Senin, 13 Januari 2014

Rumi; Anjing Perindu



Setiap malam seseorang memohon menangis,
“Ya Alloh, Ya Alloh!”

Bibirnya terasa manis dengan permohonan,
hingga seorang sinis datang dan berkata padanya:

“Nah! Selalu kudengar kau memanggil,
tapi pernahkah engkau menerima jawaban?”

Ia tak bisa menjawab.
Dia hentikan doanya dan tertidur dalam kebingungan.

Dalam mimpinya ia bertemu Khidir,
Sang Penuntun Jiwa,
mendatanginya dengan naungan tebal kehijauan.

”Kenapa kau hentikan doamu?”

”Sebab aku tak pernah mendengar jawaban.”

”Rasa rindu yang kau jeritkan, itu sebuah jawaban!”

Kerinduan yang kau jeritkan akan menarikmu menuju penyatuan.

Sucinya kesedihanmu yang menginginkan pertolongan itulah cangkir rahasianya.

Dengarlah lengkingan rindu seekor anjing pada tuannya.
Lengkingan itulah yang menghubungkan mereka.

Ada anjing-anjing yang perindu
walau tiada yang mengetahui nama mereka.

Gadaikan hidupmu
demi menjadi salah satu dari mereka.

Diterjemahkan oleh Herry Mardian dari“Love Dogs”, Jalaluddin Rumi, dalam The Essential Rumi, trans. by Coleman Barks.


Apakah jawaban harus selalu ‘terdengar’?
Mengapa bisa ada rasa rindu itu dalam hati kita?
Siapakah yang memberi kita rasa rindu itu?

Coba perhatikan, berapa banyak orang yang telah merasa dirinya baik, sekalipun ia adalah seorang tokoh atau pemuka agama, tapi hatinya tidak memiliki kerinduan pada-Nya sama sekali?

Atau, berapa banyak orang yang benar-benar menyimak dan memperhatikan kalimat ‘…wa iyyaka nasta’iin, Ihdinash-shiraatal mustaqiim...’ yang diucapkan mulutnya sendiri ketika shalat?
Yang mengucapkan kalimat itu dengan jujur, dari dasar hatinya?

Tidak setiap orang diberi jawaban: tidak setiap orang diberi rasa rindu itu.

Walaupun seseorang masih didominasi oleh hawa nafsu atau syahwatnya (simbol anjing), bisa jadi telah ada setitik kerinduan yang telah Dia sematkan dalam hatinya.

Hidupkan setitik kerinduan itu!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar