Sabtu, 28 Desember 2013

Pejalan Sunyi

“Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada Aku.”
-- Hadist Qudsi


Segala makhluk dicipta berbeda. Hanya satu yang sama. Selaras. Yaitu rasa. Ia berumah pada hati. Pada rumah yang tak pernah menutup pintu.

Rasa itu bernama penyesalan. Tak ada yang  tak memilikinya. Ia berbahasa sama: bahasa gelisah. Ia suka bicara sendiri. Tentang sedih dan takut.

Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada yang  dicipta sebagai sia-sia. Satu satunya yang tiada adalah kesia-siaan tersebut.

Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak. Segalanya berputar berporos. Tiada yang  menjauh dari urat lehernya sendiri.

Tiap diri adalah citra Ilahi. Ia tidak tak berjiwa. Tiada yang dicipta tanpa raga. Segalanya memiliki bentuk. Cerminan Yang Maha Wujud.

Tiap diri adalah cerminan Ilahi. Ia tidak tak melihat. Tiada yang lebih ia rindukan dari melihat yang  Bercermin. Temu pandang. Sawang-sinawang.

Tiap diri adalah masjid. Ia tidak tak bersujud. Tiada yang  dicipta tanpa sisi gelap, tanpa bayangan yang  tunduk. Segalanya takluk pada Cahaya.

Tiap diri adalah sisi Ilahi. Ia bukan arah bukan tujuan. Tidak di utara-selatan-timur-barat dirinya sendiri. Ia tepat di dirinya sendiri.

Segala cerminan adalah pantulan perbuatan.

Tiap diri merindu Ilahi. Ia tidak tak kesepian. Tiada yang dicipta sebagai dua. Ia menyatu tapi tidak menjadi satu. Tak pula menjadi Satu.

Tiap diri merindu Ilahi. Rindu-dendam yang kekal. Seperti rindu dada pada punggung. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Berjumpa tapi berpisah.

Apalah kaki jika tanpa bumi untuk berpijak? Apalah sayap jika tanpa angkasa untuk terbang? Apalah diri jika tanpa jati diri untuk becermin?

“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, air bening yang  tenang, dan anak mata sesama...”

“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, aku melihat bentuk. Ia memiliki gerak. Tak lain gerakku sendiri.”

“Apa yang engkau tahu tentang Cinta?”
“Yang  kutahu adalah aku tak tahu apa-apa selain bahwa aku bahkan ragu pada diriku sendiri.”

“Apa yang  engkau tahu tentang Cinta?”
“Aku tak tahu apa apa. Saat berjumpa Yang Dicintai, Sang Pecinta seketika lemah dan Cinta menjadi Kekuatan.”

“Huwa ad-Dhahiru. Dia Maha Tampak. Tapi, mengapa aku tidak melihatNya?”
“Apakah kau masih sibuk berpaling?”
Tahukah engkau hakikat Allah Hu Akbar?


“Sungguh segala sesuatu itu tiada, kecuali yang hanya ada abadi hanyalah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagikah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar-Rahman, 55: 26-28)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar