“Aku jadikan pada
tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di
dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi
fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya
lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra),
sedangkan di dalam sirrun ada Aku.”
-- Hadist Qudsi
Segala makhluk dicipta berbeda. Hanya satu yang sama.
Selaras. Yaitu rasa. Ia berumah pada hati. Pada rumah yang tak pernah menutup
pintu.
Rasa itu bernama penyesalan. Tak ada yang tak memilikinya. Ia berbahasa sama: bahasa
gelisah. Ia suka bicara sendiri. Tentang sedih dan takut.
Tiap diri adalah ayat Ilahi. Ia tidak tak bermakna. Tiada
yang dicipta sebagai sia-sia. Satu
satunya yang tiada adalah kesia-siaan tersebut.
Tiap diri adalah pusaran Ilahi. Ia tidak tak bergerak.
Segalanya berputar berporos. Tiada yang
menjauh dari urat lehernya sendiri.
Tiap diri adalah citra Ilahi. Ia tidak tak berjiwa. Tiada
yang dicipta tanpa raga. Segalanya memiliki bentuk. Cerminan Yang Maha Wujud.
Tiap diri adalah cerminan Ilahi. Ia tidak tak melihat. Tiada
yang lebih ia rindukan dari melihat yang
Bercermin. Temu pandang. Sawang-sinawang.
Tiap diri adalah masjid. Ia tidak tak bersujud. Tiada
yang dicipta tanpa sisi gelap, tanpa
bayangan yang tunduk. Segalanya takluk
pada Cahaya.
Tiap diri adalah sisi Ilahi. Ia bukan arah bukan tujuan.
Tidak di utara-selatan-timur-barat dirinya sendiri. Ia tepat di dirinya
sendiri.
Segala cerminan
adalah pantulan perbuatan.
Tiap diri merindu Ilahi. Ia tidak tak kesepian. Tiada yang
dicipta sebagai dua. Ia menyatu tapi tidak menjadi satu. Tak pula menjadi Satu.
Tiap diri merindu Ilahi. Rindu-dendam yang kekal. Seperti rindu
dada pada punggung. Menyatu tapi tidak menjadi satu. Berjumpa tapi berpisah.
Apalah kaki jika tanpa bumi untuk berpijak? Apalah sayap
jika tanpa angkasa untuk terbang? Apalah diri jika tanpa jati diri untuk
becermin?
“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, air bening yang tenang, dan anak mata sesama...”
“Pernahkah engkau melihat diri sendiri?”
“Pernah. Dari pantulan cermin, aku melihat bentuk. Ia
memiliki gerak. Tak lain gerakku sendiri.”
“Apa yang engkau tahu tentang Cinta?”
“Yang kutahu adalah
aku tak tahu apa-apa selain bahwa aku bahkan ragu pada diriku sendiri.”
“Apa yang engkau tahu
tentang Cinta?”
“Aku tak tahu apa apa. Saat berjumpa Yang Dicintai, Sang
Pecinta seketika lemah dan Cinta menjadi Kekuatan.”
“Huwa ad-Dhahiru. Dia Maha Tampak. Tapi, mengapa aku tidak
melihatNya?”
“Apakah kau masih sibuk berpaling?”
Tahukah engkau hakikat Allah Hu Akbar?
“Sungguh segala sesuatu itu tiada, kecuali yang hanya ada
abadi hanyalah wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat
Tuhan kamu yang mana lagikah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar-Rahman, 55: 26-28)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar