(HR. Muslim no. 34)
Nabi ‘Isya AS menuturkan, “Setiap perkataan yang tidak disertai dengan zikir kepada Alloh adalah sia-sia. Setiap diam yang tidak disertai dengan berpikir adalah kelalaian. Setiap pemikiran yang tidak disertai dengan perenungan adalah kealpaan. Karena itu, alangkah beruntungnya orang yang perkataannya adalah zikir kepada Alloh; diamnya adalah berpikir; dan pemikirannya adalah perenungan.”
Lukman al-Hakim berwasiat kepada anaknya, “Jika berbicara itu adalah perak, maka diam adalah emas. Banyak orang yang menyesal karena perkataannya, tetapi jarang orang menyesal karena diam.”
Dalam syair disebutkan: “Jagalah sikap diam, dan jangan asal bicara asal ngomong. Orang yang banyak bicara sering melukai orang lain. Jika kamu anggap bicara itu perak. Maka, yakinlah bahwa diam itu emas.”
Al-Hasan al-Bashri—semoga Alloh merahmatinya— berkata,
“Perkataan orang bijak berasal dari lubuk hatinya. Jika ia hendak berbicara, maka ia akan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu dengan hatinya. Jika berkenan dengan hatinya, maka akan diucapkan. Tetapi jika terasa menyakitkan hati, maka dia akan diam saja. Orang yang tidak mengenal hatinya akan mudah mengumbar perkataan, tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan hatinya.”
-- Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah
Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya “ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomel.
Diam, yang sering kali dihubungkan dengan kepasifan, mempunyai kekuatan yang besar. Diam membantu kita untuk lebih berkonsentrasi, tenang, introspektif, dan bahkan lebih bijak. Dan, diam seringkali lebih dapat menyampaikan poin-poin kita dengan lebih efektif dari pada argumen-argumen.
Diam memberikan kesempatan kepada kita untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kita bisa mendengarkan diri kita sendiri dengan cara yang baru dan lebih efektif, untuk mendengarkan apa yang suara batin kita ajarkan pada kita.
Penulis Parker Palmer menggambarkan hal itu dengan kata-kata sebagai berikut:
“Kita mendengarkan petunjuk dimana saja kecuali di dalam batin. Kita percaya, bahwa hanya karena kita telah mengatakan sesuatu, maka kita memahami maknanya. Tetapi sering kali tidak. Kita perlu mendengar apa yang sedang dikatakan oleh hidup kita dan mencatatnya, agar kita tidak lupa kebenaran kita sendiri.”
Di saat kita DIAM SEJENAK dalam KEHENINGAN maka akan menghasilkan kumpulan ENERGI yang luarbiasa besarnya yang memiliki KEKUATAN DOBRAK LUAR BIASA untuk membongkar ketertutupan pintu sukses kita selama ini.
Diam sangat penting untuk pembelajaran. Ketika kita berbicara, sangatlah sulit untuk belajar lebih dari apa yang sudah kita ketahui. Namun, ketika kita dengan tenang mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain, dunia baru sudah disiapkan untuk kita. Kita bisa memulai sesuatu dari perspektif orang lain, bisa lebih memahami pola fikir mereka dan kita bisa memiliki akses terhadap apa yang mereka ketahui.
Ketika kita mendengarkan masalah-masalah dan pendapat-pendapat orang lain, untuk sesaat kita terbebas dari kekhawatiran mengenai masalah kita sendiri dan kita dapat belajar sedikit seperti apa rasanya berada dalam keadaan orang lain. Mendengarkan dengan diam adalah kunci untuk merasakan hidup dengan lebih penuh, informatif, dan empati.
Ali bin Abi Thalib berkata,
“Semua kebaikan terangkum dalam 3 kata: pandangan, diam, & bicara. Setiap pandangan yang tidak menghasilkan ibrah adalah kelalaian akal, setiap diam yang tidak mengandung pikiran berarti kelengahan, & setiap bicara yang tidak mencerminkan dzikir adalah perbuatan sia-sia. Berbahagialah orang-orang yang penglihatannya menambah ibrah, diamnya berarti pikir, bicaranya mencerminkan dzikir, menangisi kesalahan-kesalahannya, & membebaskan orang lain dari perbuatan jahatnya.”
Kunci utama hikmah adalah, diam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar