Senin, 10 Februari 2014

Mahabbah dan Ibadah



Dengan menyebut Nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...

Imam Jakfar Ash-Shadiq mengatakan, “Bahwa dalam beribadah kepada Alloh akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Alloh karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Alloh kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Alloh karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Alloh karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Alloh swt.

“Cinta adalah 'sesuatu' yang dapat menimbulkan keadaan tercengang dalam kenikmatan serta kebingungan dalam pengagungan.”
-- As-syibli

“Cinta adalah buhulnya iman, dimana orang tidak akan sejahtera maupun selamat dari ancaman Alloh tanpa cinta. Maka hendaklah hamba itu berperilaku atas dasar cinta.”
-- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Harits Al-Muhasibi mengatakan, “Cinta itu rasa kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu. Kemudian, kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau terbuka. Lalu, pada saatnya, ia juga bisa memberitahu kepadamu tentang keteledoran cinta.”

Beberapa sufi lain menyebutkan; “Cinta juga laksana api dalam hati yang dapat membakar apa saja selain yang dicintai. Cinta itu mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu boleh berbuat apa saja yang dia mau.”

Ahmad An-Nuri mengatakan, “Cinta itu membuka tabir dan membuka semua rahasia.”

Junaid Al-Baghdadi menyebutkan, “Cinta itu berlebihan dalam kecenderungannya tanpa berharap mendapatkan sesuatu. Cinta itu kegelisahan dalam hati karena rasa jatuh cinta pada kekasih.”

“Cinta itu api, apapun yang dilewatinya akan terbakar, Cinta itu cahaya, apapun yang dikenainya akan bersinar, Cinta itu langit, apapun yang di bawahnya akan ditutupinya, Cinta itu angin, apapun yang ditiupnya akan digerakkannya, Cinta itu seperti air, dengannya hidup segalanya, seperti bumi, Cinta bisa menumbuhkan semuanya.”
-- Ali Bin Abi Thalib

Rasulullah Saw bersabda, “Hubbuka lisyaiin ya'ma wa yashummu - Cintamu pada sesuatu dapat membuatmu buta dan tuli. ” (HR. Ahmad)

Cinta!? Cinta dari manakah awal keberangkatan cinta itu sendiri?! Bila kau mencintai seseorang yang berwujud & berparas, akan mudah bagimu untuk menyatakannya. Bila cinta itu datang dari diri kita, dari nafsu dan keinginan kita, maka ia akan di nyatakan dengan kata-kata yang selalu membutuhkan pengakuan, yang sifatnya mengekang dan memenjarakan rasa dan jiwa.

Bilakah kau mencintai & menaruh cintamu pada Alloh, sedangkan Dia tak berparas & tak berwujud, karena Dia ada dalam semua paras dan semua wujud?!

Karena cinta yang berawal dari-Nya, akan bersifat seperti Dia, yang tak berhuruf tak berkata-kata tak berwujud dan berwarna, tapi ada dan nyata kehadiran-Nya. Cinta yang bersumber dari-Nya akan menjadi perbuatan yang menyenangkan, memperhatikan dan selalu memberi dengan penuh keridhaan..

Lalu, bagaimana dengan cintamu pada Alloh? Apakah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya itu merupakan salah satu wujud cinta kita?

Belum tentu! Tergantung niat kita, kita menjalankan perintah dengan rasa cinta atau mengharap pahala, atau kita menjauhi laranganya itu karena takut dosa atau karena cinta. Bila kau mencintai-Nya, maka lakukan segala perintah-Nya dengan rasa cinta, dan jauhi larangan-Nya dengan cinta pula, bukan karena sesuatu yang lain..

Itulah niat!

Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Alloh ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.

Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya, Fana!

Yang ada hanya Alloh ta’ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka.

Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan ‘rembesan’ dari sebuah niat batin yang naik ke jasad sehingga terlafalkan.

Bukan sebaliknya.

Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Alloh ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.
                          
“Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.

Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul ‘Aziz: “Ketahuilah wahai Umar, bahwasannya bantuan Alloh kepada seorang hamba berdasar atas niatnya. Maka barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula bantuan Alloh kepadanya.”

Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Alloh ta’ala.

“Setiap hamba punya syarat. Setiap iman punya hakikat, apakah hakikat iman anda?”

Rabi’ah menjawab, “Saya menyembah Alloh bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran ingin surga, agar tidak seperti budak hina yang di upah. Akan tetapi aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Cinta itu adalah anugerah terindah dari Alloh, anugerah berarti pemberian langsung dari Alloh, kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki, cinta itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan atau dicapai oleh jiwa manusia. Cinta itu adalah "keindahan Tuhan - Jamal Alloh", yang di dhahirkan pada jiwa hamba-Nya.

Para pecinta Alloh, membawa kebesaran cinta kasih Alloh di dunia ini dan akherat kelak, seperti sabda Rasulullah, “Seseorang itu akan bersama-sama dengan yang dicintainya". Karena itu bagi sang pecinta, ia selalu bersama Alloh di dunia dan akherat, dan orang-orang yang bersama Alloh tidak mungkin akan berbuat dosa, karena segala sesuatunya selalu dalam penjagaan-Nya.”

Dan Syekh Yahya bin Muadz Al-razi mengatakan,
“Cinta yang suci dan sejati tidak akan pernah berkurang karena ketidak baikan, ataupun akan bertambah karena kebaikan atau kemurahan.”

Karena di dalam cinta, kebaikan dan ketidak-baikan adalah sebab dan akibat, sedangkan cinta sendiri itu datang tidak kerena adanya sebab dan akibat, dan sebab dan akibat itu akan menjadi hilang bila cinta telah bertandang. Seorang pecinta akan merasa senang bila menderita karena disebabkan oleh yang dicintainya, dan karena cinta pula dia menganggap antara kebaikan dan keburukan menjadi sama kadarnya..

Cinta yang sejati dan tulus, akan membawa diri kita pada keindahan yang dicinta-nya. Dirinya sendiri akan lenyap segala kepentingan-nya, segala sifat-sifatnya, dan perkataan dan perbuatanya, akan sirna kedalam keindahan yang dicintainya, dia melakukan segala sesuatu tergantung kepada keindahan yang dicintanya, sehingga apapun yang dia lakukan adalah sebagai wujud dari keindahan cinta yang dicintai-nya. Dan dalam menuju jalan Alloh, cinta adalah merupakan dasar dan prinsip yang harus dimiliki oleh para pejalan menuju-Nya, bahwa setiap hal atau keberadaan "maqam" menuju jalan-Nya, adalah merupakan tingkatan" cinta. Tiada sebuah "maqam" atau kedudukan disisi-Nya, selain dari kadar rasa cinta-nya kepada Sang Sumber Segala Cinta..

Cinta yang dibangun karena cinta kepada Alloh, akan terasa menentramkan jiwa, bersifat membangun dan memperbaiki jiwa agar semakin dekat kepada-Nya. Tapi kadang kita tak bersyukur dengan segala rasa cinta yang ada, sering kali bermain-main dengan rasa cinta, hingga melukai sesamanya, dan bila rasa cinta itu dibangun dengan nafsu keindahan tubuh semata, maka rasa gelisah dan tak nyaman pasti selalu ada. Lalu mengapa tak jua mensyukuri cinta yang ada?!

Kita ada berawal dari cinta, dan sudah sepatutnya dengan cinta pula kita kembali kepada-Nya. Dan rentang waktu antara awal dan akhir perjalanan kita, seyogyanya di isi dengan penuh rasa cinta, agar keberadaan kita selalu diselimuti rasa cinta, sehingga apapun yang ada disekitar kita, yang kita pandang, yang kita dengar dan yang kita perbuat semua terbias oleh cinta yg terpancar dari dalam jiwa kita. Begitu Indah, bila kita tahu siapa diri kita sesungguhnya, diri kita adalah cinta itu sendiri, berasal dari cinta, berawal dari cinta, mengisi hari-hari dengan cinta dan berakhir pada cinta itu sendiri. Diri kita dari Nur Muhammad, Nur Muhammad adalah manifestasi dari segala cinta, Nur Muhammad dari Alloh, sedangkan Alloh itu adalah sumber dari segala cinta.

Bicara tentang cinta, adalah bicara tentang rasa dan perasaan, yang merupakan unsur yang paling halus dan lembut dalam diri kita, lebih halus dan lembut dari Ruh dan Hati kita. Maka dari itu bersikaplah penuh rasa cinta kepada semua makluk yang di Bumi, maka makluk yang dilangitpun akan bersikap penuh cinta kepada kita. Sudahkah kita mengenal diri kita sendiri?! Dan sudahkah saling berbagi dengan cinta itu sendiri?!

Segala perbuatan dan ibadah yang kita kerjakan, tanpa di dasari adanya rasa cinta di dalamnya, ibarat bunga tak berbuah. Baik itu berbuat kepada sesama dan beribadah kepada Alloh. Sebaiknya, awali dengan rasa cinta dulu, baru berbuatlah dan beribadahlah, agar kita bisa merasakan buah dari padanya. "Rahmatan lil 'alamin" bisa di tumbuhkan..apa bila segala sesuatunya di dasari dgn rasa cinta..

*Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar