“Barang siapa yang mengenali
dirinya, maka dia menjadi ‘immaterial’. ”
-- Sayydina Ali a.s
Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling
sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing
orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusia hanya
akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal
ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang
begitu penuh dengan misteri besar.
Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup
ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan
dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuhan
memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam.
Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu
kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang
berarti, ketimbang tidak sama sekali.
Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur
entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur
pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur
tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah
eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi
kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian. Umpama batu-baterai yang
memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu
menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya.
Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material,
metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu
kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur
material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai
secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus
alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan
berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari
empat unsur yakni; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara
akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen
dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses
produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam
memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus,
merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak
bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka
ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi
rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh
metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang
paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia. Dan
spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh
kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan
duniawi.
Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada
martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa
(soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa yang
lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki esensi/makna
yang nyaris sama.
Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan
Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur
bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur
barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos,
dan dalam bahasa Indonesia; hawa. Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan
satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara
roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawa
bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah
atau bungkus).
Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara
tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa.
Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang
tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib,
bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang
berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi
beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif.
Dengan alasan tersebut akan dipaparkan lebih jelas pemetaan
tentang jiwa atau hawadari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui
berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah
dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi
tersebut diperlukan perspektif yang
sederhana namun mudah dipahami.
Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalam Laku
Prihatin
Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat
diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau
hawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian.
Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang
berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit).
Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material
duniawi (dosa).
Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang
dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor
yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Ia tidak lain adalah
apa yang disebut sebagai roh suci/utusan Tuhan atau Guru Sejati. Guru Sejati
tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.
Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang
“Maka Alloh mengilhamkan pada jiwanya (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah yang menyucikan jiwanya. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” {QS. As-Syams: 8-10}
Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru
sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam
istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang
tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif
terdiri tiga macam; nafsu lauwamah (kepuasan biologis; makan, minum, tidur
dst), nafsu amarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah (mengejar
kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji).
Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu
keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat
dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan
gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita
berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah.
Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu
keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik
alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.
Manusia Bebas Memilih
Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam
keadaan putih/suci. Manusia memiliki
kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang
bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada
kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi). Apabila seseorang berkiblat pada
kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi
(dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan pada hari penghisapan atau bisa juga
dirasakan sewaktu masih hidup di dunia
Maka peranan semua
agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada
hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau
Qodratullah.
Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita
temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita,
yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati).
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang
untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati
(qalb) yang di sinari oleh cahaya sejati (Nurullah). Yang lazim disebut sebagai
ungkapan dari (hati) nurani.
Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita
gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini tidak akan membahas model
dan macam petunjuk Tuhan tersebut.
Laku Prihatin adalah Jihad Sejati!
“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan
terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan
ragawi. Dengan kata lain yakni
penundukan unsur “Tuhan” terhadap unsur
bumi. Yaitu jiwa yang tunduk pada rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak
Tuhan), serta meredam kemauan hawa nafsu negatif.
Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan
terhadap unsur bumi disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin,
seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Laku
prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai
tingkatan spiritualitas sejati.
Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai Aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan
sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri
dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber
kenikmatan keduniawian.
Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding dimedan perang dalam
kalbu antara tentara nafsu positif
melawan tentara nafsu negatif.
Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan
bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama laku prihatin dan olah batin (wara’dan amr ma’ruf nahi munkar).
Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)
Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai
target membentuk hawa nafsu positif atau nafsul muthmainnah. Karena si nafs
atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa
sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang berada pada tataran
pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr)
kebaikan (ma’ruf).
Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif
yang dimasukkan jasad lewat pintu panca
indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin
yang oleh Freud diberi nama Ego. Ego
cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id)
untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa
positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan
kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada
orbitNya (qodrat/rumus Tuhan).
Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil,
setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa,
atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan
kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci
dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati
(sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila
seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu
negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya
berkiblat kepada unsur bumi.
Menjadi Pribadi yang Menang
Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha” (jihad) antara
kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan
Kurawa). Perang berlangsung di medan perang
yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat
dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan
kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya
sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif
telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan
saja si hawa lengah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar