“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Alloh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut, 29:69)
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Alloh dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.”
{QS. Al Hajj, 22:78}
Kata Jihad lebih popular dari kata Ijtihad atau Mudjahadah. ‘Jihad’, ‘Ijtihad’, dan ‘Mujahadah’, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu ‘Jahada’ yang berarti “Bersungguh-sungguh”.
Dan 'Jihad' adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik, 'Ijtihad' artinya perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran (logika), dan 'Mujahadah' merupakan perjuangan sungguh-sungguh pada qalbu.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa 'Ijtihad' lebih utama daripada 'Jihad'. Rasulullah Muhammad bersabda, “Goresan tinta para ulama (ijtihad) lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.”
Dan Ijtihad tertinggi adalah meng-Ijtihad-i Al Quran. Dalam perspektif tasawuf, 'Mujahadah' menempati posisi yang lebih utama, yaitu perjuangan sungguh-sungguh pada qalbu untuk memerangi nafsu yang mengajak pada kemungkaran.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.”
(QS. Al-Balad, 90:10-18).
Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan mendaki yang sukar, dan tidak semua orang bertekad bulat dalam menempuhnya:
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Alloh: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu ”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.”
(QS. At-Taubah, 9:42)
Walaupun begitu, Alloh menjanjikan ganjaran yang setimpal dengan perjuangan kita dalam menempuhnya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Alloh orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Imran, 3:142)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Alloh“. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu amat dekat.”
(QS. Al-Baqarah, 2:214)
Perjalanan mendaki ini adalah menapaki tangga- tangga yang dengan indah digambarkan oleh Ali bin Abi Thalib kw:
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib kw, ditanya sahabatnya, “Apakah tangga pertama dari mengenal Alloh?”
Beliau menjawab,
“Adalah ketika engkau merasa bahwa tidak ada orang yang lebih banyak kesalahannya daripada engkau .”
Orang itu pingsan. Kemudian ketika sadar, dia bertanya lagi, “Sesudah itu ada tangga lagi.”
Beliau menjawab, “Ada 70 tangga lagi.”
Perjalanan ini adalah perjalanan menapak tilas perjalanan orang-orang yang diberi nikmat oleh Alloh:
“Tunjukilah kami Shiraath Al- Mustaqiim, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka…”
(QS. Al-Fatehah, 1:6-7).
“Dan barangsiapa yang menta’ati Alloh dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang- orang yang dianugerahi ni’mat oleh Alloh, yaitu : Nabi-nabi, Ash-Shiddiiqiin, Asy-Syuhadaa, Ash-Shaalihiin . Dan mereka itulah teman yang sebaik- baiknya.”
(QS. An-Nisaa, 4:69).
Semoga Alloh menguatkan langkah kaki kita dalam menapaki jalan mendaki ini. Bukan jalan yang mudah, tetapi bukan pula jalan yang tak mungkin..
“Maa 'indakum yanfadu wamaa 'inda allaahi baaqin - Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Alloh adalah kekal.” {QS. An Nahl, 16:96}
Selasa, 28 Januari 2014
Hati Yang Tak Mendua
Ibnu Atha'illah mengatakan,
“Pahamilah firman Alloh, "Yaitu hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang yang menghadap Alloh dengan kalbu yang sehat." (1) Kalbu yang sehat adalah yang hanya bergantung kepada Alloh.
Alloh SWT berfirman,
"Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri seperti pertama kali Kami ciptakan. Lalu kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) ini apa yang telah Kami karuniakan kepadamu." (2) Dapat dipahami bahwa kau baru bisa datang kepada Alloh dan sampai kepada-Nya jika kau sendirian tanpa apa pun selain Dia.
Alloh berfirman,
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai yatim, lalu Dia memberikan perlindungan?" (3) Maksudnya, Alloh akan melindungimu jika kau benar-benar yatim dari segala sesuatu selain Dia.
Nabi SAW bersabda,
"Alloh itu ganjil (tunggal), senang kepada yang ganjil."
Artinya, Dia menyenangi hati yang tidak menerima dualisme. Hati itu hanya untuk Alloh. Dengan pertolongan Alloh, orang yang berada di hadapan-Nya dan mendapat curahan nikmat-Nya dapat memahami. Maka, bagaimana mungkin mereka akan bersandar kepada selain Dia, sementara mereka telah menyaksikan wujud ke-esaan-Nya.”
-- Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-Arus
Catatan:
(1) QS. Asy-Syu’ara, ayat 88-89
(2) QS. Al-An'am, ayat 94
(3) QS. Adh-Dhuhaa, ayat 6
“Pahamilah firman Alloh, "Yaitu hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang yang menghadap Alloh dengan kalbu yang sehat." (1) Kalbu yang sehat adalah yang hanya bergantung kepada Alloh.
Alloh SWT berfirman,
"Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri seperti pertama kali Kami ciptakan. Lalu kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) ini apa yang telah Kami karuniakan kepadamu." (2) Dapat dipahami bahwa kau baru bisa datang kepada Alloh dan sampai kepada-Nya jika kau sendirian tanpa apa pun selain Dia.
Alloh berfirman,
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai yatim, lalu Dia memberikan perlindungan?" (3) Maksudnya, Alloh akan melindungimu jika kau benar-benar yatim dari segala sesuatu selain Dia.
Nabi SAW bersabda,
"Alloh itu ganjil (tunggal), senang kepada yang ganjil."
Artinya, Dia menyenangi hati yang tidak menerima dualisme. Hati itu hanya untuk Alloh. Dengan pertolongan Alloh, orang yang berada di hadapan-Nya dan mendapat curahan nikmat-Nya dapat memahami. Maka, bagaimana mungkin mereka akan bersandar kepada selain Dia, sementara mereka telah menyaksikan wujud ke-esaan-Nya.”
-- Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-Arus
Catatan:
(1) QS. Asy-Syu’ara, ayat 88-89
(2) QS. Al-An'am, ayat 94
(3) QS. Adh-Dhuhaa, ayat 6
Senin, 27 Januari 2014
Diam
Para Arifbillah yang tidak hanya sekedar mengenal tetapi juga mengerti akan kedudukan/Martabat Allah, tentu mereka itu telah “Karam” pada Lautan “Ahadiyah” Allah ‘Ta’ala. Di dalam ke “Karam” annyaitu pandangannya hanya tertuju kepada Allah, baik di muka, di belakang, di kanan, di kiri, atas, bawah, luar dan dalam. Setiap waktunya selalu bersama Tuhannya baik di dalam suka maupun duka, baik dalam keramaian maupun dalam kesendiriannya.
Tidak banyak orang lain mengetahui tentang rahasia di dirinya, walaupun ia senantiasa berkumpul di dalam suatu keramaian tetapi Hatinya hanya bersama Tuhannya. Jiwanya telah merdeka dari segala ikatan-ikatan dunia. Apakah itu pangkat, kedudukan, harta dan segala Atribut-atribut yang lain.
Para pecinta Tuhan telah melepaskan pandangannya baik dari dirinya sendiri maupun kepada yang di luar dari dirinya, menyendiri di dalam kesendirian diri dan diam di dalam Hakikat Tuhannya.
Diriwayatkan Nabi Daud as. Sedang menyendiri di dalam Mihrab, setelah ia hanyut dalam kesendirian itu…
Tuhan berkata: “Hai Daud, sedang apakah engkau?”
Daud as: “Ya Tuhanku sesungguhnya Aku sedang menyendiri dalam kesendirianku.”
Tuhan: “Apa yang engkau lihat hai Daud?”
Daud as: “Aku pandang akan diriku dalam Musyahadah bahwa tidak ada Daud yang ada hanya Aku, dan kupandang lagi lebih dalam ‘tidak ada Aku yang ada hanya Engkau ya Robb.”
Tuhan: “Hai Daud! Jika demikian berarti engkau telah “Murtad”, Murtad dari dirimu sendiri.
Engkau telah keluar dari dirimu sendiri sehingga tidak ada lagi yang ada pada dirimu,
Dan Engkau nyatakan yang ada hanya “Aku”.
Karena itu Engkau telah masuk kedalam ke “DIAM” an Sir/Rahasia-Ku, dan Engkau telah sampai kepada-Ku.”
Bagi para penuntut/salik yang berjalan menuju kepada Allah, maka mereka akan melalui beberapa tahapan-tahapan/kedudukan-kedudukan yang mana akhir tahapan itu adalah “DIAM”.
“DIAM” itu adalah suatu Maqom Qodimnya Allah Swt yang mana di sampaikan oleh beberapa Arifbillah dengan Sir/Rahasia/Singgasana Allah Swt.
Dalam sebuah kitab “Ad-Durunnafis”, dikatakan bahwa “DIAM” itu adalah Maqom yang tinggi yaitu Maqom Tuhan Robbul ‘Alamiin pada Singgasana Allah swt.
Di dalam ke “DIAM”an itu Hakikat Muhammad Saw bermaqom, dan dari situlah sumber Kalam Allah yang berbunyi : “Kun” dan “ Fayakun”.
Setiap para Arifbillah di antara para kekasih-kekasih dan Pecinta Sejati Allah, mereka telah sampai kepada Maqom ke “DIAM” an tsb. Maqom yang mengangkat Derajad dan Martabatnya kepada “Insan Kamil Mukamil” dan berkedudukan sebagai Waliyullah yang senantiasa tidak pernah Alfa dari mengingat Allah baik dalam kesendiriannya maupun dalam keramaiannya.
Adapun untuk sampai pada Maqom tsb, tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pengembaraan Spiritualnya adalah :
1.Fana Fil Mursyid (Lebur dalam keta’atannya dan kecintaannya kepada Mursyid)
2.Fana Firrosul (Lebur dalam keta’atannya dan kecintaannya kepada Rosul)
3.Fana Fillah (Lebur dalam keta’atannya dan kecintaannya hanya kepada Allah Swt)
4.Baqo’ billah (Terbuka Hijab/Tirai kedirian sehingga Sir/Rahasianya bersatu dengan Kebenaran Allah)
5.Liqo’ Illah (Bertemu dengan Allah dalam ke “DIAM”annya Allah Swt.
Sumber
Kekuatan Diam!
(HR. Muslim no. 34)
Nabi ‘Isya AS menuturkan, “Setiap perkataan yang tidak disertai dengan zikir kepada Alloh adalah sia-sia. Setiap diam yang tidak disertai dengan berpikir adalah kelalaian. Setiap pemikiran yang tidak disertai dengan perenungan adalah kealpaan. Karena itu, alangkah beruntungnya orang yang perkataannya adalah zikir kepada Alloh; diamnya adalah berpikir; dan pemikirannya adalah perenungan.”
Lukman al-Hakim berwasiat kepada anaknya, “Jika berbicara itu adalah perak, maka diam adalah emas. Banyak orang yang menyesal karena perkataannya, tetapi jarang orang menyesal karena diam.”
Dalam syair disebutkan: “Jagalah sikap diam, dan jangan asal bicara asal ngomong. Orang yang banyak bicara sering melukai orang lain. Jika kamu anggap bicara itu perak. Maka, yakinlah bahwa diam itu emas.”
Al-Hasan al-Bashri—semoga Alloh merahmatinya— berkata,
“Perkataan orang bijak berasal dari lubuk hatinya. Jika ia hendak berbicara, maka ia akan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu dengan hatinya. Jika berkenan dengan hatinya, maka akan diucapkan. Tetapi jika terasa menyakitkan hati, maka dia akan diam saja. Orang yang tidak mengenal hatinya akan mudah mengumbar perkataan, tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan hatinya.”
-- Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah
Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya “ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomel.
Diam, yang sering kali dihubungkan dengan kepasifan, mempunyai kekuatan yang besar. Diam membantu kita untuk lebih berkonsentrasi, tenang, introspektif, dan bahkan lebih bijak. Dan, diam seringkali lebih dapat menyampaikan poin-poin kita dengan lebih efektif dari pada argumen-argumen.
Diam memberikan kesempatan kepada kita untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kita bisa mendengarkan diri kita sendiri dengan cara yang baru dan lebih efektif, untuk mendengarkan apa yang suara batin kita ajarkan pada kita.
Penulis Parker Palmer menggambarkan hal itu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Kita mendengarkan petunjuk dimana saja kecuali di dalam batin. Kita percaya, bahwa hanya karena kita telah mengatakan sesuatu, maka kita memahami maknanya. Tetapi sering kali tidak. Kita perlu mendengar apa yang sedang dikatakan oleh hidup kita dan mencatatnya, agar kita tidak lupa kebenaran kita sendiri.”
Di saat kita DIAM SEJENAK dalam KEHENINGAN maka akan menghasilkan kumpulan ENERGI yang luarbiasa besarnya yang memiliki KEKUATAN DOBRAK LUAR BIASA untuk membongkar ketertutupan pintu sukses kita selama ini.
Diam sangat penting untuk pembelajaran. Ketika kita berbicara, sangatlah sulit untuk belajar lebih dari apa yang sudah kita ketahui. Namun, ketika kita dengan tenang mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, dunia baru sudah disiapkan untuk kita. Kita bisa memulai sesuatu dari perspektif orang lain, bisa lebih memahami pola fikir mereka dan kita bisa memiliki akses terhadap apa yang mereka ketahui.
Ketika kita mendengarkan masalah-masalah dan pendapat-pendapat orang lain, untuk sesaat kita terbebas dari kekhawatiran mengenai masalah kita sendiri dan kita dapat belajar sedikit seperti apa rasanya berada dalam keadaan orang lain. Mendengarkan dengan diam adalah kunci untuk merasakan hidup dengan lebih penuh, informatif, dan empati.
Ali bin Abi Thalib berkata,
“Semua kebaikan terangkum dalam 3 kata: pandangan, diam, & bicara. Setiap pandangan yang tidak menghasilkan ibrah adalah kelalaian akal, setiap diam yang tidak mengandung pikiran berarti kelengahan, & setiap bicara yang tidak mencerminkan dzikir adalah perbuatan sia-sia. Berbahagialah orang-orang yang penglihatannya menambah ibrah, diamnya berarti pikir, bicaranya mencerminkan dzikir, menangisi kesalahan-kesalahannya, & membebaskan orang lain dari perbuatan jahatnya.”
Kunci utama hikmah adalah, diam!
Cinta Yang Suci Lagi Murni
Simpul dari pada Pengetahuan tentang ISLAM terdiri dari Syari’at, Thoriqot, Haqiqat dan Ma’rifat yang kesemuanya tiada terlepas dari pada Fiqih, Tauhid dan Tassawuf. Dengan menuntut Ilmu, seseorang belajar dan berjalan untuk mengarungi Kehidupan ini untuk “kembali”kepada Sumber Kehidupan.
“Kembali”adalah Fitrah dari setiap Diri yang telah mengembara melalang Buana di Alam Antah berantah, namun tentu saja ada yang menyadari akan ke-Fitrahan itu dan ada juga yang tidak.
Se-iring dengan tumbuhnya Kesadaran pada diri, Ilmu sangat berperan sebagai petunjuk Jalan dan Amal sebagai Penyemangat Jiwa untuk tetap Istiqomah dalam mencapai Tujuan yaitu “kembali”. Namun Ilmu dan Amal dapat berubah menjadi CAMBUK YANG DAPAT MENYIKSA DIRI SENDIRI apabila tiada disertai ke-TULUS-an yang di dalamnya memuat Inti Sari Ketenangan Jiwa yaitu: IKHLAS, SABAR, TAWAKKAL, RIDHO. Dan ke-TULUS-an adalah Bibit dari pada CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Belumlah dikatakan CINTA yang SUCI lagi MURNI jika tiada ke-TULUS-an di dalamnya. Maka setinggi apapun Ilmu yang di tuntut dan sebanyak apapun Amal yang dilakukan tanpa di sertai ke-TULUS-an tidaklah didapatkan CINTA yang SUCI lagi MURNI namun yang di dapat adalah CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an yang akan menjadi Siksa pada dirinya sendiri baik tersadari maupun tidak.
CINTA itu awalnya SUCI karena datang dari SANG MAHA SUCI…
CINTA itu awalnya MURNI karena datang dari SANG MAHA MURNI…
Maka…untuk kembali kepada SANG MAHA SUCI dan MAHA MURNI tentunya Mutlak haruslah Lebur di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Para ‘Arifbillah yang telah Karam di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI, baginya “LAA KHOUFUN ‘ALIHIM WA LAA HUM YAHZANUUN” Tiada Takut dan Gentar padanya sedikitpun serta tiada berduka Cita padanya sedikitpun juga (dalam pengertian yang sangat Luas).
Adapun bagi yang terjebak kedalam CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an, baginya selalu diliputi oleh RASA PENASARAN-PENASARAN (dalam pengertian yang sangat Luas), sehingga menjadikan Bathinnya senantiasa tidak ada KETENANGAN dan selalu di hantui oleh SYAK WASANGKA baik tersadari maupun tiada tersadari. Sesungguhnya…SYAK WASANGKA itu merusak ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-an pada diri seseorang dengan sangat halus dan lembutnya sehingga tanpa tersadari ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-annya telah dikendalikan oleh HAWA NAFSU.
Semoga….ALLAH SWT pada NUR-NYA yang menjadi Rahmat sekalian Alam dan dengan HAQQUL HAQIQI yang tersirat pada MUHAMMAD AL-MUSTHOFA, memelihara kita semua dalam Pemeliharaan-NYA yang tiada keragu-raguan di dalamnya dengan ke-Yakinan-NYA yang SUCI lagi SEJATI dan menghantarkan diri kepada CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Sumber;
http://pengembarajiwa.wordpress.com/2010/11/20/cinta-yang-suci-lagi-murni/
“Kembali”adalah Fitrah dari setiap Diri yang telah mengembara melalang Buana di Alam Antah berantah, namun tentu saja ada yang menyadari akan ke-Fitrahan itu dan ada juga yang tidak.
Se-iring dengan tumbuhnya Kesadaran pada diri, Ilmu sangat berperan sebagai petunjuk Jalan dan Amal sebagai Penyemangat Jiwa untuk tetap Istiqomah dalam mencapai Tujuan yaitu “kembali”. Namun Ilmu dan Amal dapat berubah menjadi CAMBUK YANG DAPAT MENYIKSA DIRI SENDIRI apabila tiada disertai ke-TULUS-an yang di dalamnya memuat Inti Sari Ketenangan Jiwa yaitu: IKHLAS, SABAR, TAWAKKAL, RIDHO. Dan ke-TULUS-an adalah Bibit dari pada CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Belumlah dikatakan CINTA yang SUCI lagi MURNI jika tiada ke-TULUS-an di dalamnya. Maka setinggi apapun Ilmu yang di tuntut dan sebanyak apapun Amal yang dilakukan tanpa di sertai ke-TULUS-an tidaklah didapatkan CINTA yang SUCI lagi MURNI namun yang di dapat adalah CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an yang akan menjadi Siksa pada dirinya sendiri baik tersadari maupun tidak.
CINTA itu awalnya SUCI karena datang dari SANG MAHA SUCI…
CINTA itu awalnya MURNI karena datang dari SANG MAHA MURNI…
Maka…untuk kembali kepada SANG MAHA SUCI dan MAHA MURNI tentunya Mutlak haruslah Lebur di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Para ‘Arifbillah yang telah Karam di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI, baginya “LAA KHOUFUN ‘ALIHIM WA LAA HUM YAHZANUUN” Tiada Takut dan Gentar padanya sedikitpun serta tiada berduka Cita padanya sedikitpun juga (dalam pengertian yang sangat Luas).
Adapun bagi yang terjebak kedalam CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an, baginya selalu diliputi oleh RASA PENASARAN-PENASARAN (dalam pengertian yang sangat Luas), sehingga menjadikan Bathinnya senantiasa tidak ada KETENANGAN dan selalu di hantui oleh SYAK WASANGKA baik tersadari maupun tiada tersadari. Sesungguhnya…SYAK WASANGKA itu merusak ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-an pada diri seseorang dengan sangat halus dan lembutnya sehingga tanpa tersadari ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-annya telah dikendalikan oleh HAWA NAFSU.
Semoga….ALLAH SWT pada NUR-NYA yang menjadi Rahmat sekalian Alam dan dengan HAQQUL HAQIQI yang tersirat pada MUHAMMAD AL-MUSTHOFA, memelihara kita semua dalam Pemeliharaan-NYA yang tiada keragu-raguan di dalamnya dengan ke-Yakinan-NYA yang SUCI lagi SEJATI dan menghantarkan diri kepada CINTA yang SUCI lagi MURNI.
Sumber;
http://pengembarajiwa.wordpress.com/2010/11/20/cinta-yang-suci-lagi-murni/
Minggu, 26 Januari 2014
Mahabbah; Apa tanda Cintamu?
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. berkata
sesuatu kepada Tuhan,
“Wahai Tuhanku,
bagaimana saya dapat membedakan antara orang yang Engkau cintai dengan orang
yang Engkau benci?”
Alloh SWT menjawab, “Hai
Musa, sesungguhnya jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku akan menjadikan
dua tanda kepadanya.”
Musa bertanya, “Wahai
Tuhanku, apa kedua tanda itu?”
Alloh SWT menjawab, “Aku
akan mengilhamkan kepadanya agar ia berdzikir kepada-Ku agar Aku dapat
menyebutnya di kerajaan langit dan Aku akan menahannya dari lautan murka-Ku
agar ia tidak terjerumus ke dalam azab dan siksa–Ku. Hai Musa, jika Aku
membenci seorang hamba, maka Aku akan menjadikan dua tanda kepadanya.”
Musa bertanya, “Wahai
Tuhanku, apa kedua tanda itu?”
Alloh SWT menjawab, “Aku
akan melupakannya berzikir kepada-Ku dan Aku akan melepaskan ikatan antara
dirinya dan jiwanya, agar ia terjerumus ke dalam lautan murka-Ku sehingga ia
merasakan siksa-Ku.”
-- Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah
Barangkali ada orang berkata: “Tuhan telah mengambil orang
yang kukasihi.” Itu karena engkau berpikir bahwa dialah satu-satunya kekasihmu
dan engkau adalah orang yang mencintainya; padahal cinta Tuhan meliputi segala
sesuatu dan cinta-Nya itu lebih besar dari yang engkau miliki.
“Aku adalah khazanah
terpendam; Aku cinta (hubb) dikenal, maka Aku ciptakan makhluk.”
-- Hadits Qudsi
Karena cinta Ilahi (divine love), alam semesta hadir,
demikianlah pada awalnya kita harus memandang “cinta”. Tanpa cinta segenap
petala langit dan bumi akan lenyap binasa. Daya ini merayap menuruni lereng
penciptaan dan manifestasi Ilahi, mulai dari martabat yang tertinggi hingga
yang paling kasar (alam materi), dan merasukinya tanpa kecuali.
“Cintalah yang membuat engkau hadir, Nak,” seperti diceritakan
orang tua kita ketika awalnya mereka memadu kasih. Tapi, tidak! Bukan karena
cinta diantara mereka kita ada; tetapi Tuhan-lah yang sedang berkata-kata.
Meskipun segala sesuatu di dunia fana ini akan mati, tetapi
tunas-tunas baru hadir dan hadir lagi dari keperadaannya yang tanpa bentuk;
sebagai kreasi dari cinta Tuhan.
Barangkali ada orang berkata: “Tuhan telah mengambil orang
yang kukasihi.” Itu karena engkau berpikir bahwa dialah satu-satunya kekasihmu
dan engkau adalah orang yang mencintainya; padahal cinta Tuhan meliputi segala
sesuatu dan cinta-Nya itu lebih besar dari yang engkau miliki.
Seperti pernah ketika Tuhan mengutus Malaikat Izrail kepada
Nabi Ibrahim ketika ajalnya sudah dekat. Maka Izrail pun datang kepada Nabi
Ibrahim dan memberitahukan perihal tersebut. Namun Nabi Ibrahim berkata,
“Sampaikan kepada Kekasihku,
apakah seorang kekasih tega mencabut nyawa kekasihnya?”
Malaikat Izrail kembali dan menyampaikan pesan tersebut. Dia
yang Mahakasih pun menjawab:
“Katakan kepadanya,”
kepada malaikat Izrail, “apakah seorang kekasih
tidak rindu untuk bertemu kekasihnya?”
Cerita itu sungguh memikat!
Bagi kaum Kristiani: “Tuhan adalah Kasih; Tuhan adalah
Cinta”, gagasan yang muncul dalam segenap aspek kehidupan keberagamaan umatnya.
Ini merupakan tema utama yang dibawakan dalam Injil dan juga secara utuh
dimanifestasikan oleh Isa putra Maryam, seperti sering dikatakan bahwa Isa
Al-Masih merupakan perwujudan Kasih Tuhan di muka bumi. Sabdanya:
“Meskipun saya dapat berbicara
dengan bahasa-bahasa manusia bahkan bahasa malaikat sekalipun, namun bila saya
tidak memiliki kasih maka saya hanya seperti gong yang berdengung atau genta
yang gemerincing.”
Al-Masih pun berkata pada akhirnya tinggallah tiga hal yang
berguna (dalam mengenal Tuhan):
“Faith, Hope and Love; but the
greatest one is Love.” (Korintus 1, 13).
“Sesungguhnya tak pernah seorang
kekasih mencari tanpa dicari oleh kekasihnya. Apabila kilat Cinta telah
menyambar di hati ini, ketahuilah bahwa ada kilat Cinta di Hati yang lain”,
demikian Jalaluddin Rumi.
Cinta itulah dari mana kita mekar bagai bunga pada titik
penciptaan; cinta pula jalan pulang setiap makhluk. Cinta pula yang menciptakan
hasrat Zulaikha akan Yusuf. Hingga akhirnya diceritakan tatkala Yusuf telah
menjadi Wazir dari Fir’aun, teman dekatnya, dan merupakan orang terkuat kedua
di negara tersebut. Sementara Zulaikha telah dicampakkan oleh suaminya dan kini
menjalani hidup sengsara.
Suatu hari, Yusuf bertemu dengan Zulaikha di jalan. Ia
mengenakan jubah wazir yang mewah, mengendarai kuda yang indah, dikelilingi
para penasihat dan pengawal pribadinya. Sedangkan Zulaikha sendiri berpakaian
lusuh, kecantikannya pudar seiring dengan cobaan hidup yang telah dideritanya
sekian lama. Yusuf berkata:
“Wahai Zulaikha, sebelum ini, ketika engkau ingin
menikahiku, aku terpaksa menolakmu. Ketika itu engkau adalah istri dari tuanku.
Kini engkau telah bebas dan aku pun bukan lagi seorang budak. Jika engkau mau,
aku akan menikahimu sekarang.”
Zulaikha menatap bening dan lantas berkata,
”Tidak Yusuf. Cintaku yang
mendalam kepadamu dahulu itu tidaklah lain dari sebuah hijab antara aku dan
Sang Kekasih. Aku telah merobek tirai itu dan menyampakkannya. Kini setelah
kutemukan Kekasih Sejatiku, tidak lagi aku membutuhkan cintamu.”
Cinta—yang telah merasuki setiap benih ciptaan—merupakan
‘dewa’ dari Tuhan untuk menarik makhluk, khususnya manusia, untuk berpaling
kepada-Nya.
Sekali meminum ‘air’ cinta itu kita akan senantiasa selalu
dahaga hingga kita temukan Objek Cinta yang Abadi.
"Jika cinta mewujudkan diri di dalam diri, sungguh ia berasal
dari keindahan. Engkau hanyalah cermin belaka dimana keindahan dipantulkan.
Karena keindahan dan pantulannya berasal dari satu sumber, maka keduanya adalah
kekayaan dan gudang kekayaan."
-- Jami
"Hanya dari Hati engkau bisa menggapai langit. Mawar
keagungan hanya bisa ditumbuhkan dalam Hati."
-- Rumi
Cinta adalah esensi dalam hidup ini. cinta menjadi suatu
yang penting untuk dipikirkan, direnungkan dan di jalankan. Setiap sendi
kehidupan semua digerakan oleh rasa cinta. Ada yang benci dan sakit hati,
karena cinta, ada yang bermusuhan dan bertikai semua mengatasnamakan cinta, ada
yang bahagia karena cinta. Suka dan duka esensinya karena cinta. Cinta sudah
menjelma menjadi setiap kata dan huruf, yang bersatu dengan udara yang terhirup
dalam rongga dada kita.
Cinta adalah nafas Tuhan, yang suci tak ternodakan, cinta
berarti perjuangan dan pengorbanan, penerimaan tanpa sanggahan. Cinta memberi
dan memberi, sebagaimana sifat dan kelakuan Tuhan dalam esensi cinta.
Semakin suci dan murni kadar cinta dalam jiwamu, maka akan
semakin besar pengorbananmu. Semakin besar juga perhatian dan pemberianmu, dan
semakin sedikt keluh kesah dalam penerimaanmu.
Cinta, seberapa besar cinta dan seberapa suci cintamu,
tergantung seberapa besar keluh kesah dan tuntutanmu.
Semakin diam dan diam, menerima segala kekurangan, maka
semakin suci dan besar pula rasa cintamu. Baik itu cinta kepada Tuhanmu atau
orang-orang yang engkau sayang dalam hidupmu..
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
{QS. Ali Imran, 3:31}
Jumat, 24 Januari 2014
Lisan Bersyahadat tapi Hati Berdusta!
“Asyhadu Anlaa ilaa ha illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadarrosulullah.”
Ungkapan Persaksian yang sangat Luar Biasa!!!
Tatkala diucapkan dengan perlahan-lahan dan dihayati dengan segenap rasa dan penjiwaan lalu kemudian di Tasdiqan/dibenarkan oleh Hati serta diketahui Makna yang terkandung didalamnya maka akan membuat Jiwa bergetar hebat dan bisa jadi tanpa disadari air mata akan berlinangan membasahi pipi. Belum lagi perasaan senang dan bahagia akan menghampirinya seolah-olah mendapatkan sesuatu yang sangat berharga sekali. Dirasakannya nikmat yang belum pernah dirasakannya yang membuat hilang gairah daripada memandang sesuatu karena bahagianya ia merasakan Alloh Hadir pada dirinya melalui Dua Kalimat Syahadat yang di ungkapkannya tidak hanya melalui Lisan tapi juga merasakan karena di dasari dengan Pengetahuan Ilmu dalam memaknainya.
Diungkapkan oleh sebagian para Awliya Alloh:
“Man lam yazuq lam ya’rif - Barang siapa belum merasakan maka belumlah dikatakan Mengenal.”
Tatkala seseorang mengucapkan dua Kalimah Syahadat tetapi tidak mengetahui Makna yang terkandung didalamnya maka tidak menjadikan suatu jaminan bahwa ia akan merasakan manis lezatnya Penyaksian.
Karena sebagaimana yang diketahui bahwasannya Dua Kalimah Syahadat itu adalah Kalimah Penyaksian. Menyaksikan atas Hadirnya Alloh meliputi pada tiap-tiap segala sesuatu dan Menyaksikan atas Muhammad Rosulullah Saw meliputi akan segala Pengetahuan Ilmu.
Tentu untuk bisa menyaksikan haruslah di dasari Pengenalan. Tanpa mengenal apakah bisa dikatakan ia termasuk orang yang menyaksikan?
Karena itu bila ada orang menyaksikan sesuatu tetapi ia sendiri belum melihat/mengenal akan sesuatu itu maka sudah pasti ia itu termasuk orang-orang yang berdusta/berbohong.
Begitupula jika ada yang mengucapkan Dua Kalimah Syahadat tetapi tidak melihat/mengenal Alloh dan Rosulnya maka berarti ia termasuk orang-orang yang Hatinya Dusta/bohong atas penyaksian itu. Lisannya bersaksi tapi hatinya buta daripada penyaksian itu sendiri maka dari segi Hakikat belum sempurna Islamnya melainkan Islamnya hanya sebatas Zahir (Indannas) Islam karena di Mata Manusia.
Sedangkan dikatakan dalam Al-Qur’an bahwasannya Alloh berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Alloh hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 19)
Islam yang dikehendaki Alloh adalah Islam Kaffah (menyeluruh) tidak hanya Zahir saja tetapi Hatinya mengetahui akan kesempurnaan Islam itu melalui Pengenalan kepada Alloh dan Rosulnya.
“Awwaluddin Ma’rifatullah - Awal mula seseorang itu beragama dia harus terlebih dulu mengenal kepada Alloh.”
Jika tidak mengenal Alloh maka seseorang itu belumlah dikatakan ber Agama. Jika sudah demikian maka apabila ia bersyahadat maka hanyalah sebatas di bibir saja sedangkan hatinya di dalam kedustaan.
Lima waktu mendirikan Sholat sehari semalam dan sembilan kali mengucapkan Dua Kalimah Syahadat dalam duduk Tasyahud tetapi tidak melihat/mengenal akan yang disaksikannya tadi maka batal lah Dua Kalimah Syahadat nya tadi. Jika Syahadat nya sudah batal lalu bagaimana dengan Sholatnya dan amalan yang lainnya?
Kamis, 23 Januari 2014
Apa yang kau tunggu?!
Apa yang kau tunggu?! Sedang dihatimu ada seberkas rindu, setitik cinta yang kau sendiri tidak tahu untuk siapa dan untuk apa?! Ada rasa kangen yang muncul tiba-tiba dalam keheningan jiwamu, ada asmara yang membara dalam hatimu, sedang kau tak tahu rasa itu dari mana dan untuk siapa?!
Rasa rindu yang menyeruak, rasa cinta yang menghentak,
seakan meluluh lantakan asa yang retak, raga yang terkoyak oleh derunya keadaan
yang bertandang, oleh lajunya sang waktu dalam perjalanan..
Ketahuilah olehmu, wahai jiwa yang mendamba cinta..!
Segala rasa yang kau rasakan, segala cinta, rindu dan kangen
yang berkalang itu, adalah Rasa cinta, rindu dan kangen-nya Alloh yang
terpantul dalam jiwa mu, hingga kau merasakan rasa cinta, rindu dan kangen,
yang merupakan bias dari Rasa-Nya.
Maka dari itu, sambutlah rasa itu, dengan kesadaran jiwa-mu,
dengan kepasrahan keadaanmu. Bahwa engkau abdi bagi-Nya, Abdi yang tak punya
apa-apa, tak mampu apa-apa, tidak berilmu dan berharta, tidak bisa berkendak
dan melakukan apa-apa tanpa ijin-Nya, semua semata-mata karena-Nya. Sadarilah
itu, agar kasih sayang-Nya, selalu membalut dan merengkuh jiwa-mu yang lingkih
nan lusuh.
Kesadaran itu, adalah pintu awal untuk mengenal-Nya, tiada
pintu yang lain selain itu..
Cinta itu adalah anugerah terindah dari Alloh, anugerah
berarti pemberian langsung dari Alloh, kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki,
cinta itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan atau dicapai oleh jiwa manusia.
Cinta itu adalah "keindahan Tuhan" (Jamal Alloh), yang di dhahirkan pada
jiwa hamba-Nya.
Lantunan dawai-dawai tak mampu mewakili segenap ungkapan,
seolah ia berpijak di ubun-ubun lalu memudarkan kerinduan, maka kudapati diam sebagai
teman memunguti kalimat-kalimat yang tak bisa terucap.. Meski merayap dan
tertatih, tapi cahaya Sang Terang tersenyum diujung lorong..
Sayyidina Ali; Tentang Sifat-sifat Allah
“Segala puji bagi Allah yang bagi-Nya satu kondisi tidak mendahului yang lainnya sehingga la menjadi Yang Awal sebelum menjadi Yang Akhir, atau la Zhahir sebelum menjadi Bathin. Segala yang disebut satu, kecuali Dia, adalah sebenarnya kecil (dalam jumlah), dan setiap yang mulia selain Dia adalah rendah; setiap yang kuat selain Dia adalah lemah, setiap majikan selain Dia adalah hamba.
Setiap yang tahu selain Dia adalah pencari pengetahuan. Setiap yang kuasa selain Dia adalah kadang-kadang berkuasa dan kadang-kadang tak mampu. Setiap pendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara ringan sedang suara nyaring menulikannya dan suara-suara jauh menjauh dari dia. Setiap pelihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna tersembunyi dan benda-benda halus. Setiap yang zahir selain Dia tak tersembunyikan, sedang setiap yang batin selain Dia tak dapat menjadi zahir.
la tidak menciptakan apa yang diciptakan-Nya untuk memperkuat kekuasaan-Nya, tidak pula (rasa) takut akan akibat waktu, bukan untuk mencari pertolongan terhadap serangan dari lawan yang setara, atau mitra sombong atau lawan yang membenci. Sebaliknya, semua makhluk dipelihara oleh-Nya dan merupakan hamba-hamba-Nya yang rendah. la tidak tinggal terbatas dalam sesuatu sehingga dapat dikatakan bahwa la berada di dalamnya, tidak pula la terpisah dari sesuatu apa pun sehingga dapat dikatakan bahwa la jauh darinya. Penciptaan atas apa yang dimulai-Nya atau pengurusan atas apa yang dikuasai- Nya tidak melelahkan-Nya. Tak ada ketidakmampuan bagi Dia terhadap apa yang diciptakan-Nya. Tak mungkin terjadi kekeliruan pada-Nya dalam apa yang ditetapkan-Nya dan diputuskan-Nya. Tetapi keputusan-Nya pasti, pengetahuan-Nya tegas, kekuasaan-Nya melimpah. la diharapkan pada waktu susah dan la ditakuti bahkan pada waktu senang.”
-- Dikutib dari Kitab Nahjul Balaghah, Khotbah No 64: Tentang Sifat-sifat Allah.
Rabu, 22 Januari 2014
Evaluasi Setiap Saat
Ukuran kematangan spiritual memang tidak bisa diukur dengan usia seseorang. Kedekatan kepada Alloh juga tidak bisa diukur dengan jenjang akademik, pengalaman hidup dan kemapanan sosial-ekonomi. Semua tergantung dari olah batin dan komunikasi kita sebagai hamba kepada Sang Khalik.
Karena itu, kita perlu selalu mengevaluasi diri setiap saat agar mampu mengingatkan diri kita untuk tidak terjebak pada nafsu. Tak sedikit orang yang telah berumur dan memiliki pengetahuan yang tinggi, tetap saja bisa terjerumus pada nafsu.
Ibnu Atha'illah mengatakan,
”Seandainya engkau memperlakukan nafsu seperti baju, yakni setiap kali kotor dicuci dan setiap kali terkoyak ditambal, pasti engkau akan bahagia. Bisa jadi ada orang yang janggutnya sudah memutih dan rambutnya sudah beruban, tetapi ia masih tidak duduk bersama Alloh untuk mengevaluasi nafsunya yang menyimpang.”
Tafakur Setiap Saat
Tafakur bisa dilakukan setiap saat. Setiap kali ada kesempatan. Bahkan saat kerja dengan berbagai kesibukan. Karena ia akan melahirkan kekuatan iman, cinta, syukur, waspada dan takut kepada Alloh.
Jumhur Ulama mengatakan,
“Tafakur itu ada lima macam, yakni:
1.Tafakur tentang ayat-ayat Alloh; buahnya adalah tauhid dan yakin kepada Alloh.
2.Tafakur tentang nikmat-nikmat Alloh; buahnya adalah rasa cinta dan syukur kepada Alloh.
3.Tafakur tentang janji-janji Alloh; buahnya adalah rasa cinta kepada kebahagiaan akhirat.
4.Tafakur tentang ancaman Alloh; buahnya adalah kewaspadaan dalam menjauhkan maksiat dan mengagungkan Alloh.
5.Tafakur tentang sejauh mana ketaatan kepada Alloh dan kebaikan Alloh kepada diri kita; buahnya adalah rasa takut kepada Alloh.”
-- Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani
*Night Shift 1, CPP Lab KPC*
Doa Dzun Nun al-Mishri
“Ya Allah, jadikan mata kami mampu mengucurkan air mata, dada kami penuh dengan ungkapan-ungkapan dan semangat, hati kami sanggup menyelami gelombang dalam mengetuk pintu-pintu langit, dan ketika tersesat di gurun pasir karena takut kepada-Mu.
Bukakan mata hati kami pintu menuju ma'rifat-Mu dan (bukakan) pengetahuan kami suatu pemahaman dalam merenungkan sinar hikmah-Mu.
Wahai Kekasih Hati orang-orang yang sangat merindukan-Mu dan tumpahan akhir cinta orang-orang yang banyak berharap kepada-Mu.”
Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856 M.
Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk di penjarakan di sana. Setelah di adili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kaim. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya. Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a, “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.
Suatu hari Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab,
“’Arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi - Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan.”
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut:
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut:
“….Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Bukakan mata hati kami pintu menuju ma'rifat-Mu dan (bukakan) pengetahuan kami suatu pemahaman dalam merenungkan sinar hikmah-Mu.
Wahai Kekasih Hati orang-orang yang sangat merindukan-Mu dan tumpahan akhir cinta orang-orang yang banyak berharap kepada-Mu.”
Dzun Nun al Mishri adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat. Nama lengkapnya adalah Abu al Faidh Tsaubah bin Ibrahim al Mishri Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246 H./856 M.
Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk di penjarakan di sana. Setelah di adili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kaim. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/856 M.
Julukan Dzun Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberikan Allah kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di sungai nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut. Dalam kisah lain disebutkan suatu ketika Dzun Nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang amat berharga. Dzun Nun dituduh mencurinya. Dzun Nun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo’a, “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang Maha Tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan Nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulut masing-masing ikan. Dzun Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari Dzun Nun, artinya yang empunya ikan nun.
Suatu hari Dzun Nun al Mishri ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat, ia menjawab,
“’Arafu rabbi bi rabbi walau la rabbi lamma ‘arafu rabbi - Aku mengenal Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan , aku tidak akan mengetahui Tuhan.”
Dzun Nun al Mishri mempunyai sestematika tersendiri dalam perjalanan rohaninya menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abu Hamid Mahmud mencoba menggambarkan tariqahnya sebagai berikut:
1. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya.
2. Jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al inabah ialah jalan yang dimulai dengan meminta cara ikhlas dan benar, dan thariq al ihtiba, jalan ini tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang, jalan ini urusan Allah semata.
3. Di sisi lain Dzun Nun al Mishri mengatakan manusia itu terdiri dari dua macam, yaitu dari dan wasil. Dari adalah orang yang menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah yang berjalan di atas kekuatan al ma’rifat
Menurut Dzun Nun al Mishri, sebelum ia sampai pada maqam al ma’rifat, dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puisinya adalah sebagai berikut:
“….Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Langganan:
Postingan (Atom)