Manusia terpisah dari dirinya
sendiri ketika berhasrat untuk menjadi orang lain, apalagi jika ia
berusaha keras untuk meniru. Pelan namun pasti, ia semakin tidak
mengenal diri sendiri dan pada akhirnya kehilangan jatidiri. Pergerakan
alam bawah sadar ini tak dapat ditahan lajunya hingga tiba di ujung
usia, jika pangkalnya tak dicari dari mana bermula. Jika ditemukan, tak
bisa diselesaikan pula jika tak lantas disadari sebagai kesalahan arah
hidup. Manusia harus memiliki pegangan, belajar dari kompas dalam wujud
apa pun, dan menerima bimbingan.
Pohon tumbuh
beserta akarnya. Jika tumbuh, tapi tercerabut akarnya, maka tumbang
hanya soal waktu. Semakin kokoh akar, semakin kuat pohon itu menghadapi
angin, semakin leluasa cabang dan ranting membawa dedaunan ke arah
cahaya matahari. Demikian pula manusia. Hati adalah akar bagi
kehidupannya. Jika cinta adalah pohonnya, maka kasih sayang merupakan
batang dan ranting yang menjelma tangan-tangan bagi daun-daun kebaikan.
Tatkala berguguran dan kembali ke tanah, tumbuh daun-daun baru untuk
kebaikan berikutnya.
Kehidupan dimulai, dijalani,
dan diakhiri. Sebaik-baik manusia adalah yang memulai babak hayatnya
dengan mengenal diri sendiri, menjalani pendakian usia dengan mengalami
diri sendiri, dan mencapai puncaknya dengan menjadi diri sendiri, atau
kembali menjadi diri sendiri jika peran menghendakinya mengalami
karakter yang berbeda. Tak ada yang salah dengan meniru orang lain jika
masa-masa itu adalah kurun untuk kemudian menemukan kesejatian diri.
Muhammad S.A.W. sebagai teladan terbaik pun hanya menjadikan pelaku
sunnah seperti Sang Rasul. Hanya seperti. Kita takkan pernah bisa
menjadi Muhammad.
Dalam Al Qur'an, Allah
mengisyaratkan betapa penting kehadiran Waliyan Mursyidan atau sang
pembimbing. Kedudukannya bukan sebagai simbol dari segala kebenaran.
Pembimbing berperan besar untuk membantu siapa pun yang dibimbing untuk
belajar dari kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan demi menemukan
kebenaran-kebenaran dan kebaikan-kebaikan. Waliyan Mursyidan bagai
serangga yang tabah dan setia merawat siklus kehidupan pohon dalam
penyerbukan. Lebah, kumbang, tawon, semut, kupu-kupu, dan lalat,
berperan penting memastikan serbuk sari jatuh ke kepala putik.
Selain
para pembimbing itu, dua kekuatan besar lainnya adalah angin dan air.
Semesta mendukung peristiwa-peristiwa kehidupan dari bibit sampai
kembali menjadi bibit. Disebabkan oleh penyerbukan, pohon memasuki bab
baru pertumbuhannya, yaitu pembuahan. Di dalam buah itulah terkandung
biji-biji yang kelak mewujud sebagai benih kehidupan selanjutnya.
Mengutip Jalaluddin Rumi, inilah yang disebut sebagai teori ''fihi ma
fihi'' atau di dalamnya-lah apa yang di dalamnya. Di dalam bibit
terkandung pohon, di dalam pohon terkandung bibit.
Dalam
diri manusia, bibit inilah yang disebut sebagai karakter. Usaha seumur
hidup untuk tumbuh dan berkembang adalah pembentukan karakter. Pembuahan
menjadi fase terakhirnya. Buah dari karakter menunjukkan jatidiri
sesuai dengan rasa yang sejati. Semisal, karakter kopi adalah menyerap
anasir lain dari karakter di sekitarnya. Jika dalam tahap pembentukan
karakter didekatkan dengan pohon duren, maka rusaklah rasa sejati kopi.
Jatidiri kopi yang seharusnya khas pun berubah dan bahkan menghilang,
begitu pula rasa sejatinya: tak lagi sepahit semestinya.
Semasa
hidup, setiap makhluk termasuk manusia menghadapi tiga hal utama yang
mempengaruhinya dalam berproses. Ketiganya adalah ruang, waktu, dan
keadaan. Tiga-tiganya menyebabkan makhluk berubah. Dan, perubahan
merupakan keniscayaan yang tiada makhluk yang kuasa menolaknya. Lahir,
hidup, dan mati adalah segitiga rotasi kejadian; sebagaimana adanya
sebelum, ketika, dan sesudah. Seperti mempersiapkan kelahiran dan
kehidupan, sebaik-baik manusia adalah yang mempersiapkan kematian.
Sebaik-baik kematian adalah yang ternyata masih bermanfaat bagi
kehidupan. Yang amalnya tidak terputus. Pohon pun, setelah tidak lagi
menjadi batang, ia masih bisa menjadi kayu. []
Sumber:
http://www.candramalik.com/post/manusia-dan-jatidiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar