Minggu, 19 Januari 2014

Matahari; tentang Cinta dan Akal



Siang dan malam silih berganti, Cinta memberi tanpa diminta. Pagi dan petang pergi dan datang, Rindu menjaga tiada jeda dan lena. Cinta pada sesama dan rindu pada kebersamaan menjadi spirit utama dalam menebarkan pesan kebaikan. Alloh mengabadikan firmanNya tentang pergantian siang dan malam dalam sejumlah ayat di Al Qur'an. Dalam QS. Asy Syams, Dia bahkan bersumpah,

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya.”


Sungguh tiada ternilai sumpah Tuhan itu bagi hati manusia yang di dalamnya hidup cinta. Jika diri manusia adalah jagat, maka hati adalah mataharinya dan akal serupa planet yang mengelilingi matahari itu. Jika cinta hidup di dalam hati, maka rindu hidup di dalam akal.

Rindu inilah yang melahirkan gagasan-gagasan tentang perjumpaan, sekaligus ide, konsep, teori, dan rencana untuk selalu bersama. Sedangkan Cinta melahirkan kehendak, hasrat, gairah, dan imaji tentang kehadiran, yang di dalamnya terkandung niat, semangat, maksud, dan tujuan untuk selalu ada.

Matahari dan planet sesungguhnya menyatu, disatukan oleh lingkar orbit, namun hakikatnya pula satu dan lainnya memisah, pun dipisahkan oleh lingkar orbit itu. Terlalu dekat dengan Yang dicinta, sang rindu justru terbakar dan musnah.

Cinta ini dekat namun tak bersentuhan, pun jauh tapi tak berjarak, dengan rindu, seperti halnya matahari yang tetap berada di atas sana namun cahaya, sinar, terang, dan panasnya sampai permukaan bumi. Bahkan, menembus hingga ke dasarnya dan terciptalah magma.

Cinta sesungguhnya tertanam di dasar rindu yang paling dalam, sebagaimana magma yang hakikatnya adalah panas matahari itu sendiri.

Belajar dari hubungan antara matahari dan bumi, menjadi mudah dicerna mengapa Alloh berfirman bahwa Dia sesungguhnya meliputi segala sesuatu. Menjadi sederhana untuk di mengerti bahwa Alloh lebih dekat dari urat leher. Menjadi tidak rumit dipikirkan mengapa orang beriman bergetar hatinya jika disebut nama Alloh. Menjadi mudah dipahami pula betapa sesungguhnya cinta pun hidup di setiap akal manusia. Rindu yang berubah menjadi dendam, kemudian memunculkan kebencian dan permusuhan, pun sebenarnya bermula dari rasa cinta itu sendiri. Bergantung bagaimana akal mengolah energi cinta itu menjadi kebaikan atau keburukan.

Bila akal berada di dalam raga, maka hati berada di dalam jiwa. Bila magma sesungguhnya panas matahari yang terserap bumi, maka pada hakikatnya terkandung jiwa di dalam akal. Terdapat kebaikan di dalam keburukan, pun terdapat keburukan di dalam kebaikan, segalanya bergantung pada faktor manusia sebagai pengolahnya. Seburuk-buruk bakteri, virus, racun, dan kotoran, memiliki manfaat. Sebaik-baik obat, makanan, minuman, dan madu, tetap memiliki mudharat.

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Maha Suci Alloh yang memfirmankan, masih dalam QS. Asy Syams, bahwa Dia mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan. Keburukan dan kebaikan. Di dalam setiap hal, ada dua sisi yang menyatu namun terpisah, melekat namun saling memunggungi. Cinta memberi, entah itu kebaikan atau pun keburukan. Dan rindu menjaga, baik itu kebaikan maupun keburukan, yang berasal dari cinta itu.

Alloh menciptakan manusia paling mulia di antara makhluk lainnya dengan anugerah akal, dan Dia memuji ulil albab atau akal yang digunakan untuk berpikir dan mengolah segala hal yang pada mulanya berasal dari cinta.

*Tabik!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar