“Tiada sholat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’.
Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia.
Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya.
Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’.
Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi.”
-- Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah
Diriwayatkan dari sebagian isteri-isteri Nabi SAW bahwa suatu hari kami sedang asyik berbincang-bincang dengan beliau, begitu datang waktu shalat seakan-akan kami tidak saling mengenal dan satu sama lain sibuk dengan dirinya sendiri untuk menghadap Al-Haq.
Sayyidina Ali ketika sudah masuk waktu shalat tampak gelisah dan goncang, beliaupun ditanya oleh sahabatnya; “Ada apakah gerangan yang membuat anda gelisah dan risau?”
Beliau menjawab;
“Telah datang waktu amanat yang Alloh tawarkan kepada semua langit dan bumi namun mereka semua menolak untuk mengemban amanat tersebut.”
Dalam kondisi lain ketika siap untuk berwudhu wajah beliau berubah menjadi pucat. Hal ini ditanyakan oleh sahabat beliau dan dalam jawabannya beliau berkata; “Tidakkah kau mengerti di hadapan siapakah aku akan berdiri?”
*Kisah tentang dicabutnya panah dari kaki Imam Ali As pada waktu sholat.
Kisah ini banyak disebutkan dan dinukil pada literatur hadis dengan nukilan dan kutipan yang beragam. Meski literatur-literatur dan buku-buku yang mengutip kisah ini tidak termasuk sebagai literatur dan buku derajat pertama, namun perlu diingat bahwa pertama, kisah ini disebutkan dalam beragam literatur, baik literatur Syiah atau pun Sunni; seperti Irsyâd al-Qulûb Dailâmi, al-Anwâr al-Nu’mâniyah, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, Hilyat al-Abrâr, Muntahâ al-Âmal, al-Mahajjat al-Baidhâ demikian juga pada buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqâ. [1]
Kedua, para penyusun buku dan periwayat kisah ini adalah ulama popular dan telah dikenal. Ketiga, kandungan kisah ini tidak bertentangan dengan akal dan riwayat, bahkan akal dan riwayat justru mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini; karena itu, menurut hemat kami, tidak ada masalah menjelaskan inti peristiwa ini berdasarkan kriteria-kriteria dan standar-standar ilmiah riwayat.
Dalam menjelaskan pandangan rasional masalah ini terdapat dua dalil yang dapat disebutkan:
1. Di antara tipologi dan karakter penting Ali bin Abi Thalib As adalah gemar dan cinta pada ibadah sedemikian sehingga Ibnu Abi al-Hadid Mu’tazilidalam Syarh Nahj al-Balâghah menulis, “Baginda Ali adalah orang yang paling abid dalam urusan ibadah; salat dan puasanya lebih banyak dari kebanyakan orang. Orang-orang belajar darinya salat malam dan dzikir-dzikir serta amalan-amalan mustahab.” [2]
Imam Ali As sedemikian khusyu dalam ibadah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya pada AllohSwt sehingga untuk mengeluarkan anak panah yang menghujam di kakinya pada perang Shiffin dan tidak mampu dicabut dari kakinya dalam kondisi normal, maka pada waktu salat, dalam kondisi sujud anak panah itu dicabut dari kakinya. Tatkala Imam Ali As usai menunaikan salat, beliau sadar bahwa anak panah telah dicabut dari kakinya. Beliau bersumpah bahwa ia tidak merasakan bagaimana anak panah itu dicabut; [3] Mengingat bahwa salat adalah tiang agama, pilar mikraj dan munajat maka orang yang mengerjakan salat sejatinya berada dalam kondisi ‘uruj (melesak) menuju Alloh Swt dan berbisik-bisik dengan-Nya. Karena itu, mata, telinga, tangan dan kaki seluruhnya dalam kekuasaan Alloh Swt dan tidak berada dalam kekuasaan orang yang mengerjakan salat.
Di samping itu, iman Ali bin Abi Thalib adalah iman yang berdasarkan pada pengenalan hakiki dan memandang ibadah kepada Tuhan sebagai ziarahnya demikian juga salat sebagai bukti-bukti Ilahi dan ziarah kepada Tuhan. Imam Ali Abin Thalib memandang Tuhan sebagai kieindahan mutlak. Karena itu, tentu saja beliau tidak lagi melihat dirinya. Imam Ali As menyembah Tuhan dalam kondisi merdeka dan terlepas dari segala bentuk keterikatan dan ketergantungan pada selain-Nya. [4]
2. Pelbagai kondisi para nabi, para imam dan para wali Allah dalam salat tidak semuanya harus sama. Terkadang dengan menjaga kehadiran hati (hudhur al-qalb), mereka juga tetap menaruh perhatian terhadap alam majemuk (dunia) dan pelbagai manifestasi material. Mereka tidak melalaikan hal ini. Apabila terjadi sebuah masalah, mereka menunjukkan reaksi apabila diperlukan. Dan terkadang mereka tenggelam dalam samudera alam malakut dan tidak melihat segala sesuatu selain Zat Suci Alloh Swt. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan mereka sama sekali melupakan badannya sendiri sehingga seolah-olah panca indra mereka tidak lagi berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Mereka tidak merasakan segala sesuatu yang berhubungan dengan badan. Ditariknya anak panah yang menancap di kaki Imam Ali As pada waktu salat dalam kondisi sujud juga demikian adanya. [5]
Karena itu, dengan memperhatikan nukilan dan riwayat yang beragam dalam masalah ini yang sebagian secara lahir terasa aroma ghuluw (kecendrungan mendudukan Imam Ali pada maqam rububiyah) namun hal itu tidak akan menciderai inti kejadian kisah ini. Dan nampaknya inti cerita adalah yang disebutkan pada buku Syarh Nahj al-Balâghah dan Hayât-e Ârifân-e Imam Ali As sebagaimana yang telah kami jelaskan pada penjelasan bagian pertama di atas.
Kisah ini, tidak hanya tidak akan mendegradasi kedudukan dan derajat Imam Ali As bahkan akan menyebabkan pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali As; karena sebagaimana para wanita Mesir yang terpesona dan fana ketika menyaksikan paras rupawan Nabi Yusuf As sehingga tanpa sadar mereka memotong jari-jari mereka sendiri, kisah Imam Ali As juga demikian adanya. Karena Imam Ali As hanya melihat keindahan mutlak, sedemikian apa adanya sehingga seluruh anggota badannya tidak dirasakan dan sepenuhnya berada dalam wewenang Ilahi. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali tidak lagi melihat dirinya dan menaruh perhatian terhadap kemilau dunia.Dengan demikian, wajar ketika anak panah itu dicabut dari kaki Imam Ali dalam kondisi sujud, Imam Ali As tidak merasakan apa pun.
Catatan;
[1]. Dailami, Irsyâd al-Qulûb, jil. 2, hal. 25 & 26, Intisyarat-e Nashir, Qum, Cetakan Pertama, 1376 S. Sayid Ni’matullah Jazairi, al-Anwâr al-Nu’maniyah, jil. 2, hal. 371, Syerkat Cap Tabriz; Muhammad Saleh Kasyfi Hanafi, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, hal. 364. Sayid Hasyim Bahrani, Hilyat al-Abrâr, jil. 2, hal. 180; Syaikh Abbas Qummi, Muntahâal-Âmal, hal. 181, Capkhane Ahmadi, Cetakan Kesembilan, 1377; Faidh Kasyani,al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 1, hal. 397 & 398, Beirut; Anwâr al-Nu’mâniyah, hal. 342. Demikian juga buku-buku fikih sepertial-Urwat al-Wutsqâ, Muhammad Kazhim Yazdi, Ibadat, Bab al-Shalat.
[2]. Abdul Hamid ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 27, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
[3]. Habibullah Khui, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 8, hal. 152; Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e‘Ârifân-e Imâm‘Ali As, hal. 63 & 64. Markaz Intisyarat-e Isra, Cetakan Keempat, 1385; referensi-referensi yang disebutkan pada catatan kaki No. 1.
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e‘Ârifân-e Imâm‘Ali As, hal. 62 & 64, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.
[5]. Disadur dari Hayât-e‘Ârifân-e Imâm‘Ali As, hal. 62 & 64; Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, Qum, Sadra, Cetakan Keempat, 1365 S, hal. 180-181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar