Kamis, 19 Desember 2013

Manusia



Mereka para pencari jati diri yakin, bahwa manusia tidak dapat hidup hanya dengan roti atau nasi semata. Tentu sudah pasti setiap orang membutuhkan makanan, dan setiap orang juga membutuhkan cinta & perhatian.

Namun ada sesuatu yang lain – terlepas dari semua itu – yang dibutuhkan oleh setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita di sini? Mengapa harus kita yang menjalani kehidupan ini, menyandang nama sebagai diri, di dunia ini, sebagai manusia. Allah ta'ala berfirman;

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
{QS. Al-Baqarah, 2:30}

Manusia berubah. Manusia adalah makhluk perubahan, subyek sekaligus obyek. Sebelum diciptakan pun, Allah Maha Tahu betapa manusia kelak merusak. Sebelum diciptakan pun, manusia sudah digugat oleh malaikat dengan dakwaan membuat kerusakan demi kerusakan di muka bumi.

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia.”
{QS. Al-Baqarah, 2:117}

Tapi, memang demikianlah manusia, tidak bisa tidak, pasti merusak. Jika Allah memiliki daya cipta yang kun fayakun, jadi maka jadilah, maka tidak demikian halnya manusia yang memang harus menempuh proses tanpa dapat memastikan hasilnya.

Takaran antara peluang kegagalan dan keberhasilan bukanlah manusia sendiri penentunya. Berbeda dengan Allah yang memiliki sifat qiyamuhi binafsihi, berdiri sendiri tanpa sekutu, manusia tak bisa tidak bergantung kepada selainnya. Ia minum maka ia butuh air. Ia bernafas maka ia butuh udara. Ia bertumbuh maka ia butuh matahari. Ia berkembang maka ia butuh bumi. Dan, tidak bisa tidak pula, manusia menciptakan sesuatu dengan lebih dulu merusak. Tanpa menebang pohon dan mengambil batangnya, manusia tak bisa membuat kursi, meja, dan segala rupa perabot dari bahan kayu. Untuk sampai pada pengolahan bahan bakar minyak dan gas, manusia harus mengebor bumi. Dan sebagainya.

Bila Allah dikenal melalui ajaran tentang dzat atau esensi, sifat atau karakter, asma atau nama, dan af'al atau perilaku; maka kita sudah sama tahu bahwa manusia adalah hasil dari af'al Allah. Hasil dari perilaku Allah mencipta. Manusia adalah hasil rekayasa Tuhan yang kemudian disebut sebagai makhluk. Meski satu kelompok dengan anggota semesta raya lainnya yang juga makhluk, manusia berkedudukan lebih tinggi sejak Allah memuliakannya dengan akal budi. Manusia juga menerima Al Qur'an, melalui Rasulullah SAW, sehingga dapat dianalogikan bahwa manusia adalah wadah dan Al Qur'an isinya.

Setiap manusia adalah makhluk, namun tidak setiap makhluk adalah manusia. Demikian pula setiap khalifah fi 'l-ardhi adalah manusia, tapi tidak setiap manusia adalah pemimpin di bumi. Kedudukan pemimpin hanya ditahbiskan pada ia yang berhasil mengolah akal budi menjadi budi pekerti, yang meski barangkali saja tidak bisa melepaskan diri dari takdirnya untuk merusak tapi ia menanam lagi pohon kehidupan. Jika memimpin diri sendiri saja belum sanggup, mungkinkah seseorang bisa memberi sumbangsih bagi semesta berupa daya hidup?

Justru sebaliknya, ia yang kalah dalam peperangan melawan diri sendiri terancam dijatuhkan derajatnya menjadi lebih hina, sebagaimana termaktub dalam QS. At Tiin ayat 5;

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,”
{QS. At-Tiin, 95:5}

Baik dari firman Allah maupun dari sabda Rasulullah mudah ditemukan dalil tentang betapa manusia suka merusak bumi dan berjalan angkuh di atasnya, padahal telah Tuhan berikan peringatan pada manusia pula untuk mawas diri.

Puing-puing kehancuran bangsa-bangsa besar, banjir bandang, gempa bumi, air laut yang meluap ke daratan, gunung meletus, angin topan, hujan berkepanjangan disertai petir, adalah sebagian kecil dari tanda-tanda betapa alam semesta memiliki daya hidup, sekaligus daya hancur yang tak kalah mematikan.

Manusia tidak hidup sendiri di muka bumi. Manusia bukan makhluk sendirian, bahkan manusia tak sanggup hidup seorang diri. Jika ia menolak bersahabat dengan lingkungan hidup, dan justru seakan melanggengkan perusakan habitatnya sendiri, maka ekosistem terkoyak dan manusia juga yang akan menjadi korban. Sudah terlalu sering manusia menjadi korban atas ulahnya sendiri. Suka berbuat salah, tidak suka mawas diri, apalagi meminta maaf dan menyesal. Suka merasa benar, sekaligus suka menyalahkan. Suka berdebat, pun suka berbantah. Tak butuh waktu lama untuk menemukan kelebihan, namun sering kekurangan waktu untuk mencari kelemahannya.

Manusia tidak benar-benar mengenal dirinya sendiri. Yang semakin tinggi kedudukannya di mata khalayak, tak banyak yang berkenan duduk sama rendah dengan rakyat jelata. Serba ingin diladeni dan tak lagi memiliki jiwa melayani. Padahal, jika menilik pesan QS. Al Isra' ayat 1:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
{QS. Al-Isra', 17:1}


Kedudukan hamba ternyata lebih tinggi daripada posisi pemimpin. Dalam peristiwa Isra' Mikraj dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, sampai ke Sidrat Muntaha, Allah memperjalankan Muhammad bukan dalam kedudukan sebagai Rasulullah, bukan Nabiyullah, bukan pula pemimpin umat, namun sebagai hamba. Maka, sebaik-baik manusia adalah ia yang tak lupa, tak juga lalai, bahwa dari mula hingga akhir, ia adalah seorang hamba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar