Dengan menyebut Nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang...
Imam Jakfar Ash-Shadiq mengatakan, “Bahwa dalam beribadah kepada Alloh akan ditemui tiga macam bentuk:
Pertama, kaum yang menyembah Alloh karena takut. Yang demikian itu adalah
ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Alloh kerena untuk mengharapkan
imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang
menyembah Alloh karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya
orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa
menyembah Alloh karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari
ridha Alloh swt.”
“Cinta
adalah 'sesuatu' yang dapat menimbulkan keadaan tercengang dalam kenikmatan serta
kebingungan dalam pengagungan.”
-- As-syibli
“Cinta adalah buhulnya
iman, dimana orang tidak akan sejahtera maupun selamat dari ancaman Alloh tanpa
cinta. Maka hendaklah hamba itu berperilaku atas dasar cinta.”
-- Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Harits Al-Muhasibi mengatakan, “Cinta itu rasa kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu
engkau lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu.
Kemudian, kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau terbuka.
Lalu, pada saatnya, ia juga bisa memberitahu kepadamu tentang keteledoran
cinta.”
Beberapa sufi lain menyebutkan; “Cinta juga laksana api dalam hati yang dapat membakar apa saja selain
yang dicintai. Cinta itu mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu
boleh berbuat apa saja yang dia mau.”
Ahmad An-Nuri mengatakan, “Cinta itu membuka tabir dan membuka semua rahasia.”
Junaid Al-Baghdadi menyebutkan, “Cinta itu berlebihan dalam kecenderungannya tanpa berharap mendapatkan
sesuatu. Cinta itu kegelisahan dalam hati karena rasa jatuh cinta pada
kekasih.”
“Cinta itu api, apapun
yang dilewatinya akan terbakar, Cinta itu cahaya, apapun yang dikenainya akan
bersinar, Cinta itu langit, apapun yang di bawahnya akan ditutupinya, Cinta itu
angin, apapun yang ditiupnya akan digerakkannya, Cinta itu seperti air,
dengannya hidup segalanya, seperti bumi, Cinta bisa menumbuhkan semuanya.”
-- Ali Bin Abi Thalib
Rasulullah Saw bersabda, “Hubbuka
lisyaiin ya'ma wa yashummu - Cintamu pada sesuatu dapat membuatmu buta dan
tuli. ” (HR. Ahmad)
Cinta!? Cinta dari manakah awal keberangkatan cinta itu
sendiri?! Bila kau mencintai seseorang yang berwujud & berparas, akan mudah
bagimu untuk menyatakannya. Bila cinta itu datang dari diri kita, dari nafsu
dan keinginan kita, maka ia akan di nyatakan dengan kata-kata yang selalu
membutuhkan pengakuan, yang sifatnya mengekang dan memenjarakan rasa dan jiwa.
Bilakah kau mencintai & menaruh cintamu pada Alloh,
sedangkan Dia tak berparas & tak berwujud, karena Dia ada dalam semua paras
dan semua wujud?!
Karena cinta yang berawal dari-Nya, akan bersifat seperti
Dia, yang tak berhuruf tak berkata-kata tak berwujud dan berwarna, tapi ada dan
nyata kehadiran-Nya. Cinta yang bersumber dari-Nya akan menjadi perbuatan yang
menyenangkan, memperhatikan dan selalu memberi dengan penuh keridhaan..
Lalu, bagaimana dengan cintamu pada Alloh? Apakah dengan
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya itu merupakan salah satu
wujud cinta kita?
Belum tentu! Tergantung niat kita, kita menjalankan perintah
dengan rasa cinta atau mengharap pahala, atau kita menjauhi laranganya itu
karena takut dosa atau karena cinta. Bila kau mencintai-Nya, maka lakukan
segala perintah-Nya dengan rasa cinta, dan jauhi larangan-Nya dengan cinta
pula, bukan karena sesuatu yang lain..
Itulah niat!
Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan
niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka
masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!
Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah
‘penghubungan diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan
kepada Alloh ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu
di alam semesta demi harapan kita itu.
Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun
ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya.
Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka
sendiri pun lenyap dalam shalatnya, Fana!
Yang ada hanya Alloh ta’ala, dan diri-diri mereka pun
hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan
satu demi satu ke arah Tuhan mereka.
Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri.
Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara
batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat,
seharusnya merupakan ‘rembesan’ dari sebuah niat batin yang naik ke jasad
sehingga terlafalkan.
Bukan sebaliknya.
Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan
diri’ kepada Alloh, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Alloh
ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam
semesta demi harapan kita itu.
“Manusia hanya
mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.
Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul
‘Aziz: “Ketahuilah wahai Umar,
bahwasannya bantuan Alloh kepada seorang hamba berdasar atas niatnya. Maka
barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula
bantuan Alloh kepadanya.”
Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya
layak kita persembahkan pada Alloh ta’ala.
“Setiap hamba punya
syarat. Setiap iman punya hakikat, apakah hakikat iman anda?”
Rabi’ah menjawab, “Saya
menyembah Alloh bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku
seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran ingin
surga, agar tidak seperti budak hina yang di upah. Akan tetapi aku
menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
Cinta itu adalah anugerah terindah dari Alloh, anugerah
berarti pemberian langsung dari Alloh, kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki,
cinta itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan atau dicapai oleh jiwa manusia.
Cinta itu adalah "keindahan Tuhan - Jamal Alloh", yang di dhahirkan pada
jiwa hamba-Nya.
Para pecinta Alloh, membawa kebesaran cinta kasih Alloh di
dunia ini dan akherat kelak, seperti sabda Rasulullah, “Seseorang itu akan bersama-sama dengan yang dicintainya". Karena
itu bagi sang pecinta, ia selalu bersama Alloh di dunia dan akherat, dan
orang-orang yang bersama Alloh tidak mungkin akan berbuat dosa, karena segala
sesuatunya selalu dalam penjagaan-Nya.”
Dan Syekh Yahya bin Muadz Al-razi mengatakan,
“Cinta yang suci dan
sejati tidak akan pernah berkurang karena ketidak baikan, ataupun akan
bertambah karena kebaikan atau kemurahan.”
Karena di dalam cinta, kebaikan dan ketidak-baikan adalah
sebab dan akibat, sedangkan cinta sendiri itu datang tidak kerena adanya sebab
dan akibat, dan sebab dan akibat itu akan menjadi hilang bila cinta telah
bertandang. Seorang pecinta akan merasa senang bila menderita karena disebabkan
oleh yang dicintainya, dan karena cinta pula dia menganggap antara kebaikan dan
keburukan menjadi sama kadarnya..
Cinta yang sejati dan tulus, akan membawa diri kita pada
keindahan yang dicinta-nya. Dirinya sendiri akan lenyap segala kepentingan-nya,
segala sifat-sifatnya, dan perkataan dan perbuatanya, akan sirna kedalam
keindahan yang dicintainya, dia melakukan segala sesuatu tergantung kepada
keindahan yang dicintanya, sehingga apapun yang dia lakukan adalah sebagai
wujud dari keindahan cinta yang dicintai-nya. Dan dalam menuju jalan Alloh,
cinta adalah merupakan dasar dan prinsip yang harus dimiliki oleh para pejalan
menuju-Nya, bahwa setiap hal atau keberadaan "maqam" menuju
jalan-Nya, adalah merupakan tingkatan" cinta. Tiada sebuah
"maqam" atau kedudukan disisi-Nya, selain dari kadar rasa cinta-nya
kepada Sang Sumber Segala Cinta..
Cinta yang dibangun karena cinta kepada Alloh, akan terasa
menentramkan jiwa, bersifat membangun dan memperbaiki jiwa agar semakin dekat
kepada-Nya. Tapi kadang kita tak bersyukur dengan segala rasa cinta yang ada,
sering kali bermain-main dengan rasa cinta, hingga melukai sesamanya, dan bila
rasa cinta itu dibangun dengan nafsu keindahan tubuh semata, maka rasa gelisah
dan tak nyaman pasti selalu ada. Lalu mengapa tak jua mensyukuri cinta yang
ada?!
Kita ada berawal dari cinta, dan sudah sepatutnya dengan
cinta pula kita kembali kepada-Nya. Dan rentang waktu antara awal dan akhir
perjalanan kita, seyogyanya di isi dengan penuh rasa cinta, agar keberadaan
kita selalu diselimuti rasa cinta, sehingga apapun yang ada disekitar kita,
yang kita pandang, yang kita dengar dan yang kita perbuat semua terbias oleh
cinta yg terpancar dari dalam jiwa kita. Begitu Indah, bila kita tahu siapa
diri kita sesungguhnya, diri kita adalah cinta itu sendiri, berasal dari cinta,
berawal dari cinta, mengisi hari-hari dengan cinta dan berakhir pada cinta itu
sendiri. Diri kita dari Nur Muhammad, Nur Muhammad adalah manifestasi dari
segala cinta, Nur Muhammad dari Alloh, sedangkan Alloh itu adalah sumber dari
segala cinta.
Bicara tentang cinta, adalah bicara tentang rasa dan
perasaan, yang merupakan unsur yang paling halus dan lembut dalam diri kita,
lebih halus dan lembut dari Ruh dan Hati kita. Maka dari itu bersikaplah penuh
rasa cinta kepada semua makluk yang di Bumi, maka makluk yang dilangitpun akan
bersikap penuh cinta kepada kita. Sudahkah kita mengenal diri kita sendiri?!
Dan sudahkah saling berbagi dengan cinta itu sendiri?!
Segala perbuatan dan ibadah yang kita kerjakan, tanpa di
dasari adanya rasa cinta di dalamnya, ibarat bunga tak berbuah. Baik itu
berbuat kepada sesama dan beribadah kepada Alloh. Sebaiknya, awali dengan rasa
cinta dulu, baru berbuatlah dan beribadahlah, agar kita bisa merasakan buah
dari padanya. "Rahmatan lil 'alamin" bisa di tumbuhkan..apa bila
segala sesuatunya di dasari dgn rasa cinta..
*Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar