Pintu ini menekankan hubungan personil antara ‘hamba’ dan Tuhan-nya. Semua orang dianggapnya adalah teman seperjalanan dalam munuju Alloh. Entah orang itu dari Islam sendiri atau dari agama-agama lainnya. Bagi mereka semua adalah makhluk ciptaan Alloh. Sebab mereka sadar dan mengerti akan Hakikat Sejati dirinya (kembali ke Hakikat Nur Muhammad). Tidak ada perbedaan antara satu dan yang lainnya. Alloh sendiri yang akan memberikan penilaian. Semua diserahkan kepada Alloh. Mereka tidak berani memberikan penilaian apa-apa kepada lainnya.
Rasionalitas alam semesta, peredaran bintang, matahari, silih bergantinya siang dan malam. Pergiliran musim, hujan dan air yang jatuh berupa hujan, menumbuhkan benih di bumi..kesadaran terus meroket tak terkendali…menyapa hukum-hukum Alloh dimana saja, di seantero alam semesta. Menjadi pijakannya. Inilah pengajaran Alloh kepada KESADARAN mereka.
Nabi Ibrahim bapak para Nabi yang membuka hijab atas pilar yang satu ini. Telah diceritakan bagaimana upaya nabi Ibrahim mengamati alam semesta, dalam kontempelasinya setiap waktu, dari malam ke siang, dari siang kemalam, entah berapa lama, satu hari, bulan, tahun, tidaklah diceritakan.
Muncullah KESADARAN, demi KESADARAN, dari pengamatannya kepada bulan, kepada matahari, dari malam ke siang. Dan sebagainya, dan sebagainya. Ketika muncul kesadaran tersebut pada diri Nabi Ibrahim, maka Alloh membimbingnya, Alloh menunjukkan kekuasaan-NYA pada KESADARAN (Ibrahim) itu untuk dapat melihat jauh ke lebih dalam lagi dari hanya nampak wujud materi hingga tampaklah wujud hakiki semua benda, dengan KESADARAN Nabi Ibrahim telah melihat alam semesta secara hakiki.
Nabi Ibrahim telah meletakan pondasi ini. Mengamati dan mengkontempelasi dan KESADARANNYA DIBANGUN ATAS RASIONALITAS DALAM TATARAN PEMAHAMAN MANUSIA. Untuk mampu ‘melihat’ Tuhan. Setelah mampu ‘melihat’ Tuhan. Dan mengenalnya melalaui hukum-hukum alam semesta (sunatulloh) nabi Ibrahim kembali ‘membumi’ berjalan sebagaimana manusia biasa. Mengingatkan kepada kesadaran-kesadaran lainnya. Mengajarkan bagaimana hakekat ‘mengenal dan ‘menuju’ Tuhan. Dan hakekat inilah yang dilalui Rosululloh sepanjang perjalanan hidupnya sebelum diangkat sebagai nabi.
Inilah yang ingin saya sampaikan di Blog ini. Dalam tulisan sebelum ini. Memasuki Islam secara utuh, memahami syariat, hakekat, dan ma'rifat, melalui pengamatan dan pengumpulan informasi dan referensi terlebih dahulu oleh Arifin Billah atau Ulama Tauhid. Kemudian secara paralel berusaha untuk mengerti hakekat, dan dengan pemahaman ini akan mampu menjalankan syariat dengan hati ikhlas, puas, tenang dan ridho.
Di wilayah inilah, kita membebaskan diri dari debat atas syariat, menghindari perdebatan hakekat. Langsung menuju Dzat Alloh sang Kebenaran sejati. Dengan keyakinan dan kesadarannya memasuki wilayah tauhid. Menerobos melewati batasan-batasan dalam kesadaran manusia atas syariat, hakekat, dan ma'rifat.
Diri sendirilah yang tahu hubungan CINTA seperti apa antara dia dengan Tuhannya. Sebab CINTA adalah privacy. Maka dengan keyakinan ini, jiwa mampu melepaskan diri dari dari penghakiman persepsi manusia. Dengan pemahaman inilah, kita mencoba membebaskan diri dari debat tak berkesudahan antara mahzab yang satu dengan yang lainnya. Perdebatan antara syariat dengan syariat, hakekat dengan hakekat, dan syariat dengan hakekat. Sebab sebagaimana Hadist Riwayat Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;
“Tidak seorang pun dimasukkan surga karena amalannya..”
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Dan saya pun tidak termasuk, kecuali Rabbku melimpahkan rahmat-Nya kepada-Ku.”
Maka meski kita lelah berdebat, semua itu akan sia-sia. Hanya akan mendapatkan capai dan nelangsa. Maka carilah rahmat Alloh saja. Dengan jalan itu, Insya Alloh kita akan SELAMAT. Wallahu A'alam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar