhlas kepada-Nya.
“Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan melawan kecenderungan buruk jiwanya, dan siapa yang tidak mengenal jiwanya, dia akan memujinya dan merasa puas dengannya”.[23]

Dari sini bisa diketahui dengan jelas, apa yang akan terjadi pada manusia apabila dia jahil terhadap dirinya, dan bagaimana dia bisa menjual komoditi yang paling agung dan paling berharga dalam alam penciptaan ini dengan harga yang paling murah?

Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, bersabda, “Merupakan perdagangan yang merugikan jika kalian meletakkan harga pada diri kalian lalu menjualnya.”[24]

Suatu hari Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ali Khamenei dan Imam Khomeini ra berkata, “Seandainya kunci dunia ini diberikan kepada manusia, hal ini masih merupakan perkara yang sangat kecil baginya”. Menukilkan sebuah misal untuk hal ini akan lebih menjelaskan pernyataan tersebut.

Misalnya pada sebuah perpustakaan telah ditemukan sebuah kitab sangat langka dengan nilainya yang tiada banding dan penulisnya yang handal menduduki peringkat dunia yang hidup pada masa lalu. Bisa jadi seorang peneliti yang memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut sampai rela menjual rumahnya untuk membeli kitab tersebut, lalu setelah kitab berada di tangannya, dia akan menjaga dan menyimpannya seakan-akan merupakan benda yang teramat sangat berharga. Akan tetapi orang yang sama sekali tidak mengetahui tentang nilainya, bisa jadi dia malah akan merobek kitab tersebut selembar demi selembar lalu menggunakannya untuk membungkus cabe dan garam yang ada di warungnya.

Jadi pengetahuan terhadap diri, merupakan pendahuluan untuk memperbaiki diri dan untuk menghiasi mutiara jiwanya, lalu menggunakannya untuk bergerak hingga ke puncak makrifat, sedangkan kejahilan dan ketidaktahuan terhadap diri akan menjadi penyebab kemusnahan dan tersia-sianya jiwa.

Keburukan Lupa Diri

Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, mengenal diri merupakan persoalan yang sangat penting, dan manusia harus mengetahui tentang siapa ‘aku’, karena jika dia tidak memperoleh pengenalan semacam ini, maka pasti terjadi kesalahan dalam menentukan apa-apa yang hakiki dan apa-apa yang non-hakiki, dia akan menyangka sesuatu yang hakiki sebagai non-hakiki, lalu meletakkan yang hakiki di tempat non-hakiki dan sebaliknya, yaitu dia melupakan dirinya yang hakiki, dan menganggap non-jiwa sebagai hakikat dirinya.
Dengan demikian, dia telah melakukan perbuatan berdasarkan keyakinan yang tidak benar ini, dan hal ini sama artinya dengan membuat kehancuran bagi dirinya sendiri.

Suatu ketika, terdapat orang yang memiliki modal besar. Dengan uang tersebut dia mempunyai rencana akan membangun sebuah gedung yang kokoh, megah, dan sangat indah di atas tanah yang sangat luas. Beberapa waktu lamanya dia membanting tulang dan berjerih payah mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk membangun gedung impiannya tersebut, hingga setelah beberapa waktu lamanya akhirnya selesai jualah apa yang dia inginkan. Karena sekian waktu tenaganya telah terkuras untuk membangun gedung itu, maka bersamaan dengan selesainya pembangunan gedung dan habisnya modal, kondisi dan stamina tubuhnya pun menurun. Dalam hal ini, dalam satu waktu sekaligus dia telah kehilangan dua hal, yaitu modal dan stamina tubuh. Dalam kelemahannya, dia menyaksikan gedung megah yang berdiri di hadapannya dengan perasaan puas dan bangga, akan tetapi tiba-tiba dia tersadar bahwa dia telah membangun gedung tersebut di atas tanah milik tetangga, sedangkan di atas tanahnya sendiri kosong dari bangunan. Apa yang terjadi? Seluruh yang dia lakukan, modal yang dia gunakan, waktu yang dia habiskan, semuanya telah hilang dengan sia-sia.

Kadangkala sebagian manusia bekerja dan berusaha siang- malam selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak pernah merasakan ketenangan meskipun sedetik. Ketika ditanyakan tentang semua alasan usahanya ini, menjadi jelas bahwa seluruh jerih payahnya tersebut adalah untuk mendapatkan beberapa helai permadani, mobil, sebuah rumah, dan uang.

Jelaslah bahwa di sini mereka menganggap ‘yang non-hakiki’ itu sebagai realitas ‘yang hakiki’. Seharusnya mereka berkhidmat kepada jiwa ‘yang hakiki’, bukan berkhidmat secara total kepada tubuh ‘yang non-hakiki’ ini.

Ketika tiba saat perpisahan antara jiwa dan tubuh, mereka baru sadar bahwa usaha dan jerih payah yang mereka lakukan selama ini hanyalah untuk memenuhi kepentingan tubuhnya, sedangkan diri dan jiwanya yang hakiki tidak mengalami kemajuan sedikitpun dan tetap berada pada usia kanak-kanak, hal seperti ini merupakan stagnasi ruh yang sangat mengerikan.

Dikarenakan seseorang tidak mengenal diri dan jiwanya secara hakiki, seluruh jerih payah dan pengkhidmatannya hanya dia berikan untuk menggapai keinginan-keinginan tubuh materi yang bakal punah.

Efek Mengenal Diri

Ketika jiwa manusia telah sampai pada tingkatan non-materi murni dan kebergantungannya pada apa yang ditampakkan oleh dunia telah berkurang, secara bertahap dia akan keluar dari penjara tubuh dan tidak lagi melihat adanya benturan-benturan yang menghalangi tubuhnya.

Dalam keadaan seperti ini – sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya – tubuh akan berada dibawah kewenangan jiwa dan seakan tubuh pun telah berubah menjadi jiwa, kemudian keajaiban-keajaiban dan kemuliaan-kemuliaan yang mengherankan akan muncul darinya, sedemikian hingga dia mampu memisahkan ruh dari jiwa dengan kemauannya sendiri, kematian seperti ini biasa disebut kematian ikhtiari yang sering terjadi pada diri para wali Tuhan.

Salah satunya adalah kejadian menarik yang dinukilkan dari Ogho Sayyed Muhammad Darceh-i.[25] Telah ditanyakan kepada beliau mengenai kebenaran riwayat, “Imam Ridha as memerintahkan untuk melukis gambar singa pada sebuah tirai, lalu singa tersebut hidup dan setelah memangsa orang tak beradab yang berada di dekatnya, dia kembali lagi ke tempatnya semula”. Ogho Sayyed dalam jawabannya mengatakan,

“Perbuatan itu bisa pula muncul dari aku yang hanya sebagai budak beliau. Ketahuilah bahwa kodrat semacam ini berkaitan dengan jiwa yang telah menyempurna dan telah terbebas dari penghalang-penghalang materi dan telah memiliki kedudukan di tempat yang tinggi”.

Hal yang serupa diceritakan juga oleh Mahyauddin, dia berkata, “Dahulu aku mempunyai seorang guru bernama Abu Madain yang memiliki jabatan tinggi dalam kemiliteran, dan dia bisa melakukan berbagai pekerjaan, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah memperhatikan kepentingan dirinya, kehidupan pribadinya senantiasa berada dalam keadaan yang susah dan kurang, keadaan beliau telah sedemikian susahnya hingga sebagian para pembesar mengatakan, kenapa kamu tidak berusaha untuk memperbaiki keadaanmu? Akan tetapi lelaki agung tersebut berkata, bahwa seluruh persoalan hidupnya telah dia serahkan kepada Allah”.

Alamah Thabathabai, pada setiap malam Kamis dan malam Jumat senantiasa mengadakan pertemuan dengan para sahabat dan murid-muridnya secara bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya, suatu kali seluruh peserta majelis sepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu pelajar, akan tetapi rumah pelajar tersebut begitu jauh dan gelap, sedangkan saat itu usia Alamah Thabathabai sendiri telah lanjut, sehingga untuk berjalan di tempat yang gelap akan sangat menyusahkkan beliau. Melihat hal demikian, para murid memberikan saran kepada beliau, lebih baik pertemuan kali ini diadakan saja di rumah beliau, akan tetapi dalam jawabannya, beliau berkata, “Ketika berjalan di siang hari, mataharilah yang menjaga kita sehingga kita tidak terjatuh, dan sekarang dalam kegelapan, karena matahari dan cahaya tidak menjaga kita lagi, apakah kita akan terjatuh ke tanah?”

Hal-hal di atas merupakan contoh dari kemuliaan dan kemampuan jiwa dalam menguasai tubuh, adanya pengaruh dominan untuk melakukan perintah-perintah Ilahi, telah memunculkan hal-hal yang mengagumkan dalam wujud hamba-hamba yang taqwa ini. Pelatihan, ketaatan, dan penghambaan kepada Tuhan, secara bertahap akan mengantarkan jiwa untuk sampai ke arah dan tingkatan tersebut, dimana kemudian jiwa menemukan kodrat yang seharusnya, dan menguasai tubuh secara baik, dan kedekatannya kepada Tuhan, akan menyebabkan kemuliaan-kemuliaan Tuhan menurun kepadanya.

Karena karakter manusia adalah mencari keuntungan, maka dia akan berusaha untuk menggapai apa yang dikenalnya sebagai persoalan yang sesuai untuk dirinya. Tentunya kecenderungan untuk mencari keuntungan ini memiliki akar kecintaan yang esensial (cinta diri sendiri), karena seluruh kecenderungan yang dimiliki oleh manusia berasal dari akar kecintaan esensial ini, dikarenakan dia mencintai dirinya sendiri maka dia akan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh jiwanya, tapi apabila dia keliru menentukan, maka dia akan salah memposisikan apa yang hakiki bagi dirinya, yaitu apabila manusia tidak mengenal jiwa, kemampuan, potensi, dan kesempurnaan dirinya, maka dia akan keliru meletakkan persoalan-persoalan non-hakiki dan keinginan-keinginan tak penting pada posisi kebutuhan-kebutuhan esensial dan kesempurnaan hakikinya. Dalam keadaan yang demikian maka seluruh kekuatan dan usahanya dalam hidup, hanya dia untuk mencapai kesempurnaan tak hakiki dan keinginan-keinginan kaburnya, dengan demikian ‘aku’ yang hakiki, justru akan terkapar di bawah kaki ‘tubuh’ materi.

Akan tetapi, pengenalan yang benar terhadap jiwa, akan mampu mengubah arah perjalanan hidup manusia kepada kesempurnaan hakiki, karena dengan mengetahui dirinya dan mengetahui nilai jiwanya sendiri, berarti manusia telah mengenal kesempurnaan hakikinya, dan kecintaan pada diri sendiri tidak akan mengizinkannya melangkah di atas selain jalan yang menuju ke arah kesempurnaannya.

Dalam perjalanan inilah ‘tubuh’ akan mengorbankan diri hingga mencapai kesempurnaan hakiki bagi jiwa, dan dia akan memperoleh seluruh kesempurnaan yang akan melesakkannya hingga lebih tinggi dari tingkatan para malaikat, dan akan menghalanginya dari terperosok ke jurang yang lebih rendah dari tingkatan hewan. Hal ini terjadi karena kecintaan diri yang benar akan menuntut pengaruh yang benar pula, sedangkan kecintaan diri yang palsu akan memerosokkan manusia pada keinginan-keinginan yang palsu pula.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah bahwa manusia yang telah menemukan dirinya ini sama sekali tidak akan menjual aset umurnya untuk komoditi yang tak kekal dan sesaat, karena dia menganggap bahwa diri adalah abadi, sementara kehidupan yang abadi tidak membutuhkan aset yang sesaat, melainkan harus sesuai dengan masa mendatang.

Satu lagi, manusia yang telah mengenal hakikat dirinya akan menemukan bahwa seluruh umurnya dalam setiap detik kehidupannya harus mencapai hal yang kekal dan permanen, persis sebagaimana seorang kapitalis yang membeli barang-barang berharga dengan berapapun aset yang dia miliki, untuk mendapatkan aset yang permanen, dan hal ini kontradiksi dengan orang yang waktunya hilang sesaat demi sesaat dan tidak ada sesuatupun yang dihasilkannya, dia telah kehilangan asetnya dan diapun tidak mampu memperoleh yang abadi dan permanen. Dia tidak mendapatkan sedikitpun keuntungan dari waktu yang telah terbuang.
Pada dasarnya kesulitan-kesulitan dan benturan-benturan yang dimiliki oleh manusia-manusia saat ini adalah karena mereka tidak mampu membedakan antara diri hakiki dan diri tak hakiki, dan mereka telah memisahkan antara aku yang sebenarnya dari tubuhnya, lalu menarik masing-masingnya ke arah yang berbeda dari lintasan perjalanan yang seharusnya.

Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri”,[26] dimana melupakan Tuhan akan meniscayakan pada lupa diri, yang konsekuensinya berarti pengenalan diri akan meniscayakan pada pengenalan Tuhan.

Pada salah satu ayat-Nya yang lain, “Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.[27] Pertanyaan yang muncul adalah, apa maksud dari “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.

Sedangkan Tuhan tidak akan pernah lupa, karena kejahilan, ketidaktahuan, dan lupa merupakan suatu persoalan yang mustahil bagi-Nya. Jika demikian, apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini? Masa depan seperti apa yang hendak diungkapkannya? Dari wahyu tersebut bisa disimpulkan bahwa orang yang mendengarkan dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dia akan memperoleh keinginan-keinginan hakikinya dan dia akan menuangkannya ke kedalaman jiwanya untuk memenuhi kehausan spiritualnya. Dari sini, seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah berubah dari potensi menjadi aktual, yang akhirnya akan sampai pada bentuk malakuti yang suci dari keterikatan alam materi.

Akan tetapi, ketiadaan perhatian pada perintah, hukum, dan ayat-ayat Ilahi pada hakikatnya merupakan ketiadaan perhatian pada keinginan hakiki manusia, dengan perbuatannya ini berarti dia telah meletakkan jiwa dalam kotoran gelap alam materi, dan seluruh kecenderungan-kecenderungannya telah dia hancurkan pada tingkatan potensi, dan dia akan terhalangi dari pengaruh-pengaruh malakuti amal dan perbuatan-perbuatannya yang Ilahi, dan hal ini akan tampak jelas pada hari kiamat kelak. Dari sinilah kemudian Allah swt berfirman, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”, yaitu dilupakannya manusia pada hari kiamat, bertolak dari amal dan perbuatannya di dunia dan apa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk mengembangkan kecenderungan-kecenderungan, baginya hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dia peroleh.

Poin penting berikut harus diperhatikan bahwa balasan pada hari kiamat yang bertolak dan merupakan hasil dari amal dan perbuatan setiap manusia di dunia merupakan majemuk perbuatan yang telah bergabung dalam diri seseorang yang kemudian akan membentuk wujud ukhrawinya, dan ini berlawanan dengan balasan dan pahala yang ditentukan di dunia.

Di dunia, untuk perbuatan yang berbeda akan mendapatkan balasan yang telah ditentukan dalam bentuk yang berbeda pula. Misalnya, untuk pelanggaran mengemudi, akan dikenai hukuman denda, dan untuk peminum minuman keras akan dikenai hukuman siksaan dan …, akan tetapi di akhirat, setiap manusia akan dibangkitkan dengan hakikat perbuatannya. Dalam salah satu ayat-Nya, berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”[28], yaitu orang yang memukul anak yatim dengan kezaliman dan telah menyebabkan air matanya jatuh bercucuran, sebelum dia melanjutkan perbuatan dan ancamannya, beliung telah memangkas jenggotnya dan hakikat perbuatannya – yang kini telah tersimpan di dalam jiwanya – akan tampak baginya di hari kiamat kelak.

Sekarang, ketika kiamat dan masa tertampaknya perbuatan manusia dan hari penampakan masih tersembunyi dan tidak kita ketahui, orang-orang yang melupakan ayat-ayat Ilahi pun, pada hari kiamat akan berhadapan dengan hakikat perbuatannya yaitu dia akan dilupakan, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”, dan dia tidak akan layak mendapatkan perhatian sedikitpun.
Pada hari ketika rahmat Tuhan tercurah pada seluruh alam, dia akan terhalangi dari rahmat-Nya. Orang yang tidak mengenal dirinya, dia akan menyangka telah hidup beruntung dan berbahagia ketika memiliki kendaraan, makanan, dan minuman yang paling baik, kekayaan dunia yang berlimpah, hidup di istana besar nan mewah dan mendapatkan seluruh penghormatan. Akan tetapi ini semua tak lebih dari sekedar sebuah khayalan, dia tidak mengetahui bahwa dia telah hidup di alam yang bukan alam insaniyah. Orang yang membatasi seluruh perhatiannya pada keinginan-keinginan hewani, dan lalai terhadap jiwanya, dan tidak bernafas di dalam udara insaniyah, dia akan mati dengan keadaan sebagaimana dia hidup di dunia ini.

Mengenal Indera Batin Manusia

Sebagaimana manusia dalam lahiriahnya memiliki potensi yang beragam, seperti mata, telinga, hati, indera perasa, pencium dan lain-lain, batin juga memiliki potensi-potensi semacam ini yaitu memiliki indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya.

Sebagaimana tubuh materi memiliki mata dan telinga, jiwa juga memiliki penglihatan dan pendengaran, dan sebagaimana halnya jantung materi berdetak di dalam dada jasmani manusia lalu menyempurnakan kehidupannya, jiwa juga memiliki jantung yang memiliki kehidupan, dimana kebanyakan dari ibadah akan menyebabkan hidupnya hati ini, dan kebalikannya kebanyakan dari dosa akan mematikan dan memusnahkannya, dan begitu banyak hadits yang menyiratkan tentang aksi dan reaksi jantung batin ini. Sebagai contoh, pada sebuah hadits dikatakan bahwa zikir “Ya hayyu ya qayyum, ya man la ilaha illa anta” akan menghidupkan hati. Demikian juga terdapat dalam hadits bahwa hidup berdampingan dengan penyembah dunia akan mematikan hati. Orang yang tidak mengetahui secara benar tentang potensi yang dimiliki oleh eksistensi ini, akan berhadapan dengan potensi-potensi yang mentah dan tak matang, dan sebagaimana kanak-kanak yang tidak pernah memperhatikan adanya bahaya dan manfaat, setiap langkah yang dia lakukan dalam kehidupan senantiasa akan semakin mendekatkannya kepada bahaya dan semakin menjauhkannya dari manfaat.

Seperti orang yang dilahirkan dan hidup sendirian di tengah hutan, dan tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang potensi-potensi yang dimilikinya, keadaan ini jelas akan menyebabkan stagnasi perkembangan pada potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi yang tersembunyi ataupun yang tampak. Bahkan hingga sampai pada tingkatan dia tidak mengetahui apa yang bisa diperbuat oleh lidah yang ada di mulutnya. Tidak ada sedikitpun gambaran dalam benaknya bahwa dengan lidah, dia akan mampu menyampaikan maksudnya kepada selainnya. Dia juga tidak mengetahui bahwa dengan matanya dia akan mampu melihat hal-hal yang indah dan mempesona, dengan telinganya dia akan mampu mendengar suara-suara yang merdu.
Oleh karena itu, pada sepanjang hidupnya, dia akan bisu, buta, tuli dan tidak mampu memanfaatkan perangkat-perangkat yang diletakkan dalam kewenangannya. Apa yang terdapat dalam kedalaman batin manusia pun demikian juga. Ketika manusia tidak mengenal penglihatan, pendengaran, dan hati nurani, maka dia tidak akan memberikan perhatian padanya, dengan demikian potensi-potensi ini tidak akan bisa berkhidmat secara maksimal kepadanya, hasilnya, batinnya akan menjadi buta, bisu, dan tuli.
Apabila mata dan telinga yang dimiliki oleh jiwa manusia tidak pernah melihat dan mendengar hakikat sedikitpun, dan hatinya tidak pernah berada dalam ketenangan dan tidak pernah menemukan sandaran pada hakikat tinggi makrifat, maka mata dan telinga manusia ini akan tetap buta dan tuli di dunia ini, sebagaimana orang hutan yang tetap dalam keadan bisu dan tuli karena dia tidak pernah bercakap dengan selainnya dan tidak pernah pula mendengar suara dari selainnya. Orang inipun di akhirat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan bisu dan tuli, dan al-Quran dengan seluruh perhatiannya mengajak manusia untuk menguatkan mata dan telinga batin ini.

Pada salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya”. [29]
Dan pada ayat lain berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”,[30]yaitu mata hati dan jiwanya telah buta sehingga ruh tidak mempunyai kekuatan untuk melihat hakikat. Hakikat makrifat tidak senantiasa bisa disaksikan dengan mata lahiriah, untuk memahaminya mata batin harus dalam keadaan terbuka untuk menerima dan memahami.

Pada ayat yang lain, Allah swt berfirman, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[31] Apabila kita telisik ayat di atas, apa sebenarnya maksud dari ibarat ini? Apakah maksudnya adalah bahwa setiap orang yang tidak mendapatkan karunia untuk melihat dunia dengan matanya, di akhirat pun tidak akan melihat apa-apa?

Jika demikian, maka seharusnya Abu Bashir yang buta, murid terbaik Imam Shadiq as, juga akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta? Tentu saja tidak, makna ayat tidaklah mengisyaratkan bahwa setiap orang yang di dunia ini tidak bisa menyaksikan benda-benda materi di sekitarnya dengan matanya, di akhiratpun akan menghadapi hal yang serupa.

Yang benar adalah bahwa setiap orang yang mata hati dan jiwanya tidak terbuka dan pemahaman serta pandangannya tidak melebihi tingkatan lahiriah bendawi, maka dia sama sekali tidak akan mampu membaca huruf-huruf dan rahasia eksistensi dan tidak memiliki pandangan yang mengandung ibrah terhadap dunia.
Ringkasnya, apabila seseorang tidak menemukan hubungan dengan batin alam, berarti dia buta, dan buta semacam ini akan mewujud di akhirat kelak, karena kiamat adalah “Hari ketika seluruh rahasia-rahasia tersingkap “.

Oleh karena itu, manusia harus hidup sedemikian rupa sehingga seluruh amal, perbuatan, dan tujuannya adalah untuk membuka mata dan telinga batin dan menemukan pandangan hakiki. Manusia harus mengarungi kehidupannya di bawah naungan wilayah Ilahi dan bimbingan Ahlulbait as sehingga akan terdapat perbedaan antara hari kelahiran dan kematiannya, yaitu apabila seseorang terlahir ke dunia dalam keadaan mata dan telinga yang tertutup, maka dia akan meninggalkan dunia dengan mata dan telinga yang terbuka sehingga akan dibangkitkan di alam akhirat dalam keadaan melihat.

Tentunya usaha dan upaya dalam wilayah ini membutuhkan kerja yang ekstra, dan Allah swt akan mempermudah keberhasilannya hamba-Nya yang berusaha untuk melakukah hal ini. Dari sini, Allah swt dalam al-Quran berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya “.[32]

Dalam hubungannya dengan bahasan kita, terdapat sebuah cerita yang dinukilkan dari Ayatullah Behjat, yang akan kami ceritakan untuk Anda secara ringkas. Di Masyhad, terdapat seorang lelaki buta yang hafal seluruh al-Quran. Keahlian orang ini adalah ketika seseorang meletakkan al-Quran di tangannya dan misalnya meminta kepadanya untuk menemukan ayat “Maka Apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?”[33], maka dia akan segera mengambil

Quran itu dan menunjukkan ayat sebagaimana yang dimaksud. Kadangkala sebagian orang yang ada disana dengan bergurau mengatakan bahwa engkau tidak menemukan ayat yang diinginkannya dan dia menjawab, berarti kalianlah yang buta.

Apakah ayat, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[34] berkaitan dengan orang semacam ini, ataukah berkaitan dengan seseorang yang memiliki dua mata indah yang menghiasi wajahnya, akan tetapi dia hanya menggunakannya untuk melihat kehidupan lahiriah dan mata hatinya tidak berhubungan dengan batin dan hakikat alam?

Pada surah Thahaa, Allah swt berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”[35].

Orang yang pada hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan buta akan mengatakan, “… padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat”, jelas, orang ini menyangka bahwa dirinya melihat dan dia mengkhayal bahwa yang dimaksud dengan penglihatan hanyalah bahwa manusia mampu menyaksikan benda-benda materi dalam batasan tertentu, sedangkan sebenarnya tidaklah demikian. Orang semacam ini sama sekali tidak mengetahui makna hakiki dari melihat dan bashirah, dia tidak memahami bahwa pada hakikatnya di dunia ini terdapat dua kebutaan, pertama tidak memiliki penglihatan fisikal, dan kedua tidak memiliki penglihatan jiwa.

Allah swt pada ayat yang lain dari al-Quran berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”[36].
Memperhatikan subyek ini, meniscayakan kepada kita untuk tidak melihat al-Quran hanya dari makna leksikalnya, melainkan al-Quran merupakan penjelas dari hakikat alam, al-Quran merupakan wujud kalimat dari eksistensi hakiki dan merupakan penerjemah realitas eksternal.
Ketika al-Quran berfirman, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup”[37], pada hakikatnya ayat ini menghikayatkan bagaimana eksistensi eksternal itu. Dan ketika berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”, inipun merupakan pembuka sebuah rangkaian aksi dan reaksi yang terjadi pada mekanisme orang-orang tertentu.

Dalam surah al-Mukmin, berfirman, “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (sama pula) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka”[38]. Pada awal ayat berfirman bahwa ‘buta’ dan ‘melihat’ tidaklah sama, kemudian melanjutkan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, berbeda dengan orang-orang yang durhaka.

Pada dasarnya, ayat ini meletakkan kebutaan secara berhadapan dengan iman dan amal shaleh, sedangkan para pendosa dan pelaku perbuatan-perbuatan yang tercela dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki ‘mata’. Maksudnya adalah bahwa iman dan amal shaleh adalah penerang yang akan menajamkan penglihatan sedangkan dosa dan maksiat akan menggelapkan dan membutakan penglihatan.  
Pada surah al-Baqarah, Allah berfirman, “Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itulah) mereka tidak mengerti”[39], sedangkan pada surah an-Naml, berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri”[40], kemudian pada surah Fushilat, berfirman, ” … dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka terdapat sumbatan, dan kedua mata mereka buta … “[41]
Ayat-ayat di atas, seluruhnya menyiratkan poin berikut bahwa manusia selain memiliki potensi lahiriah dan inderawi, mereka juga memiliki potensi batin dan spiritual. Letak poin tersebut di sini bahwa kemanusiaan manusia dan kebahagiaannya bergantung hingga sejauh mana dia menemukan pengenalan terhadap potensi-potensi internal jiwanya dan sejauh mana dia mampu memenuhi kebutuhan hakiki batinnya.
Dia harus meletakkan potensi-potensi ini dalam wilayah perhatiannya lalu mempersiapkan segala sesuatu yang bermanfaat dan menjadi nutrisi bagi batin, dan tidak menghalangi tumbuhnya potensi internal, membimbingnya ke arah yang benar untuk mencapai kesempurnaan hakikinya, sedangkan merendahkan mereka akan menyebabkan kerusakan dan turunnya derajat kemanusiaan, yang hal ini akan berlanjut pada kebutaan dan ketulian yang sama sekali tidak bisa diterima dan tidak pernah diinginkan oleh setiap manusia, dan keadaan seperti ini hanya akan mengantarkan pada kesedihan mendalam dan penyesalan yang tak berguna.

Allah berfirman, “Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya”[42].

[1] . Qs. Al-Maidah: 105.
[2] . Qs. Fushilat: 53.
[3] . Bagi kalian adalah jiwa-jiwa kalian sendiri.
[4] . Ghurar wa Durar, cetakan Yayasan A’lami Beirut, jilid 2, hal. 159.
[5] . Ibid.
[6] . Ibid, hal. 36.
[7] . Ibid, 8624.
[8] . Ibid, 2936.
[9] . Ibid, hal. 198.
[10] . Ghurar wa Durar Omadi.
[11] . Ibid.
[12] . Ibid.
[13] . Ibid.
[14] . Imam Ali as, Ghurar wa Durar, hal 36.
[15] . Ibid.
[16] . Ibid.
[17] . Ibid.
[18] . Ghurar wa Durar.
[19] . Ibid.
[20] . Ibid.
[21] . Ibid.
[22] . Ibid.
[23] . Ghurar wa Durar Omadi.
[24] . Nahjul Balaghah, khutbah 22.
[25] . Ayatullah Sayyed Muhammad Darceh-i adalah saudara laki-laki dan murid Almarhum Sayyed Muhammad Baqir Darceh-i, ustadz dan guru Ayatullah Burujerdi ra di Isfahan.
[26] . Qs. Al-Hasyr: 19.
[27] . Qs. Thahaa: 126.
[28] . Qs. Yunus: 23.
[29] . Qs. Al-An’am:104.
[30] . Qs. Hajj: 46.
[31] . Qs. Al-Israa: 72
[32] . Qs. Thalaaq: 2.
[33] . Qs. Az-Zukhruf:5.
[34] . Qs. Al-Israa: 72.
[35] . Qs. Thahaa: 124-126.
[36] . Qs. Muhammad: 23.
[37] . Qs. Anbiyaa: 30.
[38] . Qs. Al-Mukmin: 58.
[39] . Qs. Al-Baqarah: 171.
[40] . Qs. an-Naml 81.
[41] . Qs. Fushilat: 44.
[42] . Qs. As-Sajdah: 20.



Berdoa Tak Perlu Perantara



Sesungguhnya bukan kepada gambar Kabah di sajadah, kita bersujud. Tetapi kepada Alloh semata. Pun bukan pada nabi dan wali, apalagi pada batu-batu makam mereka, kita berdoa. Melainkan kepada Alloh. Tidak pula bergantung pada bilangan biji-biji tasbih yang diputar, kita memujiNya. Namun berdasarkan pada kerelaan kita mengucap segala puji itu. Jika pun ada yang kita harap, yang selayaknya diharapkan adalah keridhaan Alloh menerima sujud, doa, dan pujian kita yang rendah ini.

Alangkah tahu diri jika kita datang sendiri menghadap Sang Baginda Raja Segala Raja. Duduk bersimpuh, berurai air mata, menunduk penuh takut sekaligus penuh asa, mengaku berdosa, menyesalinya, dan mohon ampunan. Sebagaimana diajarkan dalam QS. Al A'raf: 55, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara lembut. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” sebaiknya kita menghadap dengan tenang dan tidak berisik. Pun tidak gegabah.

Manusiawi jika berharap ada sanak saudara, kerabat, kawan, sahabat, dan atau siapalah yang kita kenal bersedia untuk mendoakan kita. Tak dapat dipungkiri juga betapa mulia jika kita mendoakan mereka secara diam-diam, tak perlu diumumkan, sehingga kita selamat dari takabur, ujub, riya, dan entah apa namanya.

Lagipula, jika tanpa izinNya, tiadalah daya dan upaya untuk melakukan kebajikan. Doa terkabul juga bukan dikarenakan riwayat kebaikan siapa yang berdoa, bukan pula waktu dan tempatnya yang mustajab, namun semata karena Alloh berkehendak demikian. Dalam QS. Ar Ra'du: 14 jelas termaktub, “Hanya bagi Alloh-lah hak mengabulkan doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” Alloh penentu segala doa.

Alloh adalah Penguasa dan Pengatur Semesta Raya, tak terbatas ruang dan waktu. Alloh juga mendengar setiap doa. Bahkan, secara tegas, Alloh dalam QS. Al Baqarah:186 mengatakan, “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila memohon kepadaKu.” Inilah masalah mendasar dari doa yang tidak terkabul. Pertama, kita tidak merasa dekat pada Alloh, bahkan menjauh, atau mendekat jika dan hanya jika terjepit kenyataan pahit dan ingin menjerit. Kedua, kita meminta tidak langsung pada Alloh.

Kita suka mengurus sesuatu melalui perantara. Sampai-sampai untuk urusan bersedekah pun kita meminta fatwa dari ulama tentang apakah pengemis layak diberi duit. Sampai-sampai kita beranggapan sedekah via organisasi sedekah adalah lebih baik. Jasa penitipan doa berbayar muncul mewarnai fenomena menarik umat terbaik ini. Dengan mentransferkan sejumlah uang dan mengirimkan via surat elektronik apa-apa saja doa-doa yang dititipkan, kita bisa berdoa dari jauh. Seolah-olah Alloh itu berjarak.


Alloh Maha Mendengar dan Maha Melihat. Desir jantung dan kata hati saja tak luput dari pendengaranNya, serta bersitan pikiran dan senoktah rasa sombong di hati saja tampak jelas bagiNya, apalagi dalam urusan menerima doa dari hamba-hamba, tentu saja Dia tidak membutuhkan perantara. Bisikkan lirih ke lantai ketika kau bersujud, pun cukup. Doa itu akan sampai kepadaNya. Tiada penghalang bagiNya dari siapa pun. Tuhan juga tak perlu uang dari kita. []

Berdoa Secara Diam-diam



Imam Al-Harits Al-Muhasibi (165 H) menuturkan bahwa sesungguhnya Allah SWT sangat dekat dengan orang yang berdoa secara diam-diam.

“Sesungguhnya Allah yang sedang engkau ajak berbisik di waktu yang engkau inginkan; yang engkau mohon dalam munajat kepada-Nya kapan saja engkau mau. Engkau bisa beberkan semua rahasiamu kepada-Nya, tanpa khawatir diketahui orang lain. Dengan kebijaksanaan dan kelembutan-Nya,Dia (Allah) akan memperkenankan doamu kapan saja yang Dia kehendaki. Dialah yang Maha Bijaksana, Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu; Dialah yang selalu mengutamakanmu dan bersikap pemurah kepadamu tanpa batas waktu, atau perantara ataupun penentuan tempat.”

Allah SWT berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan untukmu.” (QS Al-Baqarah [2]: 60)

Pintu Allah selalu terbuka. Tanpa pengawal ataupun penjaga pintu. Dialah yang menjadi harapan dalam semua urusan. Seandainya engkau berharap kepada-Nya dalam kalbu pun, niscaya Dia memperkenankan juga. Tiada Tuhan selain Dia, maka jangan berharap kepada selain-Nya.”

-- Imam Harits Al-Muhasibi dalam Risalah Al-Mustarsyidin

Jumat, 21 Februari 2014

Pencari Al-Haq


Perjalanan panjang pemuda fakir mencari hakikat ketuhanan antara sadar dan terjaga. Dunia masih jua gulita. Secangkir iman masih belum ditemui, hati kosong tidak terisi. Ketika senja merangkak tiba, perjalanan pemuda fakir masih di situ, masih lemah dan kaku, tidak menentu, tiada arah dituju..

Bangunlah wahai jiwa, yang telah lama mati, perjalanan panjang masih menanti, carilah kiblatmu, carilah Tuhanmu, carilah imanmu, sebelum jasad bercerai dari badan, sebelum jasad terkubur lebur, di sini kita tak punya apa, iman dan amal penentu syurga, carilah ia walau di mana. Pemuda fakir masih terkaku. Di situ...

“Aku cari Tuhan di Mekah, aku tidak menemukan....
Aku cari Tuhan di Jerusalem, aku tidak menemukan....
Aku cari Tuhan di berbagai tempat suci, aku tidak menemukan....
Ketika aku duduk di rumah, aku menemukan Dia...”
-- Hamzah Fansuri

Sungguh proses pencarian Tuhan, yang di alami oleh Nabi Ibrahim pasti akan kita alami juga, sebagai umat Muhammad. Mari kita perhatikan perjuangan beliau dalam mencari Tuhan, dalam surat Al-An'am ayat 76 sampai 79. Alloh ta'ala berfirman;

76. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."

77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."

78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

79. Aku hadapkan wajah-ku kepada Alloh yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, mengikuti agama yang benar, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang musyik.

Ibrahim mencari Tuhan dengan pendekatan yang jujur dan rasional, sehingga datang gelap malam tak ada satu pun manusia yang berkutik, tidak ada yang memiliki kekuasaan lagi, semua kehidupan terhenti ketika datang gelap malam. Kesimpulannya manusia dan alam semesta ini ditaklukkan oleh gelap malam dan pada saat gelap itu nabi Ibrahim melihat sebuah bintang dan dia berkata inilah Tuhanku, tetapi bintang yang dipertuhankan itu lama kelamaan sirna. Dan Ibrahim melihat alternatif lain, ada bulan, inilah Tuhanku tapi bulan juga sirna.

Apa yang terjadi pada nabi Ibrahim? Ternyata dia gagal mencari Tuhannya. Dia gagal mencapai Tuhannya, dia tidak bisa meraih Tuhannya dengan indranya dengan matanya, telinganya, tangannya bahkan dengan fikirannya pun dia mencoba membayangkan macam apa wujud Tuhan, Ibrahim gagal.

Dan Nabi Ibrahim as, tetap dalam kepasrahan dan menyadari lalu tidak ada petunjuk dari Alloh, maka ia pun tidak bisa bertemu Tuhan. Ibrahim memang gagal mencapai Tuhannya dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Tetapi untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tak ada, justru pengalaman Ibrahim selama ini mengarahkan pada kesimpulan, mesti ada sesuatu yang mengendalikan alam ini, Tuhan itu mesti ada!

Akhirnya dia berkesimpulan, bahwa ada “sesuatu” di balik matahari, bulan, dan bintang. Sesuatu yang mengatur semuanya (Rabb). Sesuatu yang menciptakan semuanya (khaliq). Sesuatu yang dipatuhi oleh semuanya (Ilah). Sesuatu itu adalah Alloh Ta’ala, Alloh yang maha tinggi.

Sebagai umat Islam, Tuhan kita adalah Alloh, tapi sudahkah kita tahu siapa Tuhan kita yang bernama Alloh? Sebab Alloh itu bukan hanya sekedar Nama, tapi ada sifat, asma' dan af'alNya dan dzat-Nya. Jadi ternyata kita pun harus mengalami proses dalam mengenal Tuhan, seperti prosesnya Nabi Ibrahim as untuk mengenal Tuhan. Sudahkah hati dan diri kita bergerak untuk mengenal DIA?

Tidakkah kalau memikirkan indahnya bunga. Di sana, engkau akan temukan Tuhan. Tuhan yang melekat pada keindahan. Itulah Tuhan yang imanen.

Banyak orang memahami Tuhan yang transenden. Tuhan yang luar biasa. Tuhan yang serba maha.

Kalau engkau hanya melihat bunga, berarti engkau memang benar, sedang mencari Tuhan. Engkau masih tingkatan Musa, belum Khidzir. Masih syari’at, belum ma’rifat.

Sudahkan engkau temukan Tuhan sekarang?

Tuhan yang menyatu pada keindahan landskap alam. Tuhan pada oranye senja yang bercahaya. Tuhan pada beningnya air laut. Tuhan pada canda gurau anak-anak di sana.

Gunakan pengalaman batinmu. Engkau akan paham Tuhan.


"Awal" mengenal Alloh itu dengan akal, dengan selalu berpikir dan memikirkan kebesaran Alloh yang ada dalam segala ciptaan-Nya, lalu mentafakuri, dan memuji kebesaran dan keindahan Alloh dengan segala kuasa-Nya yang ada di dalam segala sesuatu.

Selanjutnya dengan Ilmu, dengan ilmu kita mencari cara untuk lebih dekat dan lebih dekat kepada Alloh, mencari ilmu bukan hanya untuk diketahui dan dipahami, akan tetapi untuk di amalkan dan di praktekkan, sehingga ilmu sendiri bukan hanya sekedar menjadi pemahaman akan tetapi menjadi laku.

Selanjutnya dengan hati, hati untuk menyaksikan dan bersaksi bahwa segala ciptaan dan segala sesuatu itu adalah bayang-bayangNya, tidak lain adalah sifat, asma, af'al dan dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Selanjutnya adalah dengan Ruh, Ruh inilah yang bergetar dalam hati bila disebut nama-Nya, yang bergetar karena adanya rasa rindu dan cinta kepada-Nya, Ruh ini yang mengikat jiwa, akal dan hati untuk selalu mencintai Alloh, beribadah karena cinta, shalat karena cinta, puasa karena cinta, shadaqah karena cinta, bukan hanya mencari rasa senang dan tenang, dan rasa-rasa yang lainya, dan biasnya akan mencintai dan mengasihi segala makluk-Nya.

Selanjutnya dengan Rasa (Sirr, Zauq), Sirr inilah yg melihat Alloh (melihat bukan dengan bentuk sosok, wujud dan warna, juga cahaya), akan tetapi getar rasa, dengan getar rasa inilah seseorang akan mengetahui sesuatu yang rahasia, mengetahui Wali-waliNya dan orang-orangNya, Sirr ini adalah tahapan (Mukasyafah).

Selanjutnya adalah dengan Nur, dan ANA. Dan dua tahapan ini tidak bisa membahasnya dengan kata-kata dan huruf, karena ini sudah pada tahapan rasa di atas rasa, rahasia di atas rahasia, carilah guru mursyid untuk menjelaskannya..

Dengan ketenangan jiwa, semua kegiatan yang kita lakukan dapat membantu merubah gerak gerik alam inderawi ke alam ketenangan, dari alam isra’ ke alam mi’raj, dari perjalanan malam gelap gulita kepada perjalanan naik ke tingkatan cahaya yang terang benderang.

Berada di singgahsana Ilahi adalah pencapaian maqam yang paling tinggi bagi semua agama yang bertujuan mencari Tuhan. Perjalanan ini bukanlan perjalanan dengan tubuh badan. Perjalanan ini hanyalah dapat dicapai dengan menghadirkan Rohani. Semoga Alloh memperkenalkan DIRI-NYA pada kita semua, amiiinnnn...

*Night Shift III, CPP Lab KPC*

Senin, 10 Februari 2014

Mahabbah dan Ibadah



Dengan menyebut Nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...

Imam Jakfar Ash-Shadiq mengatakan, “Bahwa dalam beribadah kepada Alloh akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Alloh karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Alloh kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Alloh karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Alloh karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Alloh swt.

“Cinta adalah 'sesuatu' yang dapat menimbulkan keadaan tercengang dalam kenikmatan serta kebingungan dalam pengagungan.”
-- As-syibli

“Cinta adalah buhulnya iman, dimana orang tidak akan sejahtera maupun selamat dari ancaman Alloh tanpa cinta. Maka hendaklah hamba itu berperilaku atas dasar cinta.”
-- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Harits Al-Muhasibi mengatakan, “Cinta itu rasa kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu. Kemudian, kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau terbuka. Lalu, pada saatnya, ia juga bisa memberitahu kepadamu tentang keteledoran cinta.”

Beberapa sufi lain menyebutkan; “Cinta juga laksana api dalam hati yang dapat membakar apa saja selain yang dicintai. Cinta itu mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu boleh berbuat apa saja yang dia mau.”

Ahmad An-Nuri mengatakan, “Cinta itu membuka tabir dan membuka semua rahasia.”

Junaid Al-Baghdadi menyebutkan, “Cinta itu berlebihan dalam kecenderungannya tanpa berharap mendapatkan sesuatu. Cinta itu kegelisahan dalam hati karena rasa jatuh cinta pada kekasih.”

“Cinta itu api, apapun yang dilewatinya akan terbakar, Cinta itu cahaya, apapun yang dikenainya akan bersinar, Cinta itu langit, apapun yang di bawahnya akan ditutupinya, Cinta itu angin, apapun yang ditiupnya akan digerakkannya, Cinta itu seperti air, dengannya hidup segalanya, seperti bumi, Cinta bisa menumbuhkan semuanya.”
-- Ali Bin Abi Thalib

Rasulullah Saw bersabda, “Hubbuka lisyaiin ya'ma wa yashummu - Cintamu pada sesuatu dapat membuatmu buta dan tuli. ” (HR. Ahmad)

Cinta!? Cinta dari manakah awal keberangkatan cinta itu sendiri?! Bila kau mencintai seseorang yang berwujud & berparas, akan mudah bagimu untuk menyatakannya. Bila cinta itu datang dari diri kita, dari nafsu dan keinginan kita, maka ia akan di nyatakan dengan kata-kata yang selalu membutuhkan pengakuan, yang sifatnya mengekang dan memenjarakan rasa dan jiwa.

Bilakah kau mencintai & menaruh cintamu pada Alloh, sedangkan Dia tak berparas & tak berwujud, karena Dia ada dalam semua paras dan semua wujud?!

Karena cinta yang berawal dari-Nya, akan bersifat seperti Dia, yang tak berhuruf tak berkata-kata tak berwujud dan berwarna, tapi ada dan nyata kehadiran-Nya. Cinta yang bersumber dari-Nya akan menjadi perbuatan yang menyenangkan, memperhatikan dan selalu memberi dengan penuh keridhaan..

Lalu, bagaimana dengan cintamu pada Alloh? Apakah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya itu merupakan salah satu wujud cinta kita?

Belum tentu! Tergantung niat kita, kita menjalankan perintah dengan rasa cinta atau mengharap pahala, atau kita menjauhi laranganya itu karena takut dosa atau karena cinta. Bila kau mencintai-Nya, maka lakukan segala perintah-Nya dengan rasa cinta, dan jauhi larangan-Nya dengan cinta pula, bukan karena sesuatu yang lain..

Itulah niat!

Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Alloh ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.

Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya, Fana!

Yang ada hanya Alloh ta’ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka.

Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan ‘rembesan’ dari sebuah niat batin yang naik ke jasad sehingga terlafalkan.

Bukan sebaliknya.

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Alloh ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.
                          
“Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.

Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul ‘Aziz: “Ketahuilah wahai Umar, bahwasannya bantuan Alloh kepada seorang hamba berdasar atas niatnya. Maka barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula bantuan Alloh kepadanya.”

Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Alloh ta’ala.

“Setiap hamba punya syarat. Setiap iman punya hakikat, apakah hakikat iman anda?”

Rabi’ah menjawab, “Saya menyembah Alloh bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran ingin surga, agar tidak seperti budak hina yang di upah. Akan tetapi aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Cinta itu adalah anugerah terindah dari Alloh, anugerah berarti pemberian langsung dari Alloh, kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki, cinta itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan atau dicapai oleh jiwa manusia. Cinta itu adalah "keindahan Tuhan - Jamal Alloh", yang di dhahirkan pada jiwa hamba-Nya.

Para pecinta Alloh, membawa kebesaran cinta kasih Alloh di dunia ini dan akherat kelak, seperti sabda Rasulullah, “Seseorang itu akan bersama-sama dengan yang dicintainya". Karena itu bagi sang pecinta, ia selalu bersama Alloh di dunia dan akherat, dan orang-orang yang bersama Alloh tidak mungkin akan berbuat dosa, karena segala sesuatunya selalu dalam penjagaan-Nya.”

Dan Syekh Yahya bin Muadz Al-razi mengatakan,
“Cinta yang suci dan sejati tidak akan pernah berkurang karena ketidak baikan, ataupun akan bertambah karena kebaikan atau kemurahan.”

Karena di dalam cinta, kebaikan dan ketidak-baikan adalah sebab dan akibat, sedangkan cinta sendiri itu datang tidak kerena adanya sebab dan akibat, dan sebab dan akibat itu akan menjadi hilang bila cinta telah bertandang. Seorang pecinta akan merasa senang bila menderita karena disebabkan oleh yang dicintainya, dan karena cinta pula dia menganggap antara kebaikan dan keburukan menjadi sama kadarnya..

Cinta yang sejati dan tulus, akan membawa diri kita pada keindahan yang dicinta-nya. Dirinya sendiri akan lenyap segala kepentingan-nya, segala sifat-sifatnya, dan perkataan dan perbuatanya, akan sirna kedalam keindahan yang dicintainya, dia melakukan segala sesuatu tergantung kepada keindahan yang dicintanya, sehingga apapun yang dia lakukan adalah sebagai wujud dari keindahan cinta yang dicintai-nya. Dan dalam menuju jalan Alloh, cinta adalah merupakan dasar dan prinsip yang harus dimiliki oleh para pejalan menuju-Nya, bahwa setiap hal atau keberadaan "maqam" menuju jalan-Nya, adalah merupakan tingkatan" cinta. Tiada sebuah "maqam" atau kedudukan disisi-Nya, selain dari kadar rasa cinta-nya kepada Sang Sumber Segala Cinta..

Cinta yang dibangun karena cinta kepada Alloh, akan terasa menentramkan jiwa, bersifat membangun dan memperbaiki jiwa agar semakin dekat kepada-Nya. Tapi kadang kita tak bersyukur dengan segala rasa cinta yang ada, sering kali bermain-main dengan rasa cinta, hingga melukai sesamanya, dan bila rasa cinta itu dibangun dengan nafsu keindahan tubuh semata, maka rasa gelisah dan tak nyaman pasti selalu ada. Lalu mengapa tak jua mensyukuri cinta yang ada?!

Kita ada berawal dari cinta, dan sudah sepatutnya dengan cinta pula kita kembali kepada-Nya. Dan rentang waktu antara awal dan akhir perjalanan kita, seyogyanya di isi dengan penuh rasa cinta, agar keberadaan kita selalu diselimuti rasa cinta, sehingga apapun yang ada disekitar kita, yang kita pandang, yang kita dengar dan yang kita perbuat semua terbias oleh cinta yg terpancar dari dalam jiwa kita. Begitu Indah, bila kita tahu siapa diri kita sesungguhnya, diri kita adalah cinta itu sendiri, berasal dari cinta, berawal dari cinta, mengisi hari-hari dengan cinta dan berakhir pada cinta itu sendiri. Diri kita dari Nur Muhammad, Nur Muhammad adalah manifestasi dari segala cinta, Nur Muhammad dari Alloh, sedangkan Alloh itu adalah sumber dari segala cinta.

Bicara tentang cinta, adalah bicara tentang rasa dan perasaan, yang merupakan unsur yang paling halus dan lembut dalam diri kita, lebih halus dan lembut dari Ruh dan Hati kita. Maka dari itu bersikaplah penuh rasa cinta kepada semua makluk yang di Bumi, maka makluk yang dilangitpun akan bersikap penuh cinta kepada kita. Sudahkah kita mengenal diri kita sendiri?! Dan sudahkah saling berbagi dengan cinta itu sendiri?!

Segala perbuatan dan ibadah yang kita kerjakan, tanpa di dasari adanya rasa cinta di dalamnya, ibarat bunga tak berbuah. Baik itu berbuat kepada sesama dan beribadah kepada Alloh. Sebaiknya, awali dengan rasa cinta dulu, baru berbuatlah dan beribadahlah, agar kita bisa merasakan buah dari padanya. "Rahmatan lil 'alamin" bisa di tumbuhkan..apa bila segala sesuatunya di dasari dgn rasa cinta..

*Tabik!