Minggu, 01 Desember 2013

Amorfati III




“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
{QS. Al-Hasyr, 59:19}


Ketahuilah wahai saudara seimanku, pada tingkatan hakikat, sebelum kita beribadah kita harus mengenal dulu siapa yang akan kita sembah, jika kita tidak tahu maka sia-sialah ibadah kita.


“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
{QS. Al-Furqaan, 25:23}


Hukum untuk mengenal Dia itu wajib, sebelum wajibnya shalat dan ibadah yang diwajibkan pada kita. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah Hadis Qudsi: "Awaluddin marifatullah - Awal agama adalah mengenal Alloh".

"Awwaluddin ma'rifatullah." Inilah kaidah pertama dalam kehidupan beragama seseorang, yaitu mengenal Alloh. Alloh adalah isu sentral agama. Bukan agama namanya kalau segala sesuatu tidak dikaitkan dengan Alloh. Setercemar apapun suatu agama, Tuhan masih menjadi sentral pembicaraannya. Lebih-lebih
lagi agama samawi yang asli, Islam. Mengenal Alloh adalah aqidah Islam yang terasas. Permulaan agama adalah mengenal Alloh..

Kalau kita telusuri sejarah perjuangan Rasulullah, selama 13 tahun di Makkah, ajaran beliau hanyalah "mengenal Alloh". Ayat-ayat yang turun di periode ini hanya tentang Alloh: Sifat, Nama, dan KedudukanNYa. Sedikit sekali, atau mungkin tidak ada, ayat-ayat
yang membicarakan syariah. Bahkan, selama 10 tahun periode Madinah, Alloh tetap diingat-ingatkan betapapun syariahNya mulai diperkenalkan satu-persatu.

Sistem tarbiyah semacam ini telah melahirkan satu generasi hebat yang sangat takut dan cinta Alloh. Mereka hidup, taat, bekerja, beranak-cucu, berjuang, bahkan berperang karena Alloh dan untuk Alloh. Mereka berbuat begitu karena sangat takut dan cintanya pada Alloh. Itulah buah mengenal Alloh.

Metoda yang benar dalam mengenal Alloh akan melahirkan rasa takut dan cinta semacam itu. Tidak terbayangkan oleh kita betapa takut dan cintanya para sahabat rasul itu pada Alloh. Bacalah sejarah hidup mereka. Kita akan melihat refleksi rasa takut dan
cinta itu menguasai ruh mereka. Seluruh amal yang mereka kerjakan didorong hanya oleh rasa takut dan cinta Alloh.

Metoda yang salah dalam mengenal Alloh, tidak melahirkan rasa takut dan cinta. Kita melihat betapa banyaknya orang diantara kita yang berilmu tinggi tentang Alloh, bahkan menghafal ayat-ayat Alloh, menguasai sunnah Rasulullah, memahami dalil-dalil aqidah dan syariah, namun tidak takut pada Alloh.

Buktinya kita tidak takut adalah kita masih berani berbuat maksiat kepada Alloh di hadapan Alloh. Kalaulah seseorang itu takut, jangankan berbuat maksiat, berpaling sebentar saja dari mengingat Alloh sudah membuatnya tidak sanggup lagi makan dan minum, apalagi bersenang-senang.

Demikianlah kaidah beragama yang dicontohkan Rasulullah. Kaidah pertamanya adalah mengenal Alloh. Rasulullah menunjukkan pula metodanya, yaitu mengenalkan Alloh langsung di pusat hati bukan di akal. Alloh diperkenalkan langsung kepada fitrah manusia yang ada di hati. Dengan metoda ini, lahirlah rasa takut & taat.

Bila Alloh diperkenalkan hanya di akal, melupakan fitrah, yang lahir hanyalah pengetahuan tentang Alloh. Pengetahuan tidak membuat manusia takut, apalagi cinta.

"Kenal" dan "tahu" serupa tapi tak sama. "Kenal" dengan hati, "tahu" dengan akal. "Kenal Alloh" membuat orang takut, sedangkan "tahu Alloh" membuat orang hanya pandai berbicara, berdiskusi, dan berdebat tentang Alloh.

Dan bila engkau belum di anugrahkan ilmu untuk mengenal Dia, maka berbaik sangka kepada Alloh itu lebih baik, dari pada orang-orang yang tahu ilmunya akan tetapi tidak pernah berbaik sangka kepadaNya. Sungguh Alloh Maha Indah, dengan segala keindahan pada diri maklukNya.


“Di dalam hati manusia ada kesedihan dan tidak akan hilang kecuali gembira mengenali Alloh.”
-- Ibnu Qayyim Al Jauziyyah


Ketika Dia berkehendak untuk menarik kita mendekat kepadaNya, ada dua cara: kita mendekat dengan sukarela, atau kita terpaksa ‘diseret’Nya ke dalam ampunan serta rahmatNya dengan rantai ujian dan cambuk kesulitan, kebingungan atau penderitaan, yang pasti—tidak bisa tidak—akan membuahkan sebuah permohonan tolong dan ampun dengan jujur, dari dasar hati kita yang terdalam. Kalau saya cenderung memilih jalan yang sukarela.


“Kembalilah kepada kesejatianmu, wahai kalbu! Karena jauh di dalam dirimu wahai kalbu, engkau akan menemukan jalan menuju Tuhan Yang Maha Tercinta.”
-- Jalaluddin Rumi dalam Diwan-i Syams-i Tabriz



Ada tak terhingga cara untuk kembali kepadaNya. Tapi suka atau tidak, kita dijadikanNya sebagai ummat Muhammad SAW. Karena Muhammad SAW adalah pemegang kunci pintu menujuNya di periode ini, maka suka atau tidak, cara kembalinya kita harus ada dalam ruang lingkup ajaran Beliau SAW. Percayalah, cepat atau lambat kita akan melalui jalan Beliau SAW.

Dalam perjalanan mencari Ma'rifat (mengenalNya) seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Alloh SWT.

Hamba/Suluk/Pencari jati diri tidak ada pilihan kecuali berserah kepada Alloh SWT, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam menentukan siapakah diantara hamba-hambaNya yang layak mengenali DiriNya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Alloh SWT.

Aslim atau menyerah diri kepada Alloh SWT adalah perhentian di hadapan pintu gerbang Ma'rifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian aslim ini yang berkemungkinan menerima karunia ma'rifat. Alloh SWT menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahwa si hamba tersebut dipersiapkan untuk menemuiNya.

Aslim adalah makam berhampiran dengan Alloh SWT. Barang siapa yang sampai kepada makam ini haruslah terus membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Alloh SWT menghendaki dari makam inilah hamba diangkat ke Hadirat-Nya...

Suatu bentuk kesadaran yang tertinggi adalah penyerahan diri kepada Alloh Yang Maha Menentukan. Suatu kepasrahan yang ikhlas dan optimis, bukan kepasrahan tanpa harapan. Penyerahan diri yang dilakukan di setiap menjelang ikhtiar dan di saat berjeda, akan mendatangkan petunjuk, karena hawa nafsu tidak bermain. Apa yang dilakukan adalah apa yang diinspirasikan ke dalam hati dan pikiran.

Kepasrahan bukan secara menyengaja melenyapkan hasrat keduniaan sama sekali. Kepasrahan berarti menyerahkan sepenuhnya pengaturah hidupnya kepada Alloh. Misalnya, Sulaiman menjadi Raja yang hebat bukan karena ambisinya, namun karena kepasrahannya, dan oleh Alloh diamanahkan kerajaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang sebelum dan sesudahnya.

Kepasrahan itu berarti mengistirahatkan hawa nafsu dalam melihat masa depan. Hawa nafsu digunakan hanya pada saat amanah itu sudah diturunkan. Misalnya seorang yang diamanahkan untuk menikah, hawa nafsunya akan bermakna saat dia bisa menyalurkan syahwatnya.


“...barangsiapa menghendaki kebaikan bagi dirinya, niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya.”
{QS. Al-Insaan, 76:29}


Banyak orang mengetahui Tuhan, tetapi mengapa sedikit yang mau mengenal Tuhan. Salam Kontemplasi! :)


*Night Shift II, CPP LAB KPC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar