Semesta memiliki caranya sendiri untuk merawat kehidupan dan memilih siapa dan apa saja yang bertahan hidup di lingkarannya. Seleksi alam menghendaki siapa yang kuat, maka dialah yang selamat. Tidak hanya kuat secara fisik, namun juga psikis. Tidak cuma akal, tapi demikian pula hati. Rimba belantara tidak selalu dalam wujud hutan raya, melainkan juga segala misteri di dalamnya. Dari masa ke masa, perubahan pun berubah. Di dunia, keselamatan tak berusia abadi.
Dan, semesta yang sesungguhnya adalah diri ini. Diri kita sendiri ini. Di dalamnya hidup hutan raya dengan keanekaragamannya. Watak-watak binatang menjelma nafsu-nafsu manusia dan karakter-karakter tumbuh-tumbuhan dari akar hingga buahnya menyerupai pertumbuhan jiwa kita. Suara-suara dari ruang-ruang kosong dalam diri bagai bisikan dan raungan dalam hutan, yang entah dari mana sumbernya. Timbul-tenggelam dalam bentuk pikiran dan perasaan.
Ya, manusia adalah jagat, yang bahkan lebih agung dibanding alam raya yang tergelar. Diri manusia mengandung samudera yang dari sanalah terbetik peribahasa "dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu?". Diri manusia mengandung angkasa lepas, yang sampai-sampai untuk menegur kesombongan pun terlahir idiom "masih ada langit di atas langit". Sebesar-besar perang, jika mengutip Muhammad SAW, masih lebih besar perang melawan diri sendiri.
Sebelum Allah mendaulat manusia sebagai khalifah fil ardli, pemimpin di bumi, Dia menetapkannya sebagai makhluk paling mulia karena dibekali akal. Bahkan, Muhammad bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sebagai CitraNya." Dan, dalam QS. Al Baqarah: 31, Allah berfirman, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya." Betapa mulia kedudukan manusia, apalagi jika ia diterima di sisiNya selagi masih hidup. Inilah kedudukan manusia bertakwa.
Segala sesuatu bermula dari Allah dan berakhir untuk kembali padaNya. Manusia menjalani fitrahnya, pun Allah memiliki FitrahNya sendiri dan segala sesuatu indah pada WaktuNya. Salah satu di antara seleksi alam yang kerap membuat manusia gagal mencapai kedudukan Insan Kamil atau Manusia Paripurna adalah musibah. Kesedihan, kesengsaraan, kenestapaan, dukalara, dan entah apa lagi namanya, tak sulit mencerabut keyakinan manusia atas Allah. Ia meragu, bahkan putus asa.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah: 155, Allah memberi manusia musibah berupa ketakutan, kelaparan, dan serbaneka kekurangan, tapi hanya orang-orang yang sabar yang berhasil melewati etape ini. Bagi mereka, babak ini sangat penting untuk memahami ajaran tentang segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali padaNya. Yang tidak merasa memiliki, ia tidak merasa kehilangan. Yang sadar bahwa dirinya adalah milik Allah, ia tak punya rasa memiliki. Makhluk adalah propertiNya.
Sangat jelas QS. Ath Taghabun: 11 menyebutkan, " Tidak ada musibah kecuali dengan izin Allah." Menerima musibah dengan baik adalah sebaik-baik pilihan. Jika kesabaran ada batasnya, kesetiaanlah yang menjadi garisnya. Dan, manusia penyabar adalah ia yang tetap berada di dalam garis itu. Tabah dan setia mendengar dan melaksanakan PerintahNya dan menjauhi LaranganNya. Pada mereka inilah, Allah memberikan keberkahan yang sempurna, rahmat dan petunjuk.
Dari penyair W.S. Rendra, siapa pun bisa belajar betapa kebahagiaan dan penderitaan adalah sama saja. Dia pernah pula mengatakan, "Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Sang pujangga memiliki kesimpulan sama bahwa manusia-lah semesta sesungguhnya. Perusakan, sebagaimana pembangunan, berada di tangan manusia sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri maupun bagi bumi.
Manusia digambarkan lebih kuat daripada gunung sehingga Al Qur'an diturunkan padanya. Dalam QS. Al Hasyr: 21 dilukiskan betapa gunung akan hancur terbelah jika menerima ayat-ayat suciNya. Jika "awwaluddin ma'rifatullah" atau beragama dimulai dengan mengenal Allah, dan untuk mengenal Allah berlaku prinsip "man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu" atau siapa kenal diri maka ia kenal Ilahi, setiap manusia perlu mengenal seisi rimba belantara di dalam diri.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar