Selasa, 31 Desember 2013

Nasiri Khusraw; Kenali Dirimu!



Kenali dirimu
Kalau kau paham dirimu sendiri,
Kan bisa kau pisahkan
yang kotor dari yang suci
Pertama, akrablah dengan dirimu
lalu jadilah pembimbing lingkunganmu
Kalau kau kenal dirimu, kau kan tahu segalanya
Kalau kau paham dirimu, kau kan lepas dari bencana
Kau tak tahu nilaimu sendiri
Sebab kau tetap begini

Akan kau lihat Tuhan, kalau kau kenal dirimu sendiri

Langit yang tujuh,
dan bintang yang tujuh
adalah budakmu
Namun kasihan,
kau tetap membudak pada ragamu

Jangan pusingkan kenikmatan hewani
Kalau kau pencari surgawi
Jadilah manusia yang sejati

Tinggalkan tidur dan pesta ria
Tempuhlah perjalanan batin bak pertapa
Apa pula tidur dan makan-makan?
Itu urusan binatang buas

Dengan ilmu jiwamu bertunas
Bangunlah, sekarang juga
Sudah berapa lama kau tidur?

Pandanglah dirimu sendiri
Kau sesungguhnya luhur
Renungkan, coba pikirkan dari mana kau datang?
Dan kenapa kau dalam penjara ini sekarang?

Jadilah penentang berhala
bagai Ibrahim yang pemberani

Ada maksudnya kau dicipta seperti ini

Sungguh malu
kau terlantarkan tujuan penciptaanmu ini.
-- Nasiri Khusraw

Sabtu, 28 Desember 2013

Mengenal Diri


“Barang siapa yang mengenali dirinya, maka dia menjadi ‘immaterial’. ”
-- Sayydina Ali a.s


Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia?


Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar.

Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuhan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak sama sekali.

Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya.

Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.


Unsur Bumi


Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan).  Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.

Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.


Unsur Tuhan


Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus).  Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia. Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi.

Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa yang lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki esensi/makna yang nyaris sama.


Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan


Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut  terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia; hawa. Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai  media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).

Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda,  menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif.

Dengan alasan tersebut akan dipaparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawadari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan  perspektif yang sederhana namun mudah dipahami.


Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku Prihatin

Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa).

Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Ia tidak lain adalah apa yang disebut sebagai roh suci/utusan Tuhan atau Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.


Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang




“Maka Alloh mengilhamkan pada jiwanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah yang menyucikan jiwanya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” {QS. As-Syams: 8-10}

Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah (mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji).

Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah.

Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.


Manusia Bebas Memilih


Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan pada hari penghisapan atau bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia
Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau Qodratullah.

Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).

Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahaya sejati (Nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini tidak akan membahas model dan macam petunjuk Tuhan tersebut.


Laku Prihatin adalah Jihad Sejati!


“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi.  Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan”  terhadap unsur bumi. Yaitu jiwa yang tunduk pada rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam kemauan hawa nafsu negatif.

Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Laku prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati.

Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai Aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian.

Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding dimedan perang dalam kalbu antara tentara nafsu positif melawan tentara nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita.  “Bahan peledaknya” bernama laku prihatin dan olah batin (wara’dan amr ma’ruf nahi munkar).


Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)


Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan  (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya  disebut sebagai swadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf).

Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca  indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud diberi nama Ego. Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan).

Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.


Menjadi Pribadi yang Menang


Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena  peperangan “Baratayudha” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang  yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.

Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan  sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah..


Pejalan Sunyi

“Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada Aku.”
-- Hadist Qudsi


Segala makhluk dicipta berbeda. Hanya satu yang sama. Selaras. Yaitu rasa. Ia berumah pada hati. Pada rumah yang tak pernah menutup pintu.

Rasa itu bernama penyesalan. Tak ada yang  tak memilikinya. Ia berbahasa sama: bahasa gelisah. Ia suka bicara sendiri. Tentang sedih dan takut.

Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang  dicipta sebagai sia-sia. Satu satunya yang tiada adalah kesia-siaan tersebut.

Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang  menjauh dari urat lehernya sendiri.

Tiap diri adalah citra Ilahi. Ia tidak tak berjiwa. Tiada yang dicipta tanpa raga. Segalanya memiliki bentuk. Cerminan Yang Maha Wujud.

Tiap diri adalah cerminan Ilahi. Ia tidak tak melihat. Tiada yang lebih ia rindukan dari melihat yang  Bercermin. Temu pandang. Sawang-sinawang.

Tiap diri adalah masjid. Ia tidak tak bersujud. Tiada yang  dicipta tanpa sisi gelap, tanpa bayangan yang  tunduk. Segalanya takluk pada Cahaya.

Tiap diri adalah sisi Ilahi. Ia bukan arah bukan tujuan. Tidak di utara-selatan-timur-barat dirinya sendiri. Ia tepat di dirinya sendiri.

Segala cerminan adalah pantulan perbuatan.

Tiap diri merindu Ilahi. Ia tidak tak kesepian. Tiada yang dicipta sebagai dua. Ia menyatu tapi tidak menjadi satu. Tak pula menjadi Satu.

Tiap diri merindu Ilahi. Rindu-dendam yang kekal. Seperti rindu dada pada punggung. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Berjumpa tapi berpisah.

Apalah kaki jika tanpa bumi untuk berpijak? Apalah sayap jika tanpa angkasa untuk terbang? Apalah diri jika tanpa jati diri untuk becermin?

“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, air bening yang  tenang, dan anak mata sesama...”

“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, aku melihat bentuk. Ia memiliki gerak. Tak lain gerakku sendiri.”

“Apa yang engkau tahu tentang Cinta?”
“Yang  kutahu adalah aku tak tahu apa-apa selain bahwa aku bahkan ragu pada diriku sendiri.”

“Apa yang  engkau tahu tentang Cinta?”
“Aku tak tahu apa apa. Saat berjumpa Yang Dicintai, Sang Pecinta seketika lemah dan Cinta menjadi Kekuatan.”

“Huwa ad-Dhahiru. Dia Maha Tampak. Tapi, mengapa aku tidak melihatNya?”
“Apakah kau masih sibuk berpaling?”
Tahukah engkau hakikat Allah Hu Akbar?


“Sungguh segala sesuatu itu tiada, kecuali yang hanya ada abadi hanyalah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagikah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar-Rahman, 55: 26-28)

Rabu, 25 Desember 2013

Semata-mata berkat RahmatNya






Rasulullah saw bersabda;

Jibril baru saja tadi keluar dari tempatku, dan ia berkata..

“Yaa Muhammad saw, Demi Dzat yang mengutusmu dengan hak menjadi Nabi, bahwasanya ada seorang manusia yang beribadah kepada Allah sejak 500 tahun diatas sebuah bukit yang dilingkari oleh laut. Baginya telah disediakan oleh Allah sebuah mata air tawar yang sejuk di kaki bukit, dan sebuah pohon delima yang setiap hari berbuah satu buahnya. Setiap sore hari ia turun ke mata air itu, berwudlu, sekaligus memetik buah delima dan memakannya.

Selanjutnya ia shalat dan berdo’a memohon kepada Allah agar ia mati dalam keadaan bersujud, dengan tubuh tidak tersentuh oleh bumi ataupun lainnya, sampai kemudian ia dibangkitkan dari kubur-pun masih dalam keadaan bersujud.

Dan do’anya pun kemudian dikabulkan oleh Allah swt. Hal seperti itu dibuktikan pula oleh Jibril as. Jibril as berkata..

“Kami melintasinya di saat naik atau pun turun ia tetap dalam keadaan seperti itu (bersujud), dan kami dapati ia di hari kiamat dibangkitkan berhenti di hadapan Allah swt. Lalu Allah Ta’ala berfirman..
“Masukkanlah hambaKu ini ke dalam surga berkat rahmatKu!”
Namun seorang abid itu berkata…
“Tetapi berkat amal taatku sendiri…”

Lalu kemudian Allah ta’ala menyuruh para malaikat supaya menimbang amal taatnya dengan karunia ni’mat Allah kepadanya. Ternyata dengan karunia ni’mat Allah berupa pandangan mata saja, amal ibadah yang selama 500 tahun belum dapat memadai, apalagi dengan karunia nikmat Allah lainnya, yang berarti ia banyak menikmati karunia Allah tanpa di imbangi amal taat kepadaNya.

Maka Allah Ta’ala berfirman;
“Wahai para malaikat…. Masukkanlah ia ke dalam neraka.”
Jibril as. berkata;
“Mereka pun kemudian melemparkannya ke dalam neraka.”

Dengan demikian ia pun menyadari akan kelemahannya, lalu ia menyeru dan memanggil seraya berkata;
“Dengan rahmatMu…yaa Allah… Masukkanlah hamba ke surga…”

Akhirnya para malaikat disuruh mengembalikannya ke hadapan Allah swt, Dan Allah swt kemudian berfirman;
“Wahai hambaKu, siapakah yang menciptakanmu, sebelum engkau ada?”
Ia menjawab, “Engkau Ya Rabbku…”

“Lalu, penciptaan atas dirimu itu dengan amal perbuatanmu ataukah berkat rahmat-Ku?”
Ia menjawab, “Bahkan dengan rahmatMu, Ya Rabbku…”

“Lalu siapakah yang menguatkan engkau beribadah selama 500 tahun itu? Dan yang menempatkanmu di atas bukit yang dilingkari oleh laut? Dan yang memancarkan mata air tawar di tengah-tengah air laut yang asin? Dan yang mengeluarkan buah delima setiap petangnya, padahal menurut umumnya musim berbuahnya hanya sekali dalam setahun? Dan yang mencabut ruhmu, padahal engkau dalam keadaan sujud?”
Ia menjawab,“Semua itu Engkau yang menciptakan ,Yaa Rabbku…”

Allah Ta’ala kemudian berfirman,
“Semua itu adalah dengan berkat rahmat-Ku, dan berkat rahmatKu pula masuklah kamu ke surga.”

-- Duuratun Nasihin

***********************************************************************************



Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Tidak seorang pun dimasukkan surga karena amalannya..”

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya,
“Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Dan saya pun tidak termasuk, kecuali Rabbku melimpahkan rahmat-Nya kepada-Ku.” -- HR. Muslim.

Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah.
-- HR. Muslim, no.7299